Agama dalam kehidupan manusia merupakan kebutuhan yang bersifat primer, kebutuhan ini adalah sifat dasar manusia yang selalu memerlukan pedoman untuk menjalani kehidupan, agama mampu menjadi pedoman yang menjadikan kehidupan manusia menjadi lebih teratur dan berjalan dengan berbagai ukuran yang tepat.
Agama sebagai konsep mampu memberikan harapan akan terciptanya pola kehidupan yang menunjang hadirnya kebaikan antar sesama. Setiap anjuran dan ketetapan menjalani kehidupan yang baik oleh individu pemeluk agama, jika diteruskan lebih lanjut akan menciptakan kehidupan kelompok yang baik pula.
Lebih jelas seperti yang disebutkan oleh koentjaningrat bahwa hakekat agama adalah kemampuan dalam diri manusia untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Hal ini menggambarkan setiap manusia yang beragama mampu memilih bahwa apa yang hendak dilakukannya apakah sudah sesuai dengan perintah agama (perintah Tuhan), dari pernyataan ini juga nampak jelas bahwa agama merupakan koridor yang mampu mengatur manusia dalam menjalani kehidupannya.
Lebih lanjut, agama sebagai nilai merupakan kumpulan norma-norma yang diyakini oleh setiap pemeluknya. Setiap yang beragama berarti menyakini betul apa yang menjadi konsekuensinya (ibadah) menganut agama tertentu. Mereka yang beragama dengan semacam ini, adalah mereka yang dalam menjalankan setiap ajaran agama dengan keyakinan mendalam akan agama tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari, mereka yang beragama akan menampilkan perbedaan dengan mereka yang tidak beragama. Mereka yang percaya akan agama akan cenderung memiliki pandangan hidup yang lebih jelas dan terikat dengan berbagai kegiatan spiritual sesuai apa menjadi keyakinannya, sedangkan mereka yang tidak beragama hanya menjalani hidupnya dengan semata-mata tanpa terikat satu ajaran/agama apapun.
Mereka yang beragama selalu menjalani kehidupan dengan penuh keyakinan yang dimilikinya, setiap langkah yang dilakukan mesti diukur dengan ketentuan agama, apakah sudah sesuai dengan kehendak ajaran agama, atau justru merupakan hal yang bertentangan dengan ajarannya. Setiap hasil ukur yang tersaji dalam benak umat beragama dilakukan karena setiap apa yang dilakukan akan berimplikasi terhadap dirinya masing-masing, konsepi mengenai dosa, pahala, karma baik atau buruk menjadi hal yang barangkali bisa mewakilinya.
Sisi Lain Beragama
Namun demikian, disisi lainnya, agama sebagai konsep keyakinan atau nilai yang dipegang kadangkala justru menjadikan manusia yang menganutnya menjadi sangat eksklusif, perbedaan dalam menganut kepercayaan agama juga malah menciptakan tembok antar kelompok satu dengan lainnya. Tak jarang tembok pembeda ini memicu hadirnya diskriminasi antar kelompok, juga kesenjangan minoritas dan mayoritas pemeluk agama di suatu daerah.
Bahkan, ditingkat yang lebih lagi, kadangkala agama sebagai intrumen keyakinan justru menjadikan kehidupan kelompok manusia satu dengan lainnya semakin memburuk. Klaim kebenaran (claim truth) dan arogansi penghakiman yang berujung saling tuduh kesesatan menjadi hal yang biasanya mendasari munculnya konflik antar umat beragama. Agama yang muncul guna mengatur kehidupan manusia menjadi lebih baik justru dihadapi kenyataan yang kontradiktif.
Klaim kebenaran dan arogansi penghakiman yang dilakukan secara eksklusif dan membabi buta oleh kelompok beragama memunculkan perasaan paling benar sendiri dibanding kelompok agama lainnya. Persoalannya adalah, melalui klaim semacam inilah justru praktik beragama yang dilakukan kelompok tertentu malah menyajikan praktik-praktik yang disertai dengan kekerasan. Ajaran agama yang dianggap paling benar seolah memberikan legitimasi atas perbuatan kekerasan ke kelompok agama lain.
Ajaran agama yang murni yang turun dari Tuhan yang mampu menganyomi kehidupan manusia di dunia, justru jauh dari gengaman manusia. Melalui alasan karena agama tertentu adalah ajaran yang paling benar seolah menjadi pemakluman akan kegiatan mengintimidasi, merusak tempat ibadah kelompok yang berlainan agama juga seolah hal lumrah yang dilakukan. Pada akhirnya praktik beragama semacam ini selain memicu perpecahan, memberikan efek kebencian komunal dan dendam sejarah antar umat beragama.
Tak hanya sampai disitu, agama yang hadir guna menata kehidupan manusia justru dijadikan alasan untuk merenggut kemerdekaan hidup umat beragama lainnya yang dianggap tak sejalan. Ajaran agama yang lain yang dianggap salah dan memicu kemurkaan Tuhan yang diyakininya memberikan ruang pembenaran perlu adanya purifikasi umat beragama. Sejarah bahkan mencatat berbagai bencana kemanusiaan bermula dari sensitivitas klaim kebenaran ini.
Agama itu Menjawab Persoalan
Agama sebagai keyakinan dan nilai yang dianut umat adalah motivasi untuk melakukan suatu kegiatan atau perbuatan. Secara umum, perbuatan yang dilakukan atas dasar agama dianggap sesuatu yang bernilai kesucian, karena setiap perbuatan agama adalah bentuk interpretasi agama tersebut sebagai ajaran Tuhan.
Maka dengan demikian, perbuatan agama hendaknya dilakukan dengan berbagai kesantunan dan keindahan. Berbagai praktik umat beragama harusnya mampu menjadi wajah yang selalu mengedepankan kedamaian dan anti kekerasan, sebaliknya melalukan praktik amoral dengan kekerasan atas dasar agama bukanlah ajaran agama.
Agama sebagai ajaran juga merupakan hal yang memberikan pedoman hidup yang komprehensif. Kehadirannya sebagai ajaran Tuhan adalah seperangkat alat yang bisa manusia gunakan dalam menjawab kebutuhan atas kehidupan. Dalam hal interaksi misalnya, agama mengatur bagaimana cara berhubungan dengan sang maha pencipta, bagaimana hubungan antar sesama manusia, sampai hubungan manusia dengan alam sekalipun yang terkadang luput diperbincangkan, agama sekalipun mengaturnya. Dengan kata lain, praktik beragama yang justru mengedepankan berbagai kerja yang merusak hubungan sesama manusia dan eksploitasi pemanfaatan sumber daya, justru itu adalah hal yang jauh dari ajaran agama.
Agama juga adalah jalan pengharapan. Dalam beragama, setiap umat pasti senantiasa memiliki pengharapannya tersendiri, tak jarang juga harapan ini yang memberikan semangat suatu umat dalam melaksanakan praktik beragama. Harapan ini adalah mampu menikmati kehidupan yang berjalan dengan penuh kebahagiaan, apalagi jika umat beragama yang menyakini adanya kehidupan lain selain kehidupan di dunia, praktik beragama akan memiliki orientasi yang tidak hanya duniawi semata, melainkan setelah kehidupan dunia inilah kehidupan yang sebenarnya, berbagai praktik beragama yang tidak mengedepankan nilai dan pokok kemanusiaan adalah hal yang akan berpengaruh pada kehidupan selanjutnya.
Beragama itu bukan hal yang memaksa. Dalam konteks semacam ini, agama dengan ajarannya yang diyakini adalah jalan panjang setiap umatnya, dimana menganut suatu agama dan menyakininya adalah menerima berbagai ketentuan ajaran agama yang seringkali dogmatis, namun demikian, melalui agama ini juga setiap ajaran dan dogma yang ada mampu dipahami dengan kebebasan berfikir setiap umat.
Kebebasan ini yang biasanya makin mematangkan kepercayaannya terhadap agama yang dianutnya, rasionalisasi yang dilakukan umat beragama dengan latar belakangnya sebagai makhluk yang mampu berfikir akan menentukan jalan keagamaannya. Agama memberikan kebebasan yang dimiliki manusia seutuhnya dalam rangka menjalani kehidupannya, kebebasan semacam ini juga memberikan arti bahwa beragama bagi setiap pribadi atau kelompok itu bukanlah hal yang harus dipaksakan melainkan dimulai dari kesadaran yang dialaminya sendiri.
Menciptakan lingkungan kehidupan di dunia, khususnya dalam praktik beragama dengan selalu menebar wacana kebaikan, toleransi, dan menjungjung tinggi perdamaian adalah tujuan hadirnya agama. Sebaliknya praktik yang anti akan kebaikan, intoleransi, dan memicu konflik adalah salah kaprah dalam memahami agama.
Berbagai laku yang berorientasi pada absahnya kekerasan, penindasan, kedzaliman, jahiliyah atau perbuatan tercela lainnya atas nama kepentingan agama tertentu yang menghilangkan pentingnya wujud prikemanusiaan itu sekali lagi bukanlah nilai atau ajaran agama, itu semata-mata adalah indikasi penyalahgunaan terhadap ajaran agama.
Semoga, kita semua senantiasa mampu menajalani ajaran dan nilai agama kita masing-masing, dengan dibaluti berbagai penghormatan terhadap agama lainnya. Semoga melalui agama kita masing-masing kita mampu bersanding dan berbahagia bersama tanpa haus akan cap paling mulia.
Semoga, Wallahua'lam, Ihdinas Shirotol Mustaqim, Wasala.
Muhamad Ikhwan Abdul Asyir, Alumni UIN KH Saifuddin Zuhri Purwokerto, Manajer Program Al Wasath Institute.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Santri di Bantaeng Diduga Disiksa Dan Dilecehkan Sebelum Ditemukan Tewas Tergantung
-
Profil dan Agama Medina Dina, Akan Pindah Agama Demi Nikahi Gading Marteen?
-
Ulasan Novel Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya Karya Rusdi Matahari
-
Menag Nasaruddin Umar Bertolak ke Arab Saudi Bahas Operasional Haji 1446 H
-
Gelar Demo di Depan DPD PKS, Ikatan Santri Jakarta Minta Suswono Ditangkap Buntut Dugaan Penistaan Agama
Kolom
-
Janji Menguap Kampanye dan Masyarakat yang Tetap Mudah Percaya
-
Kenali Pengaruh Marketing Automation Terhadap Peningkatan Efisiensi Bisnis
-
Kolaborasi Tim Peserta Pilkada Polewali Mandar 2024 Melalui Gerakan Pre-Emtif dalam Pencegahan Politik Uang
-
Generasi Alpha dan Revolusi Parenting: Antara Teknologi dan Nilai Tradisional
-
Seni Menyampaikan Kehangatan yang Sering Diabaikan Lewat Budaya Titip Salam
Terkini
-
Kehidupan Seru hingga Penuh Haru Para Driver Ojek Online dalam Webtoon Cao!
-
4 Rekomendasi OOTD Rora BABYMONSTER yang Wajib Kamu Sontek untuk Gaya Kekinian
-
Dituntut Selalu Sempurna, Rose BLACKPINK Ungkap Sulitnya Jadi Idol K-Pop
-
Ulasan Film The French Dispact: Menyelami Dunia Jurnalisme dengan Gaya Unik
-
Ulasan Buku Bertajuk Selamat Datang Bulan, Kumpulan Puisi Ringan dengan Makna Mendalam