Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Ketua DPR RI Puan Maharani (Instagram/dpr_ri)

Media sosial saat ini dipenuhi kabar mengenai kenaikan gaji anggota DPR yang nilainya bikin netizen melongo. Padahal katanya, gaji pokok anggota DPR hanya Rp4,2 juta per bulan. Dan angka itu dinilai tak pernah naik selama 15 tahun terakhir.

Lalu di mana masalahnya?

Gaji pokok Rp4,2 juta per bulan memang kedengarannya menyedihkan, seolah para wakil rakyat hidup pas-pasan. Tapi faktanya, di luar gaji pokok itu, ada berbagai tunjungan yang nilainya fantastis.

Di antaranya, ada tunjangan kehormatan Rp5,58 juta, tunjangan komunikasi Rp15,55 juta, tunjangan jabatan Rp9,7 juta, tunjangan beras Rp12 juta (baru saja naik dari 10 juta), tunjangan bensin Rp7 juta (naik dari 4–5 juta), dan tentu saja tunjangan perumahan yang baru disahkan sebesar Rp50 juta per bulan.

Kalau dihitung, jumlahnya bisa menyentuh kisaran Rp100 juta setiap bulan.

Jadi sebenarnya yang tidak naik itu cuma gaji pokoknya saja, sementara tunjangan atau isi dompetnya tetap bertambah.

Dan yang paling bikin publik geram adalah tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan. Kalau kita hitung, anggota DPR periode 2024–2029 ada sekitar 580 orang, jika dikalikan lima tahun, angka ini setara Rp1,74 triliun.

Indonesia Corruption Watch (ICW) sudah mengingatkan, dana sebesar itu bisa menggaji 36.000 guru per tahun. Bayangkan, puluhan ribu guru yang sekarang harus mengais rezeki sambil nyambi pekerjaan lain, bisa hidup lebih layak jika dana itu dialihkan.

Tapi, siapa yang percaya para wakil rakyat benar-benar butuh Rp 50 juta hanya untuk sewa rumah? Mereka beralasan bahwa harga sewa di kawasan Senayan memang mahal. ICW langsung membantah, menyebut separuh dari biaya itu sudah lebih dari cukup.

Dan logisnya, kalau rakyat saja bisa bertahan di kontrakan 2 juta per bulan di pinggiran Jakarta, kenapa wakil rakyat butuh rumah dengan standar hotel bintang lima? Apakah fungsi legislasi tidak bisa dijalankan kecuali dengan dapur marmer dan kolam renang pribadi?

Ketika rakyat antre minyak goreng, berdesakan cari subsidi bensin, dan pusing membayar kontrakan, wakil rakyat justru sibuk menuntut kontrakan mewah. Kontrasnya terlihat jelas, di satu sisi orang tua menabung recehan demi bisa bayar sekolah anak, di sisi lain wakil rakyat menyodorkan tagihan Rp50 juta ke APBN hanya untuk tempat tidur.

Yang menarik, narasi gaji pokok tidak naik itu seolah sengaja dimainkan untuk mengundang simpati. Padahal publik sudah semakin kritis dan mereka bisa menghitung sendiri angka tunjangan.

Ironisnya, alasan yang dipakai DPR sering kali berkebalikan dengan argumen yang mereka berikan ke rakyat. Saat PNS mengeluh gaji tidak naik, jawabannya adalah kondisi fiskal tidak memungkinkan. Tapi giliran DPR sendiri yang meminta tunjangan, tiba-tiba APBN terasa sangat longgar.

580 anggota DPR menikmati fasilitas setara sultan, sementara jutaan orang masih hidup pas-pasan. Kontrak sosial antara rakyat dan wakilnya seharusnya dilandasi rasa empati, bukan perlombaan fasilitas.

Lalu, kalau DPR bisa menuntut Rp50 juta untuk rumah, kenapa rakyat masih dibiarkan menanggung inflasi, pajak tinggi, dan harga kebutuhan pokok yang melonjak?

Di dalam ruang rapat, DPR berdiskusi soal kebijakan rakyat. Tapi di luar gedung, gaya hidup mereka semakin menjauh dari realita warga pada umumnya.

Publik tentu tidak menuntut DPR hidup miskin. Memang wajar kalau jabatan penting diberi fasilitas memadai. Tapi wajar juga kalau rakyat marah ketika fasilitas itu berubah jadi pesta kemewahan yang dibebankan ke pajak mereka.

Rasanya, kritik keras di media sosial yang menyebut DPR menari di atas penderitaan rakyat, tidaklah berlebihan.

Fauzah Hs