Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Mohammad Azharudin
Spider-Man (imdb)

Pada penghujung tahun 2021 lalu, kita disuguhi film Spider-Man yang kata banyak orang merupakan salah satu film fan service terbaik. Bagaimana tidak, film yang mengusung tema multiverse ini menampilkan kembali aktor-aktor di film-film Spider-Man terdahulu dengan peran yang sama. Hal ini telah begitu ditunggu oleh fans sejak lama. Tak heran bila banyak orang yang sangat antusias dengan film Spider-Man: No Way Home ini.

Kendati demikian, ada satu keinginan fans yang tidak terpenuhi di film ini, yakni terbentuknya Sinister Six. Film Spider-Man: No Way Home hanya menyuguhkan 5 villain, meliputi Green Goblin, Doc Ock, Sandman, Lizard, dan Electro. Kehadiran Venom tidak dihitung sebab ia hanya muncul sebentar dan tak bertemu dengan Spider-Man.

Beberapa bulan selepas itu, film The Batman menjadi film super hero pembuka di tahun 2022. Film yang dibintangi Robert Pattinson ini menuai banyak pujian dari berbagai pihak. Bahkan, hingga saat ini film The Batman masih digadang-gadang sebagai film super hero terbaik di tahun 2022.

Saya setuju dengan hal tersebut. Film The Batman memang memiliki banyak sisi apik, entah itu plot maupun sinematografinya. Oh, iya! Ngomong-ngomong soal The Batman, saya jadi teringat akan istilah yang kerap kita pakai untuk menyebut negara ini saat terjadi sebuah paradoks (utamanya dalam bidang hukum). Kita biasanya menyebut negeri ini dengan Wakanda. Saya merasa hal tersebut kurang tepat. Pasalnya, Wakanda adalah negeri fiksi yang sangat makmur. Justru keadaan (pemerintahan) negeri ini menurut saya lebih mirip Gotham dalam The Batman. Ada yang setuju?

Oke, kembali ke fokus pembahasan. Sependek yang saya analisis, baik Spider-Man maupun The Batman, memiliki sisi ‘membumi’ masing-masing. Namun, mereka dapat menjadi super hero sebenarnya juga lantaran memiliki privilese. Berikut ulasan rincinya.

1. Privilese Spider-Man

Dalam film Spider-Man: No Way Home, di akhir film kita dipertontonkan dengan kondisi hidup Peter Parker yang tak lagi sama seperti sebelumnya. Mulanya Spider-Man versi MCU ini merupakan anak emas dari Tony Stark a.k.a Iron Man. Segala sesuatu disediakan oleh Tony Stark, termasuk salah satunya Iron Spider Suit. Tak berhenti di situ, Tony Stark bahkan memberi warisan pada Peter Parker berupa kacamata yang terdapat artificial intelligence bernama EDITH di dalamnya. Intinya, Peter Parker yang diperankan oleh Tom Holland adalah sosok yang punya kehidupan enak dan seolah tanpa beban.

Nah, di akhir film Spider-Man: No Way Home, Peter Parker MCU ini akhirnya (harus) menjalani hidup yang kurang-lebih seperti yang dilakoni oleh dua versi Peter Parker pendahulunya. Ia tak lagi tinggal di tempat yang mewah. Suit Spider-Man-nya pun kini merupakan jahitan sendiri. Beberapa orang menyatakan bahwa memang harusnya seperti itulah Spider-Man, bukan seperti yang ditampilkan MCU selama ini. Melihat hal termaktub, mungkin banyak yang menganggap bahwa Spider-Man adalah sosok super hero yang mandiri. Apa yang ia lakukan rasanya bisa kita tiru dalam kehidupan nyata. Kendati demikian, faktanya Spider-Man memiliki privilese tersendiri saat menjadi super hero.

Dari segi kekuatan, Spider-Man memiliki tingkatan di atas rata-rata manusia biasa. Selain itu, ia juga memiliki sensor yang disebut spider sense. Semua itu didapatkannya lantaran gigitan laba-laba radioaktif, bukan merupakan hasil dari latihan dalam jangka waktu yang lama. Hal istimewa semacam ini tak bisa kita dapatkan di duni nyata. Kita mungkin bisa menitu Peter Parker dalam hal menjahit suit sendiri dan membuat web shooter (asalkan kita tahu formulanya). Namun, tetap saja kita tak memiliki privilese yang sama dengannya dalam hal sumber kekuatan.

2. Privilese The Batman

Film The Batman garapan Matt Reeves memang menggunakan formula yang berbeda dari film-film super hero pada umumnya. Dalam film ini, villain yang dihadirkan bukan merupakan monster/alien/entitas yang mengancam seluruh galaksi. Film The Batman menyajikan villain yang lingkup ancamannya sekadar mencakup kota Gotham.

Namun, saya rasa The Batman bukan hanya menghadapi The Riddler (selaku villain utama). The Batman juga dihadapkan pada kriminalitas di kota Gotham yang menjamur, kelompok mafia yang menyetir seenaknya dana proyek pemerintah, emosi diri, hingga fakta mengejutkan dari keluarganya. Bruce Wayne harus melawan semua itu sambil terus berupaya menyembunyikan identitasnya sebagai The Batman.

Melihat apa yang dilawan The Batman, beberapa mungkin ada yang berpikir bahwa semua orang bisa dengan mudah menjadi sepertinya. Namun, harus diakui bahwa Bruce Wayne dapat melakukan semua itu lantaran ia memiliki privilese.

Salah satunya adalah ia merupakan anak orang kaya. Privilese ini tak hanya berpengaruh pada perlengkapan beraksi The Batman. Lebih dari itu, privilese yang dimiliki Bruce Wayne tersebut juga berpengaruh terhadap kepribadiannya. Dalam film The Batman diungkapkan bahwa banyak anak menjadi yatim piatu lantaran tingkat kriminalitas kota Gotham yang sangat tinggi. Anak-anak tersebut lantas tak bisa makan sepatutnya, juga tak bisa mendapat tempat tidur yang layak. Semua yang mereka peroleh itu membuat mereka kian dendam dengan Gotham. Sehingga hampir semua dari mereka menjadi sosok kriminal saat telah dewasa.

Berbeda dengan Bruce Wayne. Ia memang kehilangan orang tuanya saat masih kecil, tetapi nasibnya jauh lebih beruntung dibandingkan yang lain. Bruce Wayne masih bisa tinggal di rumah megah peninggalan orang tuanya. Ia juga diasuh oleh Alfred yang merupakan pelayan kepercayaan keluarganya. Hal-hal itu juga berkontribusi mencegah Bruce Wayne menjadi sosok kriminal. Kendati demikian, ia masih menyimpan dendam pada kriminalitas di kota Gotham. Oleh sebab itulah, ketika ditanya oleh para kriminal siapa dirinya yang sebenarnya, Bruce Wayne di balik topeng The Batman selalu mengucap, “I am Vengeance!”. So, menjadi The Batman pun sebenarnya bukan perkara mudah.

Oke! Pertanyaannya sekarang, apa korelasi antara kehidupan super hero di atas dengan kehidupan nyata? Saya rasa begini, privilese turut menentukan perbuatan baik apa yang dapat kita lakukan. Jika kita anak orang kaya, kita akan punya kesempatan lebih luas dalam bersedekah.

Dalam hati, kita sangat mungkin tak merasa khawatir mau makan apa esok hari. Hal semacam ini tentu agak sulit bagi mereka yang berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Lalu, bagi kita yang mendapat privilese sebagai anak dari pengasuh pesantren, tentu kesempatan kita berbuat baik dalam bentuk ‘mengajar’ jauh lebih besar. Pasalnya, sejak kecil kita telah mendapat akses yang sangat mudah terhadap ilmu-ilmu keagamaan.

Kira-kira seperti itulah konsep berbuat baik. Jadi, mulai sekarang mari kita berbuat baik sesuai kadar kemampuan masing-masing. Jangan sampai kita terbebani, apalagi sampai membuat kita menderita. Oh, iya! Tentunya untuk dapat berbuat baik, kita tak perlu menunggu jadi super hero dulu.

Mohammad Azharudin