Literasi adalah jembatan dari kesengsaraan menuju harapan. Ini adalah alat untuk kehidupan sehari-hari dalam masyarkat modern (Kofi Anan). Sebagai sebuah jembatan, literasi amat penting dalam mewujudkan pendidikan berkualitas. Literasi bangsa yang rendah tentu akan berdampak buruk pada kualitas pembangunan manusia maupun sumber dayanya di masa depan.
Negeri ini masih menempati tingkat literasi yang cukup rendah di Asia Tenggara, menurut PISA pada tahun 2019. Yakni di tingkat 62, dari 70 negara. Posisi ini tentu menjadi keprihatinan bersama di tengah merebaknya arus informasi yang semakin deras. Derasnya arus informasi dan krisis media cetak yang kredibel, membawa kita pada rentannya disinformasi, berita bohong (hoax) serta fitnah.
Ahmad Syafii Maarif, guru bangsa kita pernah memberi wejangan “ Abad medsos (media sosial) adalah abad yang sarat dengan kegaduhan dan huru-hara, di samping banyak pula sisi positifnya jika digunakan oleh manusia beradab dan lapang dada. Di tangan manusia tunaadab dan sesak dada, medsos dijadikan sarana untuk mengumbar kebencian, sakit hati, dan dendam kesumat.” Kebenaran Informasi yang semakin susah dicari seperti saat ini memerlukan tingkat literasi yang tinggi untuk menyaring bukan sekadar mensharing.
Pendidikan literasi mesti ditanamkan pada anak usia belia sampai dewasa. Kesadaran literasi yang baik akan mendorong pada perubahan yang lebih baik. Tanpa literasi, mustahil pendidikan akan menghasilkan lulusan atau manusia yang kompeten di segala bidang.
Peran Pemerintah
Pemerintah Indonesia, melalui Kemenristekdikbud telah meluncurkan program Merdeka Belajar yang ke-23 dengan tajuk “Buku Bacaan Bermutu untuk Literasi Indonesia”. Program ini sudah dimulai semenjak tahun 2022. Program ini juga telah menjangkau provinsi di seluruh Indonesia, terutama di daerah yang selama ini akses literasinya belum massif. Program ini juga didukung oleh kemitraaan antara Australia dan Indonesia yang diketuai oleh Mark Heyward. Mark mengatakan “Ini seperti revolusi, namun revolusi itu baru dimulai.” Lebih lanjut ia mengatakan, “buku bacaan merupakan dasar untuk literasi, dan literasi adalah dasar untuk semua pembelajaran.”
Pemerintah berharap program peningkatan literasi melalui pengadaan dan distribusi buku bermutu untuk anak ini dapat bermanfaat untuk anak dan dikawal agar bisa menumbuh kembangkan kecintaan anak pada literasi. Tanpa partisipasi dan peranan pemerintah daerah, tentu hal ini tidak bisa terwujud dengan baik.
Dalam Sipres No 91/sipres/A6/II/2023, setidaknya pemerintah telah mengirimkan 15 juta eksemplar buku bermutu ke lebih dari 20 ribu PAUD dan SD yang paling membutuhkan di Indonesia. Program ini diadakan untuk mengatasi rendahnya literasi pendidikan di Indonesia. Di tahun 2021, tercatat satu dari dua peserta didik jenjang SD sampai SMA belum mencapai batas kompetensi minimum literasi.
Di SD Negeri Iyameli, Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur misalnya, sudah sekitar 1600 eksemplar lebih buku untuk anak SD dengan 540 judul buku yang sudah didistribusikan. Di Lombok Utara, ada sekitar 134.240 buku yang didistribusikan ke 80 SD di Lombok utara.
Program ini juga tidak berhenti pada pendistribusian semata, tetapi pemerintah juga telah melakukan pelatihan dan pendidikan kepada guru-guru serta berkolaborasi dengan Kampus Merdeka yang melibatkan mahasiswa untuk melakukan pendampingan dan pengawalan.
Pemerintah melalui Nadiem Makarim telah membuka jalan bagi peningkatan literasi pendidikan di Indonesia. Kualitas pendidikan Indonesia yang masih rendah harus didukung dan didorong dengan peningkatan literasi yang signifikan. Kerjasama stake holder dan antar lembaga akan mendorong pada tercapainya tujuan program dan kesadaran literasi anak.
BACA JUGA: CEK FAKTA: Ferdy Sambo Terciduk Sempat Ngamar dengan Nikita Mirzani Sebelum Dieksekusi, Benarkah?
Tantangan
Program peningkatan literasi Kemenristekdikbud ini tidak bisa berjalan maksimal tanpa pendampingan orangtua, guru dan sekolah untuk mengawal program ini. Jangan sampai program ini hanya berhenti pada distribusi buku saja, tanpa pengoptimalan buku tersebut.
Jangan sampai program dari pemerintah ini justru berhenti pada satu kali saja. Masyarakat dan pemerintah daerah harus saling menyambut dan meneruskan apa yang sudah dirintis pemerintah. Keterbatasan dana, dan sumber daya pemerintah untuk menjangkau seluruh Indonesia harus diimbangi dengan gotong royong para pemangku kebijakan pendidikan di tingkat daerah untuk mengawal keberlanjutan dan keberlangsungan program literasi ini.
Baca Juga
-
Ki Hajar Dewantara: Dari Darah Ningrat hingga Perintis Pendidikan Rakyat
-
Akses dan Keadilan Pendidikan
-
Krisis Iklim dan Alpanya Tata Kota Indonesia Masa Depan
-
Beban Administrasi vs Fokus pada Murid: Dilema Guru di Era Kurikulum Merdeka
-
7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat dan Penguatan Pendidikan Karakter
Artikel Terkait
-
Profil Ditho Sitompul Anak Hotma Sitompul: Pendidikan, Karier, dan Keluarga
-
Melahirkan Generasi Muda Nasionalis dalam Buku Indonesia Adalah Aku
-
Bersyukur atas Putusan Hak Asuh Anak, Paula Verhoeven Pamer Kebersamaan dengan Kiano dan Kenzo
-
Viral Aniaya Korban Gegara Dituduh Rebut Pacar, Begini Nasib 3 ABG di Tambora usai Ditangkap Polisi
-
Di Antara Luka dan Pulih: Lika-Liku Luka, Sebuah Perjalanan Menjadi Manusia
Kolom
-
Benarkah 'Kerja Apa Aja yang Penting Halal' Tak Lagi Relevan?
-
Ngopi Sekarang Bukan Lagi Soal Rasa, Tapi Gaya?
-
Penurunan Fungsi Kognitif Akibat Kebiasaan Pakai AI: Kemajuan atau Ancaman?
-
Komitmen Relawan Mahasiswa, Sekadar Formalitas atau Pilihan Hati?
-
Menelisik Jejak Ki Hadjar Dewantara di Era Kontroversial Bidang Pendidikan
Terkini
-
Mengenal Chika Takiishi, Antagonis Wind Breaker Terobsesi Kalahkan Umemiya
-
4 Tampilan OOTD ala Tzuyu TWICE, Makin Nyaman dan Stylish!
-
Banjir Cameo, 4 Karakter Hospital Playlist Ini Ramaikan Resident Playbook
-
The Help: Potret Kefanatikan Ras dan Kelas Sosial di Era Tahun 1960-an
-
Tertarik Bela Timnas Indonesia, Ini Profil Pemain Keturunan Luca Blondeau