"Days when you hate that you’re you. Days when you wanna disappear. Let’s make a door in your heart. If you open that door and go inside, this place will be waiting for you. It’s ok to believe, it’ll comfort you, this Magic Shop." (Magic Shop, LY:Tear, 2018)
Kutipan lirik di atas berasal dari salah satu lagu BTS yang berjudul 'Magic Shop'. Lagu tersebut terinspirasi dari sebuah metode terapi psikologis di mana pihak satu berperan sebagai penjual dan pihak dua bisa menyerahkan sebuah 'objek' yang dimilikinya kepada pihak satu untuk ditukar dengan sesuatu yang lebih baik. Dalam lagu tersebut, BTS mengatakan kepada ARMY--para penggemar mereka--bahwa mereka bisa mendatangi Magic Shop milik BTS dan boleh menukarkan kesedihan mereka dengan kebahagiaan. Istilah ini kemudian dipakai oleh ARMY sebagai sebutan untuk momen pertama kali mereka menemukan BTS.
Tapi jelas, jalur takdir pertemuan ARMY dan BTS berbeda-beda. Aku sudah pernah terjun ke dunia Hallyu lewat jalur grup idola Korea generasi satu seperti SNSD, Super Junior, dan Wonder Girls sebelum mengenal BTS. Saat itu aku masih SD, sehingga aku belum paham betul bagaimana cara kerja industri hiburan Korea. Karena itu, K-Pop hanya terlihat seperti sebuah fase singkat belaka.
Kemudian, fase itu ternyata terulang lagi di tahun 2016. Alkisah, seorang teman mengenalkanku kepada BTS. Pada awalnya aku sama sekali tidak tertarik, sebelum akhirnya memutuskan untuk mendengarkan lagu Blood, Sweat, and Tears (WINGS, 2016) yang pada saat itu baru satu bulan dirilis. Hanya butuh tiga-setengah menit durasi lagu bagiku untuk memproklamirkan diri sebagai ARMY. Kupasang lagunya, kutonton kontennya, kuhafalkan koreografinya. Jelas, semangatku lebih menggebu-gebu dibandingkan obsesi Kpop-ku yang pertama.
Berselang dua tahun bersama BTS, aku jadi bosan. Berkelanalah diriku, singgah ke grup-grup lain. Kupikir itu terjadi karena seleraku yang telah berubah, toh aku juga masih mengikuti lagu-lagu dan penampilan BTS meskipun tidak seintens itu. Embel-embel ARMY tidak kulepas, tapi tidak melekat erat juga.
Kini baru aku ketahui, aku yang dulu bukan bosan. Aku hanya belum menemukan letak Magic Shop yang sesungguhnya.
Berhasil kutemukan pintu itu di akhir tahun 2019. Ada beberapa kejadian di periode waktu tersebut yang cukup mengguncang mental, berbagai emosi bercampur aduk sampai kepalaku rasanya ingin pecah. Aku sedang mengalami titik terendah kesehatan mental sebelum akhirnya disambut oleh papan penunjuk ke arah gerbang Magic Shop.
Aku melangkah membawa semua kegelisahan dan tekanan itu. Kuketuk pintunya perlahan, dan ketika pintu itu terbuka, aku disambut oleh senyuman selamat datang yang amat hangat dari tujuh pria Korea yang sudah cukup lama kukenal. Mereka mengambil barang bawaanku, dan menggantikannya dengan gelak tawa yang tulus. Di balik pintu Magic Shop, aku si anak sulung bertemu dengan tujuh sosok kakak laki-laki yang memberi kebahagiaan, ketenangan, dan dukungan.
Pertemanan mereka yang tidak dibuat-buat, isi lagu mereka yang entah bagaimana bisa berkaitan erat dengan hidupku, pesan-pesan penuh semangat mereka, semua membuatku lebih tenang. BTS yang notabene grup musik tersohor pun memiliki memori pedih dan emosi layaknya manusia lain, tapi mereka menunjukkan cara yang positif untuk mengeluarkan beban-beban itu dengan menuangkannya ke dalam karya musik. Hal ini sangat menginspirasi ARMY untuk mengekspresikan kesedihan dalam wadah yang positif.
Bahkan tak melulu di diskografi BTS bertipe ballad seperti Zero O'Clock (MOTS:7, 2020) atau Epiphany (LY:Answer, 2018) kita bisa mengambil makna. Di balik lagu hip-hop yang terkesan bar-bar seperti UGH! pun, ada pelajaran berharga tentang pelampiasan amarah. Contoh lain? SIlver Spoon (HYYH pt. 2, 2015) yang membahas diferensiasi sosial berbasis ekonomi, Spine Breaker (Skool Luv Affair, 2014) yang mengangkat topik fenomena hedonisme di kalangan anak muda--sama dengan lagu Go Go (LY:Her, 2017).
Mereka memberiku prespektif baru tentang hubungan interpersonal dan intrapersonal. Mereka menunjukkan padaku cara baru untuk memandang hal negatif dan mengapresiasi hal positif. Bahkan mereka menjadi motivasiku untuk giat berkompetisi. "BTS-nya aja punya banyak piala dan penghargaan. Aku sebagai ARMY juga harus bisa berprestasi kayak mereka," batinku.
Aku bersyukur diberikan kesempatan untuk mengentuk pintu Magic Shop dan masuk ke dalamnya. Diriku jadi paham, bahwa mengidolakan seseorang itu bisa lebih bermakna dari sekadar mendewakan rupanya, mengikuti dendang lagunya, atau berkhayal menjadi kekasihnya. Jika kita meninjau lebih dalam, banyak nilai-nilai kehidupan yang boleh dipetik dari mereka.
Jadi, apakah kamu sudah berkunjung ke Magic Shop?
Baca Juga
Artikel Terkait
Kolom
-
Wapres Minta Sistem Zonasi Dihapuskan, Apa Tanggapan Masyarakat?
-
Ilusi Uang Cepat: Judi Online dan Realitas yang Menghancurkan
-
Dukungan Jokowi dalam Pilkada Jakarta: Apa yang Bisa Kita Pelajari?
-
Polemik Bansos dan Kepentingan Politik: Ketika Bantuan Jadi Alat Kampanye
-
Regenerasi Terhambat: Dinasti Politik di Balik Layar Demokrasi
Terkini
-
Review Film River, Terjebak dalam Pusaran Waktu
-
Sudah Dapatkan Ole Romeny, PSSI Rupanya Masih Berburu Striker Keturunan
-
Resmi, Serial Alice in Borderland Season 3 Bakal Tayang Tahun Depan
-
Ulasan Buku Perkabungan untuk Cinta, Ungkap Perasaan Duka Saat Ditinggalkan
-
Curi Perhatian! Ini Reaksi Pelatih PSBS Biak usai Strikernya Dipanggil Timnas Indonesia