Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang telah dilaksanakan sejak 3 Juli sampai 20 Juli 2021. Menteri Keuangan Sri Mulyani, memberi sinyal adanya kemungkinan pemerintah menyiapkan kebijakan darurat hingga 6 minggu.
Sejak dilaksanakannya PPKM Jawa-Bali, banyak kebijakan pemerintah yang membuat rakyat menderita. Dari penutupan jalan hingga sulitnya mencari nafkah.
Penutupan jalan dibeberapa tempat membuat rakyat merasa gerah, pasalnya penutupan jalan ini bukanlah cara yang efektif untuk mencegah virus. Pengendara yang melewati jalan yang ditutup nantinya akan dialihkan kejalan lain. Situasi ini membuat kemacetan, yang artinya para pengendara berkumpul jadi satu disatu jalan.
Selain itu, penjual saat ini dipaksa untuk tutup lebih cepat dari biasanya. Jika tidak bisa tutup lebih cepat, banyak penjual yang tidak dilakukan secara manusiawi oleh beberapa pihak pemerintahan.
Padahal jualannya ini hanya satu-satunya penghasilan yang dimiliki oleh para pedagang. Jika lapaknya digusur bahkan dilarang berjualan kembali, keluarganya di rumah akan terbengkalai.
Selain adanya aturan ketat untuk para pedagang dan penutupan jalan, perjalanan untuk naik krl dan transjakarta pun kini dipersulit. Semua penumpang krl harus punya STRP atau izin dari perusahaan.
Namun nyatanya penumpang krl dan transjakarta bukanlah hanya seorang pegawai kantoran, banyak pegawai bukan berasal dari institusi besar bahkan hanya seorang pekerja lepas.
Pemerintah tidak bertanggung jawab atas kebutuhan rakyat, tapi rakyat dipersulit dalam mencari nafkah. Mengapa tidak menetapkan karantina rumah? padahal selama 17 hari rakyat dibuat kelimpungan mencari sesuap nasi.
Jika, merujuk pada ketentuan UU no. 6 th 2018 pasal 52, ayat 1 dan 2 tentang karantina rumah dan pemerintah pusat yang harusnya bertanggung jawab atas kebutuhan hidup dasar seluruh rakyat.
Ternyata benar, dengan tidak menetapkan karantina rumah berarti pemerintah pusat tidak bertanggung jawab atas hajad para rakyat. Apakah anggaran tidak cukup? namun nyatanya koruptor terus bertebaran dan mendapat hukuman yang ringan.
Bantuan sosial yang seharusnya milik rakyat, tapi dipakai untuk perkaya diri. Dana penyemprotan disenfektan di jalan dan di udara selalu ada, padahal rumah sakit lebih membutuhkan.
Kami dilarang berpergian, namun WNA mudah sekali keluar masuk. Menghamburkan dana memang lebih muda dibandingkan membantu para rakyat, bukankah ini bisa dikatakan kejahatan genosida?
Baca Juga
-
Turnamen di Bali, 5 Pemain Bulu Tangkis Luar Negeri Banjir Hadiah dari Fans Asal Indonesia
-
Jelang Turnamen, 5 Pemain Bulu Tangkis Ini Memboyong Keluarga ke Bali
-
3 Durasi Permainan Terlama di Thomas Uber Cup 2020, Ada Jonatan Christie
-
Tajir Melintir, 4 Bisnis Arief Muhammad dari Makanan hingga Properti
-
Profil Fajar Alfian dan Rian Ardianto, Pebulu Tangkis Berprestasi yang Tak Dikenal Menpora
Artikel Terkait
Kolom
-
Menari di Antara Batas! Kebebasan Berekspresi di Sekolah vs Kampus
-
Menyusuri Lorong Ilmu! Buku Perpustakaan vs Jurnal Akademik
-
Janji Mundur atau Strategi Pencitraan? Membaca Ulang Pernyataan Prabowo
-
Tari Kontemporer Berbalut Kesenian Rakyat: Kolaborasi Komunitas Seni Jogja
-
Sudah Baca Buku Self-Improvement, Tapi Kenapa Hidup Masih Berantakan?
Terkini
-
Kejebak Diskon? Yuk, Kenali Bedanya Impulsive Buying dan Unplanned Buying!
-
Youthful! Ini 4 Ide OOTD ala Hana FIFTY FIFTY yang Pasti Cocok Buatmu
-
Antara Ronggeng dan Revolusi: Potret Sosial dalam Novel Dukuh Paruk
-
Ulasan Buku B.J. Habibie: The Power of Ideas
-
Latar Ijen: Resto Bergaya Mewah dan Nyaman di Kota Malang