Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | anastasya putri safinatun naja
Ilustrasi demo (Shutterstock).

Seiring bertambah usia, minat terhadap perkara politik pasti muncul, tapi saya tidak menyangka saya akan mencicipi kualitas politik Indonesia yang sebercanda ini. “Demokrasi”, katanya. Tapi, dibagian mana demokrasi benar benar berdiri di negri kita tercinta ini?

Mata rantai pengaruh politik yang dilakukan oleh para petinggi justru membuat rakyat hanya bisa bungkam, memohon, dan berserah diri. Bagaimana tidak, bahkan dalam menyuarakan pendapat, rakyat hanya bisa menggerutu dalam hati. Padahal mereka menyaksikan secara langsung ketidakadilan yang terjadi di Indonesia. Sejatinya, demokrasi sendiri memiliki pengertian sebagai sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Jadi, rakyat memiliki peran paling utama dan penting di sistem pemerintahan berdemokrasi ini. 

Namun apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia?

Mengulik dari suara tangis rakyat belakangan, politik Indonesia semakin memperbudak rakyat dan menuhankan pemerintah. Rakyat dibungkam, diperas, dikungkung dengan rantai oleh para petinggi negara. Dijadikan budak dan dirampas hak-haknya yang merupakan inti utama dari terselenggaranya pemerintahan berdemokrasi. Apa yang saya rasa kini justru Indonesia lebih mengusung petinggi yang kapitalis, membuat rakyat mengemis keadilan.

Lalu bagaimana dengan budaya politik Indonesia yang secara garis besar dapat dilihat dari 3 aspek, yaitu budaya politik parokial, budaya politik kaula, dan budaya politik partisipan? 

Di Indonesia sendiri, budaya politik partisipan merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik dalam berdemokrasi. Karena dengan adanya demokrasi, pemerintah dan rakyat warga negara bisa terhubung, karena rakyat dilibatkan dalam pemilihan umum sehingga rakyat merasa ikut andil dalam berjalannya tatanan Negara. Warga Negara juga mampu menyampaikan kritik, aspirasi, dan juga melontarkan protes terhadap pemerintahan apabila ada beberapa praktik yang sekiranya tidak sejalan, merugikan, maupun tidak memihak rakyat.

Pada era demokrasi parlementer di tahun 1945 hingga 1950, budaya politik yang berkembang sudah beragam hingga rakyat dianggap sudah memiliki pemikiran budaya politik partisipan, dimana mereka sudah mengenal hak-hak mereka dan juga mampu melaksankan kewajiban yang justru mengakibatkan adanya deviasi penilaian terhadap peristiwa politik kala itu. Lalu pada demokrasi terpimpin, masih tertanam sifat primordialisme yang memandang daerah asalnya lebih baik dibandingkan dengan daerah lain, meskipun tentu hal ini sudah dibatasi secara formal melalui Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1959 Tanggal 31 Desember 1959 Tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian. Dan di era demokrasi Pancasila kini lebih menonjolkan gaya intelektual pragmatis dalam penyaluran tuntutan.

Lalu di era sekarang, era reformasi, dimana budaya politik yang berkembang kini lebih berorientasi pada kekuasaan yang berkembang di kalangan petinggi politik. Hal ini mengakibatkan demokrasi yang semestinya berjalan lancar justru malah tersendat dan terjadi problematika sehingga tidak dapat berjalan dengan baik. 

Bagaimana sistem politik kotor yang bisa kita lihat sekarang? Kubu-kubu partai politik yang hanya mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok, menghasut rakyat untuk berlutut dan memilih mereka ketika pemilu diselenggarakan. Tak heran bila hal ini terjadi, dimana petinggi hanya melihat rakyat sebagai pion untuk mereka mencapai suatu kekuasaan. Toh, budaya politik yang seperti ini sudah terjadi sejak era demokrasi parlementer. Budaya politik tidak berubah meskipun struktur juga fungsi-fungsi sistem politik Indonesia mengalami perubahan seiring bergantinya era.

Bergantinya pemimpin dan rezim yang telah terjadi kesekian kali tetap saja membuat rakyat tak bisa bebas memilih negara seperti apa yang ingin ditempati. Kepala Badan Bela Negara FKKPPI menuturkan esensi demokrasi adalah adanya keseimbangan. Demokrasi harus menjamin ketersediaan ruang bagi setiap warga negara untuk berekspresi dan menyuarakan hak-hak politiknya tanpa represi dan intimidasi, baik dari aparatur negara maupun dari kekerasan dalam masyarakat. Namun di sisi lain pengekspresian demokrasi juga tidak boleh dilakukan secara melenceng dari nilai demokrasi, seperti anarkis dan menyebarkan hoax.

Namun, demokrasi Indonesia yang cenderung terjun bebas dikarenakan semakin sempitnya ruang publik untuk berekspresi. Terlebih sejak berlakunya UU ITE untuk menjadi pisau tajam bagi siapapun yang berani mengeluarkan pendapat dan pemikiran yang bertentangan dengan para politikus dan pemerintah. Yang terkena biasanya rakyat lemah yang tidak berdaya, baik kekurangan dalam segi perekonomian maupun kelompok sipil itu sendiri. Seperti contohnya mural yang dibuat oleh masyarakat sebagai ekspresi dalam menyuarakan pendapat mendapat reaksi kecaman dari aparatur negara, hingga bisa berlanjut dipidana. Padahal, apabila dilihat, tidak semua mural mengandung sara dan menjatuhkan nama baik petinggi. Hal ini sebenarnya merupakan salah satu cara masyarakat agar suara mereka didengar oleh para politikus, oleh pemerintah, yang selama ini tutup telinga perihal jeritan hati rakyat. Yang membuat kebijakan tanpa memikirkan apa dampak yang dirasakan rakyat. Bagaimana suatu kebijakan dapat sepenuhnya mengubah masyarakat namun ke arah lebih buruk, merusak tatanan negara dan lain sebagainya.

Lembaga independent Freedom House mengkategorikan demokrasi Indonesia sebagai partly free alias setengah bebas dari yang sebelumnya free (bebas). Beberapa tahun belakangan, konstelasi politik demokrasi di Indonesia cenderung menurun. Kebebasan berpendapat dan berekspresi yang menjadi poin utama dalam pemerintahan demokrasi semakin turun dan membuat kualitas demokrasi merosot jauh. Dalam Laporan EIU, Indonesia ditempatkan pada urutan 64 dari 167 negara, sedangkan menurut IDI, skor indeks kebebasan berpendapat yang di tahun 2018 berada pada skor 66,17 menjadi 64,29 pada tahun 2019. Hal ini dilihat dari pengamatan mendasar seperti kebebasan bersuara, perlindungan masyarakat kecil, kasus korupsi yang semakin marak terjadi, kesejahteraan sosial yang menurun drastis, dan  keterlibatan masyarakat secara menyeluruh dalam pembuatan kebijakan dan dengan skor yang tertera, menunjukkan bahwa Indonesia dikategorikan sebagai negara demokrasi cacat (flawed democracy).

Memang, politikus dan pemerintah memiliki wewenang dan kekuasaan dalam membuat suatu kebijakan, namun bagaimana bila akhir akhir ini justru kebijakan yang dibuat justru melenceng dari nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, bahkan sampai merugikan rakyat.

Bagaimana dengan partai partai yang hanya muncul aktif pada saat pesta rakyat pemilu diselenggarakan? Partai, sebuah organisasi yang terlihat “hidup” hanya setiap 5 tahunan, yang kemudian menyuarakan tujuan tujuan politik mereka untuk dipilih oleh masyarakat. Namun masyarakat kini semakin takut untuk mempercayai aktivis politik, masyarakat menjadi skeptis terhadap langkah-langkah yang diambil oleh aktivis politik.

Di awal masa pandemi, rakyat dibuat kecewa oleh pengesahan Undang-Undang Omnimbus Law oleh para legislatif. Kekecewaan rakyat semakin menjadi-jadi karena lolosnya revisi UU KPK yang melemahkan Lembaga tersebut. Banyak sekali momen yang membuat rakyat tersadar bahwa legislatif tidak berpihak kepada rakyat. Mereka lebih terlihat seperti kaki tangan pemerintah yang mendukung apapun keputusan pemerintah sekalipun itu kontroversial. Mereka hanya bersandiwara dalam menyuarakan aspirasi rakyat yang sama sekali tidak mewakilkan jeritan hati rakyat Indonesia. 

Sekalipun kepada aparat negara, rakyat sudah tidak lagi percaya untuk membuat laporan kepada aparat. Karena kini seragam yang mereka pakai, yang menunjukkan bahwa mereka seharusnya melindungi tatanan negara justru tidak lagi seperti itu. Berbagai laporan masyarakat dianggap remeh dan tidak diproses sebagaiman mestinya. Perlu di”suap”baru mereka menjalankan tugasnya. Bagaimana rakyat yang menjadi poin utama berjalannya tatanan negara justru diperlakukan layaknya budak yang mengemis makanan kepada pemerintah dan peinggi negara agar bisa bertahan hidup?

Para aparat tidak menggubris keluhan rakyat, hanya mau menjadi kaki tangan pemerintah dalam menangkap warga negara yang berusaha menyuarakan pendapat dan aspirasi agar didengar oleh pemerintah. Sungguh lucu negeri kita tercinta ini. Yang penting diabaikan, yang berusaha bertahan hidup, justru dikungkung dalam jeruji besi. 

Negara ini sudah mulai sakit akibat ulah petinggi yang tidak amanah. Rakyat semakin tertindas dan tak memiliki hak bersuara, sedemikian dirampas hingga hanya mampu memohon untuk dikasihani. Negara demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Segera sembuh dan menjadi negara yang berkeadaulatan adil bagi seluruh rakyatnya secara merata. Kepada pemerintah, kami tunggu kerja nyata sesuai janji-janji yang telah dibuat. Kami rakyat, akan terus menjunjung hak kami seagai warga negara untuk hidup dengan layak. (*)

*Anastasya Putri Safinatun Naja, mahasiswa juruan Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Tirtayasa.

anastasya putri safinatun naja

Baca Juga