Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Billie Adrian
[Suara.com/Ema Rohimah]

Korupsi dilakukan oleh mereka yang sanggup berbohong terhadap hati nuraninya, korupsi marak karena gersangnya iman dan taqwa yang berbasis pada pancasila" -Bismar Siregar

Praktik korupsi merupakan suatu tindakan yang sudah umum terjadi di berbagai negara di dunia, tidak terkecuali negara berkembang dan negara maju. Salah satu contoh dari negara berkembang dengan tingkat korupsi yang tinggi adalah negara India. Berdasarkan laporan pengawas korupsi Global Corruption Barometer (GCB) di Asia pada tahun 2021, terdapat 50 persen kasus penyuapan dan 32 persen kasus nepotisme yang disebut dengan istilah “korupsi kecil”.

Sementara itu, kasus korupsi di negara maju seperti China meningkat secara signifikan dengan peningkatan 90 persen pada tahun 2019 dari tahun sebelumnya yang dilansir dari pernyataan Mahkamah Agung China. Melihat data-data tersebut, korupsi merupakan kejahatan serius yang perlu ditangani secepat mungkin. Sebelum mencari jawaban atas mengapa seseorang melakukan korupsi, apa sebenarnya arti dari kata korupsi?

Kata korupsi berasal dari bahasa latin yaitu “corruptus” yang memiliki arti sebagai sebuah kerusakan atau adanya kemunduran akan sesuatu yang terjadi. Kata “corruptus” kemudian diserap di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjadi kata korupsi. Berdasarkan KBBI, korupsi merupakan suatu tindakan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

Melalui pengertian tersebut, arti dari korupsi dapat dibagi menjadi dua macam yaitu perbuatan yang buruk dan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (Saputra, 2017). Tindakan perbuatan yang buruk dapat berupa penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya. Di samping itu, tindakan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara berada dalam lingkup suatu perusahaan yang dikelola oleh negara untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.

Praktik korupsi yang tidak bisa dimatikan akan sangat membahayakan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik bagi suatu negara. Paulo Mauro, seorang ekonom asal Amerika Serikat yang pernah menjabat sebagai deputi direktur IMF (International Monetary Fund) menjelaskan beberapa dampak negatif praktik korupsi bagi negara di dalam bukunya dengan judul Why Worry About Corruption?

Di dalam buku tersebut, beberapa dampak negatif dari praktik korupsi di antaranya adalah mengurangi pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesenjangan sosial, menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi, mengurangi efektifitas kebijakan publik, mengurangi penerimaan pemerintah dari pajak karena pegawai pajak yang menerima suap, dan terabaikannya penyediaan barang publik. Keenam dampak negatif di atas merupakan dampak yang paling umum dalam praktik korupsi (Mauro et al., 1997). 

Setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia pasti memiliki latar belakang dan tujuan tertentu tidak terkecuali korupsi. Terdapat beberapa faktor yang membuat seseorang dapat melakukan praktik korupsi. Beberapa artikel ilmiah yang membahas mengenai bagaimana korupsi bisa terjadi membagi faktor pendorongnya menjadi tiga aspek. Mulai dari aspek individu pelaku, aspek organisasi, dan aspek tempat individu serta organisasi berada (Medan, 2015).

Aspek individu pelaku meliputi motivasi pribadi pelaku korupsi seperti penghasilan yang kurang mencukupi, gaya hidup yang konsumtif, serta ajaran agama yang kurang diterapkan. Aspek organisasi membahas mengenai lingkungan organisasi dari pelaku korupsi seperti tidak adanya kultur organisasi yang benar, sistem akuntabilitas yang buruk, sampai tidak adanya sikap kepemimpinan dalam organisasi. Terakhir, aspek tempat individu serta organisasi berada menjelaskan tentang norma masyarakat dan hukum yang berlaku di suatu negara terhadap korupsi. 

Beberapa aspek tersebut yang membuat praktik korupsi sering terjadi di Indonesia. Jika dilihat dalam sejarah Indonesia, praktik korupsi telah dilakukan sebelum negara Indonesia merdeka. Pada masa penjajahan Belanda, korupsi marak dilakukan oleh para pengusaha Belanda sehingga menyebabkan kongsi dagang Belanda bangkrut pada tahun 1602. Ternyata, secara ironis praktik korupsi telah diwariskan oleh penjajah kepada masyarakat Indonesia (Soemanto, 2014). Praktik korupsi mencapai puncaknya ketika masa orde baru di Indonesia, para pejabat publik secara sistematis mendapatkan pembiaran dari penegak hukum untuk melakukan praktik korupsi. 

Kerusakan yang dihasilkan oleh praktik korupsi di masa orde baru masih belum bisa diperbaiki sepenuhnya. Berdasarkan data Transparency Internasional mengenai indeks persepsi korupsi dan peringkat Indonesia dalam hal negara terbersih atau terkorup di dunia selang tahun 1998-2010, peringkat Indonesia sebagai negara terbersih dan terkorup menurun seiring bertambahnya tahun. Data ini dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 1. 

Nilai dari indeks persepsi korupsi di Indonesia hanya berkisar pada rentang nilai 1,7 – 2,8 dimana jika dilihat pada keterangan nilai tersebut berarti Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat korupsi yang tinggi di dunia. Dengan data yang diberikan oleh Transparency Internasional pada tahun 2021, sampai saat ini peringkat Indonesia masih tergolong rendah untuk negara yang dapat dinilai tidak korup dimana Indonesia menempati peringkat ke 96 dari 180 negara pada tahun 2021. Data tersebut menjadi bukti bahwa sampai saat ini Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan tingkat korupsi yang tinggi di dunia. 

Namun, bagaimana praktik korupsi masih sering terjadi di Indonesia? Tidak adanya pandangan hidup dapat membuat seseorang melakukan praktik korupsi. Di Indonesia, terdapat dasar negara yang sekaligus merupakan pandangan hidup bangsa yaitu Pancasila. Pancasila sebagai cerminan kepribadian manusia Indonesia sejatinya adalah nilai ideal yang digariskan secara baik oleh pendiri bangsa (Wulandari & Dewi, 2021). 

Masyarakat yang tergolong sebagai masyarakat Indonesia wajib memegang teguh nilai-nilai Pancasila dalam melaksanakan hidupnya di Indonesia. Seorang yang berjiwa Pancasila juga menyadari Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat 3 UUD 1945), maka penting sekali menjunjung tinggi hukum dengan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum (Argiya, 2013).

Korupsi sendiri merupakan tindakan yang melanggar hukum dimana tindak pidana korupsi tertuang dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Selain sebagai bentuk penyimpangan sosial, korupsi jelas bertentangan dengan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Kurangnya pengamalan Pancasila di dalam kehidupan nyata dapat membuat seseorang melakukan praktik korupsi. 

Dari permasalahan itu, dibutuhkan penguatan mengenai peran Pancasila sebagai philosophisce grondslag. Ungkapan dari philosophisce grondslag dikemukakan oleh presiden pertama RI yaitu Soekarno. Pancasila sebagai dasar filsafat negara (philosophische grondslag) memiliki makna bahwa nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam sila-sila Pancasila mendasari seluruh peraturan hukum yang berlaku di Indonesia (Jiwandono & Nurbeni, 2019).

Hal ini berarti nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan harus mendasari seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku (Syarbaini, 2015). Selain sebagai dasar filsafat negara, peran Pancasila sebagai philosophisce grondslag juga memiliki artian sebagai pandangan hidup bangsa. Pancasila pun menjadi filosofi dasar dari segala sesuatu yang mengatur kehidupan masyarakat Indonesia.

Peran yang melekat terhadap Pancasila membuat Pancasila memiliki dua buah kepentingan (Monitasari et al., 2021). Pertama, Pancasila diharapkan senantiasa menjadi pedoman dan petunjuk dalam menjalani keseharian hidup manusia Indonesia baik dalam berkeluarga, bermasyarakat, maupun berbangsa. Kedua, Pancasila dijadikan sebagai dasar negara sehingga suatu kewajiban dalam segala tatanan kenegaraan baik dalam hukum, politik, ekonomi, maupun sosial masyarakat harus dijalankan dan diatur sesuai dengan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Kedua peranan tersebut membuat Pancasila dinilai sebagai pandangan hidup bangsa karena mengikat secara norma dan hukum. 

Ketika berbicara etika Pancasila dalam melawan tindak pidana korupsi, korupsi tidak dibenarkan dalam hal apa pun. Perbuatan korupsi merupakan perbuatan yang dapat mengotori filosofi yang dikemukakan oleh pendiri bangsa mengenai philosophisce grondslag sebagai pandangan hidup bangsa. Filosofi agung yang tercipta melalui diskusi intensif serta perdebatan intelektualitas dari berbagai pendiri bangsa harus dijaga nama baiknya dari perbuatan yang didasari oleh kerakusan semata. Hal ini yang mendasari perlunya peningkatan nilai intelektualitas terhadap masyarakat Indonesia dalam mengamalkan Pancasila di kehidupan nyata. Pancasila bukan sekadar lima sila yang hanya berguna untuk dihafalkan saat belajar di sekolah. Tetapi, nilai filosofis dari setiap sila dari Pancasila tersebut yang harus ditanamkan kepada masyarakat Indonesia. 

Setiap sila yang terdapat pada Pancasila sudah pasti bertentangan dengan perbuatan korupsi. Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa menjelaskan bahwa manusia Indonesia memiliki keimanan dan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Korupsi sendiri merupakan perbuatan yang dapat dikatakan sebagai mencuri. Setiap agama pasti mengajarkan bahwa manusia tidak boleh mencuri karena akan menimbulkan dosa dimana sila pertama dari Pancasila menjelaskan bahwa setiap manusia harus memiliki agama. Jadi, apabila seseorang melakukan korupsi maka orang tersebut sudah pasti melanggar nilai filosofis dari sila pertama Pancasila. 

Sila kedua dari Pancasila yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila kedua mengajarkan masyarakat Indonesia untuk saling memperlakukan sesama manusia dengan derajat yang sama. Sebaliknya, perbuatan korupsi mengabaikan pengakuan persamaan derajat dan keadilan akan sesama manusia. Seseorang yang melakukan korupsi mengambil hak yang seharusnya dimiliki oleh orang lain secara sepihak dan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi. Secara tidak sengaja, kepentingan pribadi pun bertentangan dengan sila ketiga dari Pancasila. 

Persatuan Indonesia mengajarkan masyarakat Indonesia untuk mementingkan kepentingan bersama dibandingkan kepentingan golongan. Namun, seseorang yang melakukan perbuatan korupsi sudah pasti hanya memikirkan kepentingan pribadi atau kepentingan golongannya saja. Hal tersebut disebabkan masyarakat lain tidak dapat menikmati hasil dari pembangunan bersama yang didasarkan oleh rasa gotong royong sebagai karakter bangsa Indonesia. Persatuan pun menjadi rusak akibat perbuatan korupsi dan setiap orang menjadi tidak percaya terhadap satu sama lain.

Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan sebagai sila keempat dari Pancasila juga bertentangan dengan perbuatan korupsi. Maraknya kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara memunculkan trust issue dari rakyat terhadap pejabat. Hal ini disebabkan oleh kepercayaan masyarakat yang dimanfaatkan untuk melakukan korupsi dapat membuat masyarakat menjadi tidak percaya lagi terhadap pemerintah. Alhasil, citra pemerintah akan menjadi buruk di mata masyarakat Indonesia.

Terakhir, sila kelima yang berbunyi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Praktik korupsi dapat membuat kesenjangan sosial yang semakin besar. Anggaran yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan fasilitas masyarakat tidak dapat selesai karena perbuatan korupsi yang dilakukan dari setiap pembangunan fasilitas. Ketiadaaan infrastruktur membuat keadilan hilang bagi masyarakat Indonesia yang seharusnya dapat menikmati fasilitas tetapi tidak selesai karena dikorupsi.

Nilai-nilai filosofis yang terkandung pada setiap sila Pancasila mengajarkan masyarakat Indonesia bahwa sebaik apa pun teknologi atau metode yang dapat mencegah praktik korupsi. Tidak ada yang lebih baik dari mengamalkan nilai filosofi Pancasila sebagai philosophisce grondslag di dalam diri masing-masing.

Pengamalan nilai Pancasila yang kuat dapat membuat masyarakat tidak tertarik dalam melakukan praktik korupsi. Hal ini disebabkan masyarakat yang paham bahwa filosofi dasar negara ada sebagai sebuah kebanggaan mereka dalam menjalani hidup sesuai dengan filosofi tersebut. Nilai filosofi tersebut lah yang membuat Pancasila menjadi senjata yang ampuh dalam melawan korupsi apabila dipahami dan diamalkan dengan benar oleh masyarakat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

  • Argiya, V. S. P. M. (2013). Mengupas tuntas budaya korupsi yang mengakar serta pembasmian mafia koruptor menuju indonesia bersih. Jurnal Hukum Pidana Dan Penanggulangan Kejahatan, 2(2).
  • Jiwandono, I. S., & Nurbeni, I. (2019). Persepsi mahasiswa terhadap fungsi Pancasila sebagai weltanschauung dalam upaya mengatasi merosotnya nilai kebangsaan. ELSE (Elementary School Education Journal): Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran Sekolah Dasar, 3(2), 35–42.
  • Mauro, P., Driscoll, D. D., & International Monetary Fund. (1997). Why worry about corruption? https://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&scope=site&db=nlebk&db=nlabk&AN=449574
  • Medan, D. Y. U. A. W. (2015). Faktor-Faktor Penyebab Tindak Pidana Korupsi Meningkat Di Indonesia. Universitas Muslim Nusantara Al Washliyah, 16(1), 5210.
  • Monitasari, R. G., Furqon, E., & Khaerunnisa, E. (2021). DEMOKRASI DALAM DIMENSI NILAI-NILAI PANCASILA BERDASARKAN PARADIGMA PHILOSOPHISCHE GRONDSLAG. Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum, 1(2), 232–245.
  • Nugroho, S. B. M. (2016). Korupsi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di Indonesia. Media Ekonomi Dan Manajemen, 26(2).
  • Saputra, I. (2017). Implementasi Nilai Pancasila dalam Mengatasi Korupsi di Indonesia. JPPKn (Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan), 1(2).
  • Soemanto, R.-. (2014). Pemahaman Masyarakat Tentang Korupsi. Yustisia Jurnal Hukum, 3(1).
  • Syarbaini, S. (2015). Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi: Implementasi nilai-nilai karakter bangsa. Ghalia Indonesia.
  • Wulandari, D., & Dewi, D. A. (2021). Implementasi Nilai Pancasila: KPK sebagai Upaya mengatasi Kasus Korupsi di Indonesia. Edumaspul: Jurnal Pendidikan, 5(1), 565–579.

Billie Adrian