Sebagai bangsa yang dianugerahi dengan berbegai keragaman etnis, suku dan budaya, masyarakat Indonesia membutuhkan berbagai hal untuk membuat mereka tetap bersatu. Sedikit saja friksi atau benturan yang terjadi, maka akan berpotensi untuk menyulut konflik yang berbau SARA. Konflik Ambon tahun 2001 menjadi salah satu konflik yang paling menggores dalam perjalanan sejarah kebinekaan bangsa Indonesia. Konflik berlatar belakang agama tersebut membuat sendi-sendi kehidupan masyarakat di kepulauan Maluku menjadi tak lancar, bahkan tersendat di beberapa wilayah.
Hal inilah yang menjadi latar belakang film berjudul Cahaya Dari Timur: Beta Maluku. Film yang dibintangi oleh Chicco Jericho ini mengangkat tentang perjalanan anak-anak Maluku untuk terus menggapai mimpi mereka, meski konflik sectarian melanda daerahnya. Film ini merupakan kisah nyata dari Sani Tawainela, yang merupakan anggota timnas Indonesia U-16 yang berlaga di Piala Pelajar Asia tahun 2016, tetapi gagal menjadi pesepakbola profesional.
Ketika konflik Ambon berlangsung, Sani Tawainela (diperankan oleh Chico Jericho) melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana anak-anak Ambon ikut terlibat dalam konflik agama tersebut. Demi menyelamatkan masa depan anak-anak, Sani, dengan dibantu oleh Hari, sahabatnya, mengajak anak-anak untuk berlatih sepak bola dan menjanjikan mimpi-mimpi indah untuk mereka di kemudian hari.
Bukan perkara yang mudah, karena dalam tim yang dibentuk oleh Sani, perbedaan agama menjadi salah satu hal yang paling sering membuat perpecahan tim. Iya, anak-anak yang beragama Islam, tak mau disatukan dalam sebuah tim yang memiliki anggota Kristen. Pun demikian dengan anak-anak yang beragama Kristen.
Namun, dengan perjuangan yang tak kenal lelah dan gaya kepemimpinannya yang humanis, Sani mampu masuk ke dalam dunia mereka, dan mengajarkan betapa pentingnya sebuah toleransi. Lambat laun, anak-anak yang tergabung dalam tim sepak bola besutannya pun mengerti. Selama bertahun-tahun, Sani bahkan menghabiskan waktu untuk melatih anak-anak tersebut meski kondisi dan situasi tengah kaca balau.
Tahun 2006, ketika konflik sudah mereda dan kondisi sudah mulai kondusif, sekolah sepak bola yang dirintis oleh Sani dan Hari berjalan dengan baik. Namun sayangnya, Hari yang mengklaim bahwa sekolah sepak bola tersebut merupakan milik keluarganya, memantik rasa kecewa Sani sehingga dia memutuskan untuk pecah kongsi dan membentuk tim baru.
Kira-kira apa yang akan terjadi dengan tim yang baru dibentuk oleh Sani? Dapatkah Sani memenuhi janjinya untuk membawa anak-anak korban kerusuhan Ambon menjadi juara? Tentu semua jawabannya akan teman-teman temukan di film berdurasi 150 menit yang rilis pada tahun 2014 lalu ini.
Baca Juga
-
Indonesia vs China: Ajang Unjuk Kebolehan para Pemain Produk Kompetisi Domestik
-
3 Kejutan Besar Patrick Kluivert Melawan Timnas China di Kualifikasi Piala Dunia 2026
-
Bukannya Membantu sang Tetangga, Arab Saudi Justru Lebih Pilih Bantu Timnas Indonesia
-
Hantam sang Tamu Satu Gol, Indonesia Makin Lekatkan Label Tim Paling Buruk kepada China!
-
Kualifikasi Piala Dunia 2026: Permainan Menyerang Timnas China Hanyalah Sekadar Wacana Belaka
Artikel Terkait
Ulasan
-
Novel Peniru dan Pembunuhan Tanpa Jasad: Uji Moral dan Permainan Psikologis
-
Petualangan Dua Sahabat di Laut Papua Nugini dalam Buku The Shark Caller
-
Ulasan Novel di Balik Jendela: Rahasia Trauma yang Tersembunyi dalam Isolasi
-
Curug Pangeran, Di Balik Keindahan Alam Ada Sebuah Mitos yang Beredar
-
Review Film Io Capitano: Tiap Langkah yang Terluka Saat Mengadu Nasib
Terkini
-
Jennie BLACKPINK Tembus Daftar Album Terbaik Rolling Stone 2025
-
Daster Bukan Simbol Kemalasan: Membaca Ulang Makna Pakaian Perempuan
-
6 Drama China yang Dibintangi Pan Meiye, Beragam Peran
-
4 Ide OOTD Stylish ala Shin Soo Hyun untuk Gaya Nyaman Saat City Trip!
-
Tom Felton Perankan Draco Malfoy Lagi Lewat Harry Potter versi Broadway