Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | wahyu prihartanto
Ilustrasi TikTok. [Freepik]

Saya bisa memahami kenapa TikTok menjadi salah satu dari lima platform jejaring sosial teratas di dunia saat ini. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa TikTok telah menjadi salah satu platform pertukaran pikiran atau opini bagi masyarakat kawasan tersebut. Berdasarkan data The Conversation edisi 15 November 2021, Di Asia Tenggara  epanjang 2020, terdapat 198 juta orang (29% populasi kawasan) menggunakan platform ini.

Informasi “berat” yang disampaikan media selama ini tidak dapat diseminasi baik khususnya kalangan milenial. Namun, sejak adanya TikTok, pesan yang disampaikan lebih ringan dan disukai berbagai kalangan. Sebagai infotainment, pengguna TikTok tidak perlu memeras otak untuk menikmatinya.

Salah satu daya tarik TikTok penggunaan audio visual dengan lagu-lagu dinamis yang sedang trending saat ini. Bahkan berbagai aplikasi TikTok menawarkan video menghibur khususnya di masa pandemi. Penggunaan bahasa gaul dengan jargon tertentu kian meningkatkan daya pikat netizen. 

Lantas, bagaimana menyikapi penggemar TikTok yang jumlahnya meningkat drastis? Apakah dengan euforia? Tentu tidak. Tanpa kita sadari, masyarakat masih rapuh untuk menyaring informasi, dan hal ini menyebabkan kita mudah terhasut.

Sejak saat itu saya menarik kesimpulan, saya tidak bisa menafikan keberadaan TikTok sangat berpengaruh meskipun platform lain juga memiliki efek sama kalau kita tidak pandai membentengi. Fenomena TikTok dianggap oleh sebagian orangtua dapat mempengaruhi gaya hidup remaja yang cenderung norak atau kampungan. Lah, terus kita mesti bagaimana menyikapi hal ini?

Kita patut mengapresiasi kemampuan platform TikTok memposisikan diri di tengah-tengah masyarakat yang sedang dirudung kesedihan yang menimpa negara kita akhir-akhir ini, di luar pandemi. Setidaknya menjadi ruang hiburan masyarakat untuk sesaat bisa keluar dari keprihatinan yang sedang melanda. Sadar sebagai wacana hiburan, maka kita tidak perlu menanggapinya dengan serius. Kita tidak perlu terpancing dengan hasutan-hasutan yang berpotensi terjadi.

Sukses TikTok dalam mengelola konten perlu diimbangi kemampuan “membantah” komunitas dengan melakukan verifikasi terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan, agar tidak menyesatkan. Peran bahasa komunikasi komunitas sehari-hari perlu dipertimbangkan untuk mengawal potensi penyesatan pesan yang disampaikan TikTok melalui bahasa gaul nya. Hal ini perlu dilakukan mengingat pengaruh hasutan kekerasan di platform dapat mengakibatkan cedera fisik dan mental serius.

Tanggung jawab generasi milenial sebagai pengguna terbesar platform TikTok perlu ditingkatkan saringan psikologisnya. IT minded telah diperkenalkan sejak lahir, bahkan saat ini menyebar hingga ke pelosok desa-desa. Distribusi teknologi masuk desa harus dibarengi budaya pemanfaatannya.

Pesatnya jaringan internet mempermudah aktivitas seseorang, berperan besar dalam keberlangsungan hidup generasi ini. Sehingga, mereka lebih menggunakan informasi platform secara bijak. Perkembangan generasi baru seharusnya menjadi perhatian bersama, perimbangan penggunaan jejaring konvensional dengan online.

Sudah saatnya pesan yang disampaikan dikemas sesuai karakteristik penerima pesan. Jejaring sosial dapat mendorong efisiensi karena jangkauan audiens secara luas dengan biaya murah. Selain itu, efektifitas informasi untuk masyarakat dapat dilakukan secara cepat dan tepat sasaran.

Pemerintah dapat menggunakan fenomena pertumbuhan angka pengguna TikTok sebagai strategi dalam memberikan informasi kepada publik. Akhir-akhir ini, penggunaan TikTok sebagai informasi program pemerintah kepada masyarakat, dan terbukti sangat efektif maslahatnya. Efektifitasnya terlihat ketika informasi tersebut mampu meningkatkan engagement dan mendapat respons positif milenial. 

Setiap konten TikTok harus mempertimbangkan kehormatan yang obyek konten. Sebagai komunitas dapat melihat secara objektif, jujur, dan bertanggung jawab. Selain itu, patut juga berhati-hati dengan informasi yang bersifat rahasia, jika bisa dihindari jauh lebih baik. Keterbukaan informasi memudahkan masyarakat dapat mengakses seluas-luasnya.

Kreatifitas yang mengedepankan kehati-hatian. TikTok, dan jejaring sosial lainnya, mempunyai dua sisi mata uang saling bertentangan. Ia bisa membantu tapi sekaligus mencelakakan. Lagi-lagi, orangtua dan anak bersatu padu untuk saling mengendalikan satu dengan lainnya. 

Selain memanfaatkan sumber daya internal, mengikutsertakan kreator konten profesional tentu tak ada salahnya, terutama untuk menyampaikan pesan yang berkelanjutan. Inovasi cerdas perlu diperlukan agar citra kaku dapat dicairkan dengan penggunaan media sosial. Sebagai pengingat, generasi sebelumnya pernah terngiang-ngiang dengan iklan "Inga... Inga..." terkait pelaksanaan pemilu.

Sekarang, seharusnya bisa diproduksi lebih banyak "Inga... Inga..." lainnya untuk menjangkau masyarakat. Selamat menghadapi kenyataan baru, saatnya moving from traditional to digital

*Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo.

wahyu prihartanto