Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Aji Putra Perdana
Kegiatan Survei Toponimi di Natuna. (Doc/Aji Putra Perdana)

Toponimi adalah bidang keilmuan yang mempelajari tentang penamaan fitur geografis atau rupabumi. Toponimi juga sering pula digunakan untuk menyebutkan totalitas dari toponim (nama geografis atau nama rupabumi) yang ada dalam suatu wilayah. Perjalanan  toponimi di Indonesia cukuplah panjang dan masih terus perlu didengungkan urgensi pembakuan serta pelestariannya.

Toponimi sendiri erat hubungannya dengan kartografi (ilmu tentang perpetaan atau pembuatan peta), termasuk kegiatan survei pemetaan. Selain itu, toponimi juga memiliki elemen dasar lainnya yaitu aspek kebahasaan. Oleh sebab itu, toponimi dipelajari secara komprehensif pula oleh rekan-rekan linguistik. Apabila ditelisik dari perjalanan sejarah, hingga arti dan makna sebuah nama maka terdapat sejumlah bidang keilmuan lain, seperti sejarah, filologi, arkeologi, sosiologi, geografi manusia, dan sebagainya.

Nah, kali ini saya membagikan 4 (empat) manfaat toponimi yang saya sampaikan pada kegiatan sosialisasi Penyelenggaraan Nama Rupabumi di Kota Surakarta. Manfaat toponimi yang dituliskan merupakan hasil praktik baik dan petik ajar dari berbagai pengalaman serta perjalanan toponimi di Indonesia, termasuk pengakuan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa atas keberadaan basis data toponimi di Indonesia.

Semoga setelah membaca 4 (empat) manfaat toponimi dapat memantik kita semua untuk mencermati manfaat yang belum dituliskan, terutama manfaat toponimi dalam kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Mari kita lihat 4 (empat) manfaat keberadaan toponimi di Indonesia yang ternyata memberikan dampak positif ke berbagai sudut kehidupan.

1. Toponim baku dan terkelola dalam basis data dibutuhkan untuk kebencanaan

Awal mula mempelajari toponimi, saya penasaran apakah benar toponimi yang tersaji pada peta dan dikelola dalam basis data spasial bermanfaat?

Pertanyaan tersebut dijawab langsung oleh United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA) dalam pertemuan United Nations Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN) pada tahun 2012. Pembicara dari UNOCHA yang menyampaikan dua salindia pembukanya tentang urgensi keberadaan data toponim baku.

Salindia pertama adalah kelangkaan toponim baku yang ditemui UNOCHA saat kejadian gempa bumi di Pakistan pada tahun 2005. Akibat tidak adanya atau kurang terkelolanya basis data toponimi, data statistik, peta, lokasi koordinat desa mengakibatkan keterlambatan dalam penyediaan dan pengiriman bantuan ke desa-desa yang berada di pelosok atau area yang susah dijangkau.

Salindia kedua adalah manfaat dari toponim baku yang diperoleh UNOCHA saat kejadian gempa bumi di D.I. Yogyakarta-Jawa Tengah, Indonesia pada tahun 2006. Mereka menyampaikan bahwa ketersediaan peta dasar, toponim baku yang terkelola dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) dan kemudahan akses terhadap datanya membantu percepatan distribusi bantuan.

Belajar dari dua kejadian tersebut, UNOCHA menyampaikan perlunya kerja sama di tingkat regional dan global dalam penyusunan basis data toponimi yang terintegrasi. Kebutuhan data toponim, makin terasa pula saat kejadian vencana non-alam (seperti pandemi COVID-19) yang juga memerlukan informasi toponim baku sebagai referensi spasial.

2. Toponim merupakan identitas dan warisan budaya yang perlu dilestarikan

Saya belajar dari pegiat toponimi di D.I. Yogyakarta, salah satunya dari salindia yang disampaikan oleh perwakilan dari D.I. Yogyakarta saat kegiatan dialog toponimi beberapa waktu lalu. Beliau menayangkan laporan penelitian yang berjudul "Toponim Warisan Budaya: Kompleks Kepatihan Yogyakarta".

Isi dari penelitian tersebut adalah nama-nama obyek yang di kompleks tersebut yang telah dibakukan. Kemudian, penelitian tersebut juga berupaya memberikan cerita yang baku tentang berbagai bangunan, ornamen, dan benda di kawasan tersebut. Di sisi lain, upaya penelitian toponimi dilakukan untuk mendukung pengusulan Sumbu Filosofis Yogyakarta sebagai warisan budaya dunia, yang telah masuk ke daftar tentatif United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sejak tahun 2017.

3. Toponim sebagai penanda spasial dan integrator untuk Satu Peta Satu Data bagi Pembangunan Berkelanjutan

Salah satu presentasi yang menarik lainnya dari acara dialog toponimi adalah presentasi perwakilan Kota Manado. Kota Manado memiliki suatu sistem informasi yang menjadi portal lengkap dan integrasi berbagai data statistik, peta, dan informasi terkait lainnya. Kegiatan integrasi data spasial tersebut mulai dilakukannya dari tahun 2018. Mereka berupaya mewujudkan informasi geospasial yang lengkap, akurat, baku, terkini, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pemanfaatan integrasi berbasis geospasial tersebut bagian dari perwujudan Satu Peta Satu Data yang disinergikan dengan pembangunan, perencanaan wilayah kota, pemantauan, dan evaluasi kegiatan pemerintahan. Tentunya termasuk, pengambilan keputusan dan pelayanan masyarakat berbasis peta dalam satu sistem informasi tunggal.

Lebih lanjut, upaya di atas juga bagian dari mewujdukan tertib administrasi pemerintahan melalui penyediaan toponim dan membangun kesamaan pemahaman serta pemanfaatan toponim di Kota Manado.

4. Toponim sebagai bagian dari kedaulatan bangsa dan ketahanan nasional

Masih ingatkah kita keramaian berita pada tahun 2017 tentang Atlas Peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang membubuhkan nama Laut Natuna Utara? Peletakan toponim Laut Natuna Utara pada Peta NKRI Edisi Tahun 2017 yang disepakati oleh berbagai Kementerian/Lembaga terkait ternyata mendapat tanggapan dari Pemerintah Tiongkok di kala itu.

Seorang pakar geomaritim, I Made Andi Arsana menyebut bahwa langkah Indonesia membubuhkan teks toponim Laut Natuna Utara pada Peta NKRI Edisi Tahun 2017 sebagai langkah diplomasi kartografi Indonesia di wilayah perairan Natuna yang erat kaitannya dengan "ramainya" Laut Cina Selatan.

Beberapa waktu lalu, saat berkesempatan diundang dalam obrolan Live Instagram beliau, saya menyampaikan bahwa saya termasuk salah satu orang yang sepakat dan bangga dengan adanya istilah tersebut. Bahkan, saya melihatnya secara lebih khusus bahwa Laut Natuna Utara sebagai bagian dari diplomasi toponimi. Hal ini karena, peletakannya nama Laut Natuna Utara, membawa semangat dan pesan kuat posisi berdaulat bangsa dan mempunyai alasan dari penamaannya yang perlu diperkuat dengan regulasi.

Saya menilai bahwa toponimi tak lagi sekadar nama pada sebuah peta, toponimi dapat pula menjadi alat diplomasi dan bagian dari upaya menjaga kedaulatan bangsa, serta ketahanan nasional. 

***

Oleh karena itu, kesadaran geografis bangsa perlu ditingkatkan dari mulai tokoh dan para pemimpin bangsa ini, hingga kita semua sebagai warga negara Indonesia. Saatnya memetakan berbagai manfaat toponimi, sehingga membantu kenali pesan dari para leluhur pendahulu kita yang kerap disimpan dalam nama dan cerita.

Saatnya bergerak bersama untuk menata dan merawat penamaan fitur geografis sesuai dengan prinsip dan regulasi penamaannya. Semoga 4 (empat) manfaat toponimi di atas dapat memantik kita untuk menggali apalagi manfaat yang telah kita rasakan dari keberadaan toponimi.

*Aji Putra Perdana Ph.D. Candidate Geo-Information Processing di Faculty of Geo-information Science and Earth Observation, University of Twente

Aji Putra Perdana