Dalam sebuah langkah berani yang jarang terjadi, pemerintah Denmark mengambil keputusan mengejutkan dengan menghapus pajak 25% untuk buku.
Keputusan ini bukan tanpa alasan, melainkan sebuah pengakuan jujur atas krisis literasi yang mengancam masa depan bangsanya.
Langkah ini menempatkan Denmark di garda depan negara-negara yang menganggap buku sebagai komoditas esensial, bukan sekadar barang mewah, demi membangun kembali fondasi pengetahuan masyarakatnya.
Selama bertahun-tahun, Denmark dikenal memiliki salah satu pajak tertinggi untuk buku di Eropa, mencapai 25%. Tingginya pajak ini secara langsung berdampak pada harga buku yang melonjak, membuatnya kurang terjangkau bagi sebagian besar masyarakat.
Akibatnya, minat beli buku menurun drastis, yang pada akhirnya memengaruhi budaya membaca. Pemerintah Denmark mungkin melihat tren ini sebagai sinyal bahaya, di mana populasi yang semakin melek teknologi justru semakin jauh dari buku fisik.
Angka literasi yang sangat stagnan, bahkan mungkin cenderung menurun di kalangan anak muda, menjadi alarm yang tidak bisa diabaikan.
Dilansir dari CNBC Indonesia, Ditemukan fakta bahwa di negara Denmark 24% anak muda, berusia 15 tahun, tidak dapat memahami teks sederhana. Hal inilah yang menimbulkan kekhawatiran besar bagi negara Denmark.
Keputusan menghapus pajak ini adalah pengorbanan finansial yang signifikan bagi negara tersebut. Namun, Denmark memilih untuk melihatnya sebagai investasi jangka panjang pada modal intelektual bangsanya.
Mereka menyadari bahwa biaya yang dikeluarkan untuk subsidi buku jauh lebih kecil dibandingkan dengan kerugian sosial dan ekonomi yang timbul akibat rendahnya literasi.
Masyarakat yang tidak gemar membaca cenderung rawan memiliki pemahaman yang dangkal, mudah terpengaruh disinformasi, dan kurang memiliki keterampilan berpikir kritis, yang semuanya dapat menghambat inovasi dan produktivitas nasional.
Dengan menghapus pajak, harga buku menjadi lebih murah, memicu daya beli, dan secara tidak langsung mendorong masyarakat untuk kembali membeli buku sebaai konsumsi sehari-hari.
Langkah ini juga menunjukkan pemahaman bahwa literasi adalah fondasi demokrasi yang sehat. Masyarakat yang terliterasi dengan baik mampu memilah informasi, membuat keputusan yang rasional, dan berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan politik.
Dengan membuat buku lebih mudah diakses, Denmark berharap dapat membina warga negara yang lebih kritis dan bertanggung jawab.
Penghapusan pajak buku ini merupakan bagian dari strategi besar untuk menempatkan membaca kembali di pusat kehidupan budaya dan pendidikan.
Ini adalah kebijakan yang sangat berani, yang memprioritaskan kesejahteraan intelektual rakyat di atas keuntungan fiskal negaranya sendiri.
Indonesia, yang juga menghadapi tantangan serupa dalam meningkatkan minat baca, dapat belajar banyak dari keberanian Denmark.
Saat ini, pajak buku di Indonesia sudah relatif rendah, tetapi tantangan utamanya adalah harga buku yang masih dianggap mahal dan jangkauan distribusi yang belum merata.
Kebijakan Denmark mengingatkan kita bahwa pemerintah memiliki peran krusial dalam memfasilitasi akses terhadap pengetahuan yang bebas bagi semua lapisan masyarakat.
Pemerintah memegang penuh kendali atas apa yang menjadi hal-hal krusial di negeri ini. salah satunya literasi dan minat baca yang sampai saat ini masih menjadi isu nasional yang mengkhawatirkan.
Menganggap buku sebagai aset strategis dan bukan komoditas biasa adalah kunci. Ini adalah panggilan bagi kita untuk melihat literasi bukan sekadar program pemerintah.
Tetapi literasi dalam hal ini harus dimaknai sebagai sebuah gerakan nasional yang membutuhkan pengorbanan dan komitmen dari semua pihak.
Kisah Denmark adalah bukti nyata bahwa jika sebuah bangsa ingin maju, mereka harus rela berinvestasi pada hal-hal yang paling mendasar seperti pengetahuan dan kecintaan pada membaca.
Baca Juga
-
Review Film Weapons: Horor Misteri yang Penuh dengan Teka-teki
-
Mengapa Kisah Perempuan dalam Karya Sastra Selalu Syarat akan Luka?
-
Memaknai Literasi Finansial: Membaca untuk Melawan Pinjol dan Judol
-
Komunitas Buku sebagai Safe Space: Pelarian dari Kegaduhan Dunia Digital
-
Biblioterapi: Cara Praktis Atasi Gangguan Mental Melalui Aktivitas Membaca
Artikel Terkait
-
Ulasan Novel 0 KM (Nol Kilometer): Simbolis Pertemuan dan Perpisahan
-
Ulasan Buku Passive Income Strategy, Tips Investasi Biar Tetap Cuan
-
Literasi Digital Jadi Kunci! Cara Aman Nikmati Ledakan Ekonomi Digital Indonesia
-
Ulasan The Chicken Sisters: Pertarungan Kuliner dan Harga Diri Keluarga
-
Cegah Jeratan Judol, Pluang Bekali Teknik Investasi Kripto ke Remaja Rusunawa Marunda
Kolom
-
Paradoks di Senayan: Gaji PNS Dilarang Naik, Tunjangan DPR Jalan Terus
-
Tunjangan 50 Juta: DPR Tinggal di Rumah Rakyat atau Istana Pajak?
-
Bumi Belum Merdeka: Dijajah Sampah Plastik yang Kita Biarkan
-
Kak Ros dan Realita Pahit Generasi Sandwich
-
Mengapa Kisah Perempuan dalam Karya Sastra Selalu Syarat akan Luka?
Terkini
-
4 Rekomendasi Serum dengan Ekstrak Kaktus untuk Rahasia Kulit Lembap dan Bebas Kusam
-
4 Inspirasi Padu Padan Outfit Minimalis ala Lee Sun Bin, Modis Tanpa Ribet!
-
Futsal Perempuan: Ruang Kebebasan, Ruang Perjuangan
-
Datang ke KPK, Lisa Mariana Diperiksa soal Dugaan Korupsi BJB: Ridwan Kamil Kapan Menyusul?
-
Pesona Song Hye Kyo dengan Gaya Elegan yang Nggak Ribet, Sontek 4 OOTD-nya!