Lintang Siltya Utami | e. kusuma .n
Ilustrasi orang tua dan anak. (Pexels.com/Los Muertos Crew)
e. kusuma .n

Dalam banyak keluarga, ada satu pola yang sering terdengar di mana anak pertama dianggap lebih penurut, anak bungsu dimanja, sementara anak kedua sering dicap paling bandel, keras kepala, atau bahkan pemberontak.

Fenomena ini kerap dikaitkan dengan istilah second child syndrome, kondisi psikologis yang muncul akibat posisi anak kedua dalam struktur keluarga.

Label ini bahkan begitu umum sampai dianggap wajar. Namun, benarkah anak kedua memang “berbeda”? Atau ada dinamika keluarga yang tanpa sadar membentuk perilaku tersebut?

Apa Itu Second Child Syndrome?

Second child syndrome bukan diagnosis klinis, melainkan istilah populer dalam psikologi keluarga untuk menggambarkan pola perilaku anak kedua yang merasa kurang mendapat perhatian dibandingkan saudara lainnya.

Anak kedua sering berada di posisi yang unik, seperti tidak lagi mendapat perhatian penuh seperti anak pertama, tidak semanja anak bungsu, tapi sering dibandingkan dengan kakaknya.

Kondisi ini berpotensi memengaruhi cara anak kedua membentuk identitas dan mengekspresikan diri. Bahkan tidak jarang anak kedua rentan merasa “tidak terlihat” hingga berusaha memperlihatkan diri lewat cara-cara ekstrem.

Mengapa Anak Kedua Rentan Merasa “Tidak Terlihat”?

Saat anak pertama lahir, orang tua biasanya sangat fokus, protektif, dan penuh antusias. Berbeda situasi saat anak kedua hadir, perhatian orang tua sudah terbagi. Banyak hal yang dulu dianggap spesial kini terasa “sudah biasa”.

Tanpa disadari, anak kedua bisa tumbuh dengan perasaan harus bersaing untuk diperhatikan, selalu berada di bawah bayang-bayang kakak, dan terkadang jarang diapresiasi secara eksplisit. Perasaan ini tidak selalu disadari, tapi bisa terinternalisasi sejak kecil.

Pemberontakan sebagai Cara Mencari Identitas

Salah satu respons yang sering muncul dari anak kedua adalah bersikap berbeda secara ekstrem. Kalau kakaknya dikenal penurut, anak kedua mungkin memilih jalur sebaliknya yang lebih berani, vokal, bahkan terkesan melawan.

Dalam banyak kasus, pemberontakan bukan bentuk kenakalan, melainkan strategi bertahan untuk bisa terlihat. Dengan bersikap berbeda, anak kedua menciptakan ruang identitas yang tidak bisa dibandingkan dengan kakaknya.

Beberapa faktor yang memengaruhi kecenderungan ini, mulai dari anak kedua belajar dari pengalaman kakaknya, lebih paham batasan orang tua, tidak terlalu takut salah, hingga terbiasa harus memperjuangkan perhatian.

Akibatnya, anak kedua sering terlihat lebih berani menyuarakan pendapat, bahkan menentang aturan yang dianggap tidak adil. Mereka pun kemudian mendapat label “pemberontak” dari lingkungan, termasuk orang tua.

Label “Pemberontak” yang Bisa Jadi Bumerang

Sayangnya, saat anak kedua sudah terlanjur diberi label “bandel” atau “pemberontak”, hal tersebut bisa menjadi identitas permanen. Anak mungkin merasa tidak ada gunanya bersikap baik karena ekspektasi orang tua yang rendah dan lebih aman menjadi diri sendiri meski dicap negatif.

Label ini bahkan bisa memengaruhi kepercayaan diri dan hubungan anak dengan keluarga dalam jangka panjang. Meski fakta di lapangan menunjukkan kalau tidak semua anak kedua sama, tapi label negatif sudah terlanjur digeneralisasi.

Tidak Semua Anak Kedua Sama

Penting dipahami bahwa second child syndrome tidak berlaku mutlak. Setiap anak memiliki kepribadian, pengalaman, dan lingkungan yang berbeda. Ada anak kedua yang justru menjadi penyeimbang keluarga, mediator konflik, atau sosok yang sangat mandiri.

Namun, pola ini menjadi relevan ketika anak kedua sering dibandingkan, jarang mendapat validasi, merasa kurang didengar, atau tumbuh dalam pola asuh keluarga yang tidak seimbang.

Di sinilah letak peran orang tua yang memegang peran besar dalam mencegah dampak negatif second child syndrome. Beberapa hal sederhana yang bisa dilakukan melalui validasi emosional, yang antara lain sebagai berikut.

  • menghindari perbandingan antar anak
  • memberi waktu khusus untuk masing-masing anak
  • mengapresiasi keunikan, bukan membandingkan pencapaian
  • mendengarkan pendapat anak kedua tanpa prasangka

Second Child Syndrome: Dewasa dengan Luka yang Tidak Disadari

Banyak orang baru menyadari dampak second child syndrome saat dewasa. Perasaan tidak cukup, kecenderungan memberontak terhadap otoritas, atau kesulitan merasa dihargai bisa berakar dari dinamika masa kecil.

Menyadari hal ini bukan untuk menyalahkan orang tua, tapi untuk memahami diri sendiri dengan lebih utuh. Fenomena ini juga membantu kita memahami mengapa anak kedua sering dicap pemberontak.

Bukan karena mereka bermasalah, tapi karena mereka tumbuh dalam posisi yang menuntut adaptasi emosional lebih besar. Alih-alih memberi label negatif, penting bagi keluarga untuk melihat perilaku anak kedua sebagai bentuk komunikasi yang ingin dilihat, didengar, dan diterima apa adanya.