Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Mohammad Azharudin
Para Petani Desa (Pexels/Quang Nguyen Vinh)

Pertanian menjadi salah satu sektor yang seharusnya mendapat porsi perhatian yang besar. Ada banyak problematika dalam bidang pertanian di negeri ini, mulai dari pupuk subsidi yang sering telat, hingga pemerintah yang malah impor beras saat musim panen.

Namun, jelas saya tidak akan mengulas hal itu. Pertama, nggak sesuai dengan judul pastinya. Kedua, saya nggak punya kualifikasi keilmuan di bidang itu. Yah, tetapi setidaknya saya sedikit tahulah seluk-beluk tentang petani, karena saya memang anak petani.

Hampir seluruh masyarakat desa saya semuanya adalah petani, termasuk bapak saya. Sebagai anak yang lahir dan besar di lingkungan petani, saya sudah nggak asing dengan alat-alat seperti arit, cangkul, bajak, dan kawan-kawan seperjuangannya.

Menjadi anak petani memang bukan suatu hal yang membanggakan, apalagi bapak saya juga sebagian besar masyarakat desa saya bukan tergolong petani sukses.

Ekonomi kami masih termasuk dalam kelas menengah ke bawah, tetapi alhamdulillah untuk makan sehari-hari selalu ada. Meski lahir dan tumbuh di lingkungan petani, saya sendiri sebenarnya nggak terlalu ingin jadi petani. Tidak! Bukan karena jadi petani itu nggak keren. Ada banyak faktor yang membuat saya berpikir berulang kali untuk jadi petani.

Pertama, postur tubuh saya yang tentu saja sangat tidak proporsional untuk jadi petani. Ngangkat jagung satu karung saja udah ngos-ngosan poll, apalagi ngangkat jagung berkarung-karung.

Kedua, belum punya ilmu pertanian mulai dari menanam, memupuk, merawat, memanen, menanam kembali, dan seterusnya yang memadai. Alih-alih sukses, bisa-bisa malah rugi yang didapat. Rugi dana, rugi waktu, rugi pikiran, rugi tenaga.

Kalau ada yang bilang, “Tenang! Pengalamanlah yang akan membuat Anda paham ilmu pertanian dengan sendirinya”. Ya kalo ada dana lebih saya berani coba-coba untuk cari pengalaman. Lha kalau nggak ada? Masa’ mau main ngawur?

Ketiga, musim yang sudah sangat tak menentu. Dalam buku IPS yang pernah saya pelajari di sekolah dulu dipaparkan bahwa musim kemarau terjadi pada bulan April hingga Oktober. Sementara musim hujan terjadi pada bulan Oktober hingga April.

Nah, jenis musim ini berpengaruh pada jenis tanaman apa yang akan ditanam. Masalahnya sekarang nggak sesederhana itu. Meskipun sudah ada BMKG dan ramalan cuaca, tetap saja di daerah saya cuacanya sulit ditebak. Agak merepotkan adinya.

Terlepas dari semua itu, saya sebenarnya mendapat privilege tersendiri sebagai seorang anak petani. Privilege yang saya dapatkan ini tampaknya nggak akan didapat oleh anak orang kaya. Apa sajakah itu? Berikut penjabarannya.

1. Nggak Perlu Sering-Sering Beli Sayur dan Bisa Sedekah Secukupnya

Bapak saya adalah tipikal petani yang nggak hanya menanam satu jenis tanaman. Dalam satu lahan, bapak saya biasanya menanam setidaknya dua sampai empat jenis tanaman. Kendati demikian, tetap saja satu jenis tanaman yang menjadi tanaman inti.

Misal bapak saya menanam tanaman cabai sebagai tanaman inti, beliau biasanya juga menanam bayam, kangkung, hingga kemangi di tempat-tempat yang sekiranya masih cukup untuk ditanami.

Nah, karena cukup beragamnya sayuran yang kami miliki, kami nggak perlu terlalu sering beli sayur. Kalau bikin sambel, tinggal petik cabainya di sawah, mau masak tumis kangkung, tinggal ambil di sawah.

Hal seperti ini jelas nggak dirasakan anak orang kaya (yang bukan berasal dari golongan petani). Memang benar mereka mampu membeli apa yang mereka inginkan, tetapi mereka nggak bisa merasakan makanan dari tumbuhan yang ditanam dan dirawat sendiri seperti anak sendiri dengan penuh kasih sayang.

Tak hanya itu. Dengan punya jenis tanaman yang cukup beragam, keluarga kami bisa dengan mudah memberi sedekah pada para tetangga. Kami nggak perlu takut kehabisan karena apa yang kami tanam bukan jenis tanaman yang habis sekali panen. Jadi, kami juga bisa sering-sering memberi sedekah meski hanya dengan hal yang sangat sederhana.

Walau demikian, ternyata masih ada aja model tetangga yang sekarepe dewe; udah ngambil tanpa permisi, ngambilnya banyak banget lagi. “Diwehi sing penak malah golek duso. Yo wes, sak karepmu lah!”.

2. Kenikmatan Makan di Sawah

Wah kalo ini jelas nggak dirasakan anak orang kaya. Makan di sawah itu nikmatnya subhanallah banget pokoknya. Meskipun toh yang dimakan cuma nasi-ikan asin-tempe-sambel, tapi sensasinya itu bikin nagih banget.

Memang benar apa yang dikatakan KH. Anwar Zahid, “Makan di restoran itu enak, tapi makan di sawah itu jauh lebih nikmat”. Saya sendiri nggak tahu apa sebabnya kok bisa begitu. Nasi yang mulanya B aja ketika dimakan di rumah, pas dibawa ke sawah tiba-tiba jadi nikmat banget. Heran saya, tapi ketagihan juga. Nggak percaya sama kenikmatan makan di sawah? Kalian bisa coba sendiri. “Buktikan dan rasakan sensasi kenikmatannya!”.

3. Di-Paido Oleh Orang yang Melakukan Salah pada Saya

Lho, bentar-bentar. Kok di-paido orang yang berbuat salah pada kita jadi privilege? Oke, mungkin kita harus menelusuri akarnya dulu. Gini lho, anak petani itu kan jelas nggak punya derajat yang tinggi di mata orang, apalagi orang yang lebih tinggi (terutama dalam segi harta dan gaya hidup) dari saya.

Nah, ketika mereka melakukan kesalahan pada saya, ‘pernah’ saya yang justru disalahkan dan di-paido. Sakit hati? Jelas lah! Pengen marah? Banget! Akan tetapi, saya jadi ingat banyak hadis yang menjelaskan tentang mudahnya doa orang yang terzalimi untuk diijabahi.

Nah, ini lho yang saya maksud privilege di sini. Jadi, saat dizalimi seperti yang saya paparkan sebelumnya tadi, saya kadang cukup diam, mengalah, lalu berdoa semoga Allah swt selalu menurunkan rahmatnya pada saya dan pada orang yang menzalimi saya. “Eh! Kok tiba-tiba jadi bijaksana gini saya!?”.

Mohammad Azharudin