Di sebuah SMK di Purwokerto, bulan Mei 2025, para siswanya diwisuda. Ada yang menarik dari wisuda ini. Wisuda ini dikemas mirip dengan wisuda di perguruan tinggi. Mereka memakai toga dan juga berdandan ala wisudawan kampus. Sontak kabar ini pun viral dan banyak netizen mengkritisi kejadian ini.
Bila kita tilik sejarah ijazah dan wisuda, maka fenomena ini membuat kita merenung. Sejarah wisuda kerap dilekatkan dengan mahasiswa yang dianggap sudah layak diberi predikat sarjana.
Sarjana adalah orang yang dianggap menguasai satu bidang keahlian tertentu dan mumpuni. Tidak itu saja, seorang sarjana atau seorang intelektual diharapkan dapat menggunakan keilmuannya sebagai tanggungjawab besar yang dipanggulnya di masyarakat.
Toga dianggap sebagai simbol sakral saat upacara wisuda.Dengan atau melalui wisuda itulah, kita dikukuhkan secara sah dalam upacara yang sakral kalau kita telah memperoleh predikat atau gelar akademik.
Wisuda semula memang upacara yang dilaksanakan dengan hikmat. Penyelenggaraan wisuda diadakan setelah para sarjana menyelesaikan ujian kelulusan. Wisuda diadakan untuk penyematan atau pemberian tanda selesainya belajar di lingkup universitas.
Para wisudawan selain diberi penyematan dan tanda selesai belajar akademiknya, ia juga merupakan tanda atau awal memulai masa baru dalam hidup akademik yang lebih luas (masyarakat).
Acara wisuda kini jadi ajang untuk menunjukkan strata atau kelas sosial. Dengan mendandani anak bak seorang dewasa sampai dengan pemakaian kostum atau outfit wisuda yang mahal dan mencolok justru semakin mengukuhkan bahwa pendidikan adalah bagian dari pelanggengan kekuasaan.
Michael W. Apple mengutip Sharp dan Green yang mengatakan: ”Kepentingan siapa yang dilayani oleh sekolah, apakah orang tua dan anak-anak, ataukah para guru dan kepala sekolah? Dan kepentingan luas manakah yang dipenuhi oleh sekolah?”. Dalam konteks wisuda, siapa sebenarnya yang berkepentingan dengan penyelenggaraan wisuda di tingkat pendidikan di bawah sarjana?.
Penyelenggaraan wisuda yang ada di bawah strata sarjana justru menampakkan bisnis lebih menonjol daripada esensi wisuda itu sendiri. Selain belum waktunya siswa melaksanakan “wisuda”, penyelenggaraan wisuda di tingkat pra sekolah sampai tingkat menengah menjadikan wisuda sebatas mitos.
Di dalam wisuda itu ada ijazah yang disematkan kepada para civitas akademik. Dhaniel Dhakidae dalam bukunya Cendekiawan dan Kekuasaan (2003) menyebut ijazah sebagai “buah dari ikhtiar sistematik dalam sebuah ilmu pengetahuan yang menjadi dokumen dalam bentuk disertasi keterpelajaran yang tidak lain dari pada jaminan kredensial suatu lembaga ilmu pengetahuan.”
Bergeser
Makna wisuda, kesarjanaan dan tanggungjawab intelektual menjadi runtuh saat melihat agenda wisuda di negara kita (Indonesia). Wisuda justru dianggap sebagai momen perayaan akbar yang semakin memupus nilai sakralitasnya.
Tempat wisuda pun pelan-pelan bergeser dari ruang belajar ke hotel mewah. Panggung wisuda berubah dari panggung sederhana ke panggung yang gemerlap cahaya agar lebih estetik saat diabadikan dalam foto.
Orang tidak lagi merasa ada beban intelektual apalagi akademik setelah wisuda. Hilangnya sakralitas wisuda ini ditambah dengan persepsi yang salah kaprah terhadap wisuda. Orang kemudian jadi asal dan sembarangan memakai istilah “wisuda” tanpa tahu sejarahnya.
Saat para guru, kepala sekolah, maupun siswa tidak memahami dan mengerti sejarah wisuda, kita jadi mahfum wisuda hanya menjadi sekadar ritus kosong tanpa makna.
Logika kapital
Wisuda akhirnya hanya mengacu pada logika kapitalistik semata. Seperti berapa harga sewa hotel, sewa panggung, sewa bintang tamu, maupun konsumsi yang dibutuhkan pada momen wisuda.
Siapa yang berhak diwisuda pun berubah. Bila dulu yang diwisuda adalah siapa yang mampu atau kompeten atau telah diuji secara akademik. Sekarang, siapa yang diwisuda pun berubah, yakni siapa yang sudah lunas bayar “wisuda”.
Inilah pergeseran wisuda yang semakin memupus sakralitas dan keseriusan upacara akademik ini. Prof T. Jacob dalam kumpulan esainya Beginilah Kondisi Manusia (1995) menyangkut perangai kita “meniru Barat” antara lain puncaknya ketika kita ber-toga tanpa dasar penyesuaian dan pemahaman yang cukup. Tak heran murid TKpun ikut-ikutan ber-toga wisuda. Semua adalah gejala “industri kebanggaan” (Jacob, 1995:215)
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Fresh Graduate Wajib Tahu, Alasan Soft Skill Sekarang Lebih Penting dari Sekadar Nilai di Transkrip
-
Sharing Karier, Psikologi UNJA Tempa Wisudawan Siap Kerja
-
Deretan Momen Viral Dedi Mulyadi, Sekolah Barak Hingga Vasektomi
-
Dedi Mulyadi Blak-blakan Soal Larang Wisuda Sekolah, Selamatkan Warga Jabar dari Jerat Pinjol
-
Dilema Lulusan S-2 di Indonesia: Ketika Dipaksa Kalah Saing dalam Pekerjaan
Kolom
-
Femisida dan Tantangan Penegakan Hukum yang Responsif Gender di Indonesia
-
Media Lokal Sudah Badai Selama 10 Tahun Terakhir dan Tak Ada yang Peduli
-
Saat Buku Tak Bisa Dibaca: Akses Literasi yang Masih Abai pada Disabilitas
-
Sama-Sama Pekerja Gig, Kok Driver Ojol Lebih Berani daripada Freelancer?
-
FoMO dan Kecanduan Media Sosial, Menyelami Perangkap Digital Remaja
Terkini
-
Berdamai dengan Perasaan Sendiri Lewat Lagu Taeyeon Bertajuk Rain
-
Akhirnya Kembali Bersua, Kapan Terakhir Kali Timnas Indonesia Bertemu dengan Malaysia?
-
Sinopsis The Ugly Stepsister, Upaya Ekstrem untuk Gandeng Sang Pangeran
-
Ulasan Novel Practice Makes Perfect: Latihan Kencan Berubah Menjadi Cinta
-
Terbaru! Begini Cara Edit PDF di Microsoft Word Tanpa Convert Ulang