Pak Pras merupakan seorang lanjut usia (lansia) yang tinggal di daerah Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Beliau baru berumur 60 tahun, namun sudah menajdi Lanjut Usia Terlantar (LUT) karena perbuatannya sendiri di masa mudanya. Klien pernah menikah 2 kali. Ia pergi meninggalkan dan menceraikan istri saat anaknya berusia 5 anak.
Klien menikah lagi dan dikaruniai 2 orang anak. Klien mempunyai gaya hidup yang sering minum minuman keras dan berjudi. Satu per satu harta warisan yang berbentuk rumah dan tanah dijual untuk bersenang senang.
Ia menumpang di kediaman istri kedua, lama kelamaan tidak menafkahi keluarga dan kondisi kesehatannya sudah mulai menurun karena faktor usia. Klien tidak mampu bekerja dan akhirnya diusir oleh istrinya. Ia kemudian mengemis di jalan. Sejak saat itu klien tidak lagi berkomunikasi dengan keluarganya dan mulai terlantar di jalan. Oleh istrinya yang kedua pun ia diceraikan.
Di masa mudanya, klien suka mencari keributan di wilayah desanya. Oleh karena itu, kini klien ditolak oleh masyarakat setempat karena perilakunya yang selalu membuat keributan di masa lalunya.
Klien ini sempat dirawat di RSUP dan dikirim ke Rumah Perlindungan Sementara (RPS), kemudian dirujuk ke balai lansia. Dalam kondisi keterlantarannya ini, Pak Pras dibantu oleh Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3). LK3 berperan awal dalam melakukan asesmen kebutuhan klien dengan menugaskan pekerja sosial.
Kasus lain dari LUT, Mbah Slem, merupakan lansia disabilitas netra. Beliau berumur 61 tahun tinggal di daerah Sleman belahan Utara. Beliau belum begitu tua, tetapi mengalami keterlantaran juga. Beliau saat ini hidup sendiri tanpa istri dan anak, walaupun sempat hidup serumah dengan seorang wanita netra juga. Wanita tersebut saat ini sudah meninggal. Beliau dulu hingga sekarang suka bepergian ke mana-mana menggunakan bus atau berjalan kaki. Beliau tidak pernah menikah resmi.
Simbah dulunya tinggal di rumah adiknya. Akan tetapi, karena suka membawa wanita dan menolak menikah, akhirnya beliau pergi. Simbah pergi dan menemukan bangunan kosong milik pemerintah desa. Ia dan wanitanya tinggal serumah, hingga pada suatu saat simbah putri ditemukan warga sekitar sudah meninggal di parit kecil dekat rumah yang mereka tinggali.
Pemerintah desa akan merenovasi bangunan ini untuk difungsikan lagi. Pemerintah desa menghubungi Dinas Sosial melalui LK3 agar simbah dicarikan tempat tinggal. Dulu simbah mempunyai bagian tanah pemberian orang tuanya, tetapi telah dijual. Uangnya digunakan untuk bersenang-senang. LK3 kemudian melakukan asesmen melalui pekerja sosialnya dan merujuk klien ke balai lansia.
LK3 merupakan media konsultasi bagi individu dan keluarga yang mengalami masalah sosial psikologis dalam keluarganya, yang mengganggu pelaksanaan peran dan fungsinya sebagai pribadi, anggota keluarga, dan anggota kelompok sosial lainnya.
LK3 merupakan lembaga yang secara terpadu bernaung di bawah Dinas Sosial yang terdiri atas LK3 dengan basis kabupaten/kota. LK3 berbasis masyarakat dan LK3 berbasis perguruan tinggi.
LK3 yang dibentuk pemerintah, salah satunya LK3 Sembada 9 di Kabupaten Sleman. LK3 ini terbentuk pada tahun 2009 dengan anggaran dari pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Sosial melalui Dinas Sosial DIY.
LK3 ini masih tetap bisa eksis. Atas peran aktif lembaga ini, pada saat anggaran pusat diputus tahun 2019, pemerintah menggalihkan tanggung jawab ke kabupaten.
Keluarga merupakan tempat pertama seorang anak dilahirkan, tumbuh dan berproses. Keluarga diharapkan mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak. Harapannya ia akan menjadi pribadi yang tangguh, jika tumbuh di tengah keluarga yang baik, harmonis dan minim konflik. Oleh karena itu, LK3 hadir sebagai teman bicara keluarga.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk usia lansia atau di atas 65 tahun saat ini sebanyak 16 juta jiwa. Jumlah ini sebesar 5,95% dari total penduduk Indonesia yang tercatat sebanyak 270,2 juta jiwa.
Adapun Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki proporsi penduduk lanjut usia (lansia) paling tinggi di Indonesia, dengan 14,5%. Kemudian, diikuti dua provinsi lainnya di Pulau Jawa, yakni Jawa Tengah dan Jawa Timur, di kisaran 13%.
Dari data tersebut, harapannya lansia yang ada adalah yang berkualitas hidupnya, bukan banyak yang terlantar. LK3 sebagai salah satu lembaga yang ikut berperan aktif menangani kasus lansia terlantar ini.
LUT terjadi karena kondisi yang disebabkan perilaku yang bersangkutan, seperti contoh di atas. Peran LK3 sudah sangat besar, akan tetapi tidak bisa bekerja sendiri. Dibutuhkan peran beberapa pihak seperti keluarga, pemerintah desa, kader, pendamping sosial dalam kasus LUT.
LK3 bisa lebih berperan yaitu melalui psikolognya untuk mengajak keluarga memberikan perhatian kepada orang tua, agar tidak menjadi LUT. Peran LK3 akan lebih maksimal misal jika mengadakan kegiatan bimbingan sosial.
Bimbingan sosial ini berfungsi untuk memberikan penguatan kepada keluarga akan pentingnya merawat dan memberikan perhatian bagi lansia. Bagaimana sebaiknya merawat lansia, agar terjalin hubugan baik antara anak dan orang tuanya. Dari kondisi ini, harapannya tidak ada lagi lansia yang terlantar.
Terkadang LK3 belum bisa cepat merespons kasus yang ada disebabkan SDM yang terbatas. Pengurus LK3 terdiri dari Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) dan pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) yang sudah padat sekali kegiatannya.
Dibutuhkan rekrutmen SDM LK3 yang free tidak banyak “baju”. Akan tetapi, karena unsur LK3 hanyalah relawan, bagaimana pekerjaannya bisa maksimal? Karena tidak ada keuntungan finansialnya. Dibutuhkan komitmen dari setiap unsur yang ada di LK3.
Selama masa pandemi, hambatan LK3 adalah petugas harus hati-hati karena lansia rentan penularan virus Covid-19. Dalam kunjungan lapangan pun hanya berbekal masker, tanpa APD lengkap.
Jelas, ini sangat berisiko tinggi. Ada baiknya tetap menggunakan APD pada saat kunjungan lapangan agar petugas aman juga simbahnya. Fasilitasi Dinas Sosial atau kerjasama dengan dinas kesehatan harusnya bisa diwujudkan, akan tetapi alasan klise, tidak masuk anggaran.
Anggaran LK3 hanya bersumber dari APBD kabupaten untuk sekatang ini. Agar kegiatan bisa terus berjalan, LK3 dituntut cerdas dalam mengandeng sumber dana bagi kegiatan sosial, di antaranya Baznas juga CSR. Asal LK3 bisa mempertanggungjawabkan alokasi dana yang diberikan, mereka pun dengan senang hati bekerjasama.
Perlu kiranya memberikan penghargaan kepada LK3 yang kontribusinya besar, salah satu yang pernah diberikan pemerintah pusat adalah kendaraan roda empat untuk layanan konsultasi keliling.
Nah, belum meratanya pembagian mobil ini, sebenarnya bisa dijadikan reward. Faktanya bahwa LK3 yang dekat, yang dapat. Kapan Indonesia bisa maju kalau budaya seperti ini masih dilestarikan. Harapannya lanjut usia tertangani hingga tidak ada yang terlantar dan mekanisme di pemerintahan bebas nepotisme.
Tag
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Polemik Kunjungan Dinas Sosial Kabupaten Bogor ke Bali, Boros atau Kebutuhan?
-
Oral Seks Berujung Pasal Berlapis! Begini Nasib Pengendara Xpander yang Tabrak Lari Penyandang Disabilitas hingga Tewas
-
Lansia 72 Tahun di Prancis Bongkar Kekejaman Suaminya, Diperkosa oleh Puluhan Pria Selama Bertahun-tahun
-
Gak Ada Otak! Nyetir Mobil sambil 'Anu' Dikemut Cewek, Mahasiswa di Sleman Tabrak Pria Difabel hingga Tewas
-
Dinas Sosial Bogor 'Biarin' Korban Bencana, Pegawai Jalan-jalan ke Bali Pakai Anggaran Rp900 Juta?
Kolom
-
Seni Menyampaikan Kehangatan yang Sering Diabaikan Lewat Budaya Titip Salam
-
Indonesia ke Piala Dunia: Mimpi Besar yang Layak Diperjuangkan
-
Wapres Minta Sistem Zonasi Dihapuskan, Apa Tanggapan Masyarakat?
-
Ilusi Uang Cepat: Judi Online dan Realitas yang Menghancurkan
-
Dukungan Jokowi dalam Pilkada Jakarta: Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Terkini
-
3 Moisturizer Lokal yang Berbahan Buah Blueberry Ampuh Perkuat Skin Barrier
-
Bangkit dari Keterpurukan Melalui Buku Tumbuh Walaupun Sudah Layu
-
The Grand Duke of the North, Bertemu dengan Duke Ganteng yang Overthinking!
-
5 Manfaat Penting Pijat bagi Kesehatan, Sudah Tahu?
-
Menyantap Pecel Lele Faza, Sambalnya Juara