Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Christina Natalia Setyawati
Ilustrasi mobil (Pexels/Kaique Rocha)

Siapa sih yang tak pernah merasa dongkol atau setidaknya menghela napas panjang saat terjebak kemacetan, lalu tiba-tiba dari belakang terdengar sirine dan muncul rombongan mobil yang dikawal ketat, meminta jalan?

Pemandangan iring-iringan kendaraan pejabat yang minta didahulukan di jalan raya, lengkap dengan pengawal yang sigap, sudah jadi santapan sehari-hari di Indonesia.

Tapi, di balik kecepatan dan kemudahan yang didapat oleh para pejabat itu, ada suara-suara di masyarakat yang makin lantang mempertanyakan: memangnya seberapa penting sih mereka harus didahulukan, sampai-sampai harus bikin macet atau bahkan membahayakan pengendara lain?

Fenomena ini memang sering kali memicu perdebatan sengit. Di satu sisi, argumen yang biasa diutarakan adalah soal kepentingan negara dan urgensi tugas.

Para pejabat, apalagi yang menduduki posisi penting, memang punya jadwal yang padat dan sering kali harus buru-buru untuk rapat atau kegiatan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Konon, keterlambatan bisa berdampak besar pada keputusan atau kebijakan.

Belum lagi urusan keamanan. Pejabat, terutama yang punya risiko tinggi, butuh perlindungan ekstra. Pengawalan dan prioritas di jalan dianggap sebagai bagian dari upaya menjaga keselamatan mereka agar bisa menjalankan tugas tanpa gangguan.

Jadi, kalau dilihat dari kacamata ini, prioritas di jalan itu seolah jadi 'fasilitas penunjang' agar roda pemerintahan bisa berjalan lancar dan aman.

Namun, mari kita tengok lagi aturan main di jalan. Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) itu sudah gamblang banget mengatur siapa saja yang berhak mendapatkan prioritas.

Sebut saja ambulans yang bawa pasien gawat darurat, mobil pemadam kebakaran yang lagi menuju lokasi bencana, atau kendaraan penanganan kecelakaan lalu lintas.

Kenapa mereka dapat prioritas? Jawabannya jelas: karena di situ ada nyawa yang dipertaruhkan dan situasi darurat yang harus segera ditangani. Setiap detik itu berharga. Nah, pertanyaannya, apakah urgensi perjalanan pejabat setara dengan kondisi seperti itu?

Di sinilah letak kegelisahan masyarakat. Sering kali, rombongan pejabat terlihat meminta prioritas bukan karena ada keadaan darurat yang mengancam nyawa, melainkan sekadar untuk mempercepat perjalanan atau menghindari macet.

Alhasil, yang terjadi adalah kemacetan pindah tempat atau bahkan muncul kemacetan baru karena pengendara lain dipaksa menepi secara mendadak.

Tak jarang, manuver paksa ini juga membahayakan keselamatan pengguna jalan yang lain. Dari sini, muncul kesan kuat bahwa prioritas itu didapat bukan karena 'kemanusiaan' atau 'kedaruratan', melainkan semata karena privilese jabatan. Jujur saja, ini terasa kurang adil bagi masyarakat yang harus sabar mengantre di tengah macet.

Perdebatan ini sebetulnya membuka celah diskusi yang lebih luas tentang penggunaan fasilitas negara dan akuntabilitas. Masyarakat tidak melulu iri melihat iring-iringan itu, tapi lebih kepada mempertanyakan: apakah pengawalan dan prioritas ini benar-benar sesuai kebutuhan dan urgensinya?

Apakah tidak ada cara lain yang lebih 'ramah' dan tidak merugikan masyarakat umum? Jika memang ada agenda super penting dan mendesak, tentu masyarakat bisa maklum. Tapi, jika hanya untuk mempercepat perjalanan rutin, rasanya kok kurang etis, ya?

Mungkin sudah saatnya bagi pemerintah dan aparat terkait untuk meninjau ulang kebijakan soal pengawalan dan prioritas ini. Sosialisasi yang lebih gencar tentang siapa saja yang benar-benar prioritas di jalan itu penting, agar masyarakat lebih paham dan tidak simpang siur.

Lalu, penegakan hukum yang konsisten juga harus dilakukan, tanpa pandang bulu. Siapa pun yang melanggar aturan prioritas, entah itu masyarakat biasa atau bahkan iring-iringan pejabat, ya harus ditindak.

Para pejabat sendiri juga diharapkan bisa menunjukkan sikap empati dan kepedulian. Meminimalkan penggunaan pengawalan yang berlebihan, apalagi jika tidak ada urgensi yang sangat krusial, bisa jadi langkah kecil yang berdampak besar pada persepsi publik.

Disiplin dalam berlalu lintas, bahkan bagi mereka yang punya jabatan, akan membangun citra positif dan menumbuhkan rasa percaya masyarakat.

Pada akhirnya, jalan raya itu milik bersama. Sudah sepatutnya semua pengguna jalan diperlakukan adil, tanpa ada yang merasa 'lebih istimewa' dari yang lain. Menciptakan kesetaraan di jalan raya adalah cerminan dari keadilan yang kita dambakan bersama.

Christina Natalia Setyawati