Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Budi
Ilustrasi pemilu (VectorStock)

Dalam rilis beberapa lembaga survei belakangan ini, potret partai-partai baru memang belum menunjukkan perkembangan yang signifikan dan masif. Tantangannya memang sangat berat, apalagi masa pandemi. Ruang gerak untuk mobilisasi dan konsolidasi secara langsung terbatas. Hanya lewat online dan instrumen digital yang bisa dioptimalkan.

Pada Selasa, 3 Agustus 2021, Indostrategic merilis hasil survei nasional secara online melalui Zoom. Salah satu hasilnya dikatakan bahwa untuk elektabilitas partai politik yang masuk lima besar, paling tinggi adalah PDI Perjuangan. Disusul kemudian oleh Gerindra, Demokrat, PKS, Golkar. Selebihnya adalah partai menengah yang naik turun. Bagaimana partai politik (Parpol) baru? Lagi-lagi butuh perjuangan dan usaha yang keras.

Sebelumnya, saya telah menulis di portal ini (19 Juli 2021), dengan judul “Pilpres 2024: Wajah Baru, Parpol Baru," yang terinspirasi dari tulisan Mawardin berjudul Partai Baru, Matematika dan Mati-matian Politik di Jawa Pos (26 Juni 2021).

Menurut Mawardin, bahwa dalam situasi normal saja, Parpol baru sangat sulit menjaga stamina politik. Apalagi di masa pandemi, tentu akan dihadapkan beban berlipat ganda.

Meskipun mendirikan Parpol adalah hak politik warga negara yang dijamin konstitusi, namun meraih dukungan masyarakat memerlukan strategi yang tepat sasaran. Persaingan menyambut Pemilu 2024 juga semakin keras. Sekarang kita dihadapkan dengan krisis ekonomi akibat pandemi, sebuah tantangan tersendiri bagi Parpol untuk menjawab kesulitan rakyat.

Jadi, tidak hanya sekadar ambisi orang per orang untuk maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden di masa mendatang. Itulah pentingnya mengukur diri, tidak hanya kemampuan mengelola negara, tetapi juga peluang untuk dipilih. Begitu pula partai baru, langkah-langkahnya harus terukur dan masif mendayagunakan potensi yang ada.

Dalam catatan Mawardin, sampai akhir bulan juni 2021, telah tercatat ada lebih dari sepuluh Parpol baru yang muncul. Ada Parpol yang sudah berstatus badan hukum, maupun Parpol yang belum memperoleh pengesahan. Namun, seiring itu juga tentu mereka mengupayakan untuk mengurus legalitasnya dari Kementerian Hukum dan HAM.

Apa saja partai-partai baru tersebut? Mengutip catatan Mawardin, peneliti Charta Politika Indonesia, adapun Parpol baru tersebut adalah Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Partai Ummat, Partai Masyumi, Partai Era Masyarakat Sejahtera (Emas), Partai Usaha Kecil Menengah (UKM), Partai Indonesia Terang (PIT), Partai Hijau Indonesia, dan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima).

Selain itu, ada pula Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 1945, Partai Indonesia Damai (PID), Partai Demokrasi Rakyat Indonesia Sejahtera (PDRIS), Partai Swara Rakyat Indonesia (Parsindo), Partai Nusantara, dan Partai Negeri Daulat Indonesia (Pandai).

Membangun partai baru agar bisa bersaing dengan partai lama, tidak hanya sekadar euforia saja, tetapi mesti serius mencari massa yang besar. Apalagi citra partai sekarang terus merosot. Belum lagi biaya untuk menggerakkan organisasi tak sedikit. Selain itu, pimpinan partai harus terkenal, berpengaruh dan mampu memperoleh simpati publik.

Dari sisi capres atau cawapres yang masuk dalam pemberitaan akhir-akhir ini, terdapat figur Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Agus Harimurti Yudhoyono, Puan Maharani, Ridwan Kamil, dan sejumlah nama popular lainnya. Nama-mana para tokoh tersebut sangat sering masuk dalam wacana politik publik. Tentu politik itu dinamis, maka kemungkinan besar akan ada perkembangan terbaru tergantung bagaimana merawat citra, menunjukkan jejak rekam yang bagus di mata masyarakat.

Di tengah persepsi publik terhadap Parpol yang bernada minor, Parpol dituntut untuk membangun infrastruktur kepengurusan di tingkat pusat dan daerah. Semuanya membutuhkan jaringan massa yang mengakar, dana yang memadai untuk operasional partai, dan ketokohan yang kuat untuk merebut perhatian audiens," tulis Mawardin.

Lebih lanjut, Mawardin menjelaskan tak mudah juga mengubah pemilih. Lagi pula, partai-partai lama akan terus bergerak merawat konstituen agar tidak terjadi migrasi suara ke kutub lain. Karena itu, menurut analis politik Mawardin, selain tokoh atraktif yang punya magnet elektoral, partai baru mesti mengemas diferensiasi dan distingsi program, gairah organisasi, dan jejaring aktor yang menawarkan kebaruan.

Menurut Miriam Budiarjo dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik (2009), bahwa partai politik sebagai suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Dengan demikian, program dan cita-cita partai yang dijual ke publik perlu sesuatu yang berbeda, menarik, dan unik.

Jangan lupa, betapa beratnya partai-partai baru pada Pemilu 2019 meraih kursi di Senayan. Oleh karena itu, tantangan partai-partai baru yang akan mengikuti Pemilu 2024 mesti berjuang keras, cerdas, dan strategi yang bagus.

Becermin pada hasil Pemilu 2019, menurut catatan Mawardin, tidak ada satu pun Parpol baru yang lolos ke Senayan. Partai Perindo hanya mampu meraup 2,67 persen suara; Partai Berkarya memperoleh 2,09 persen; PSI meraih 1,89 persen; dan Partai Garuda hanya 0,50 persen. Bahkan, Parpol lama seperti Partai Hanura terdepak dari DPR pada Pemilu 2019. Nasib serupa juga dialami PBB sejak Pemilu 2009 hingga 2019, gagal menembus ambang batas parlemen. Demikian pula PKPI, belum sekali pun lolos ke Senayan dari Pemilu 1999 hingga 2019.

Dinamika perjalanan Parpol di Indonesia memang menarik diikuti. Walau ada juga sejumlah partai baru yang lolos ambang batas parlemen. tetapi itu semua membutuhkan pengorbanan yang besar. Sebenarnya, berpolitik tidak hanya sekadar urusan menang atau kalah, tetapi sejauh mana memperjuangkan kepentingan masyarakat umum. Oleh sebab itu, partai mesti ideologis.

Salah satu kisah sukses Parpol baru yang patut dipelajari dari negara lain, menurut Mawardin antara lain di Prancis, kemenangan Partai La Republique en Marche (LREM) berhasil menyabet kursi di parlemen pada Pemilu 2017. Bahkan, pimpinan LREM Emmanuel Macron meraih posisi sebagai presiden Prancis.

Yang jelas, para elite politik perlu mengedepankan etika politik dan moral dalam pertarungan merebut kekuasaan. Kalau sudah dapat kekuasaan, gunakan untuk kepentingan rakyat. Begitu pula dalam hal kampanye dan sosialisasi serta komunikasi, jangan sampai mempermainkan isu SARA, agar persatuan dan kesatuan bangsa tetap terpelihara. Perpecahan anak-anak bangsa harus dihindari.

Namun demikian, untuk mencapai dukungan rakyat, sekali lagi memerlukan strategi dan taktik yang hebat. Dengan banyaknya Parpol yang akan bersaing nantinya, maka tepat seperti yang diistilahkan Mawardin, perlu mati-matian politik. Maksudnya usaha yang keras, tidak boleh setengah-setengah.

Inti dari demokrasi, sebenarnya bukan hanya soal pesta Pemilu, Pileg, dan Pilpres, tetapi bagaimana demokrasi itu berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Menurut Abraham Lincoln: democracy is a government "of the people, by the people, and for the people." Jadi, politik mesti diniatkan untuk membela rakyat, bukan kepentingan pribadi.

Budi