Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Arif Yudistira
Potret Ki Hadjar Dewantara (Circa 1955) — (Koleksi istimewa Museum Dewantara Kirti Griya)

Pendidikan kita hari-hari ini berjalan amat lambat. Di tengah percepatan informasi dan teknologi yang melaju cepat, pendidikan bergerak amat lamban. Kita belum bersepakat apakah kita akan bergerak maju meninggalkan pendidikan konvensional atau  memilih tetap menjaga ciri khas pendidikan kita yang berkeadaban dan berkebudayaan.

Kegagapan kita dalam menentukan dan membaca gejala zaman ini tidak bisa dilepaskan dari kemalasan pemimpin kita untuk membaca dan memahami sejarah pendidikan kita. Bagaimana mungkin kita akan memiliki visi pendidikan yang jelas saat pucuk pemimpin kita enggan membaca.

Sudah sejak sebelum republik  ini lahir, kita dibentangkan aneka kearifan tokoh bangsa di masa lampau, meski mereka tidak lulus bangku pendidikan, tetapi mereka tidak buta aksara. Mereka selalu membaca buku dan juga gerak zaman.

Kebiasaan membaca itulah yang membuat para tokoh dan pemikir pendidikan kita menginsafi bagaimana gerak zaman dan juga perkembangan anak anak dan masyarakat kita. Kejelian dan kefasihan membaca masyarakat kita membuat para perintis pendidikan nasional kita memahami dan mengilhami bagaimana pendidikan untuk bangsa Indonesia ditancapkan.

Anti Intelektuil 

Sejak awal mendirikan Taman Siswa, Ki Hajar sadar betul pendidikan kita sangat berbeda dengan pendidikan barat. Pendidikan nasional kita bukan pendidikan untuk saling bersaing dan berkompetisi. Saling mengunggulkan satu sama lain dan mengalahkan. Pendidikan kita disusun berdasarkan asas kekeluargaan.

Asas ini menjadi asas pendidikan di Taman Siswa. Pendidikan itu mesti dibangun dengan landasan cinta dan kasih. Karena itulah asas among sistem wajib di Taman Siswa. Saling asah, asih dan asuh menjadi dasar pendidikan yang penting. Itulah mengapa pendidikan nasional kita ujungnya perdamaian. Sebab persatuan adalah modal penting dalam pembangunan maupun menciptakan peradaban.

Sejarah Sebagai Kata Pasif 

Bila kita mau membuka catatan gemilang pendidikan Taman Siswa, kita bakal menemukan harta berharga tentang pondasi pendidikan kita. Pendidikan kita dibangun dengan asas kemerdekaan, kemandirian dan semangat anti kolonial atau saling menindas. Yang tak boleh dilupakan adalah pendidikan kita dibangun dengan meletakkan budi dan jiwa merdeka dalam dada anak-anak kita. Budi dan jiwa merdeka tidak bisa dibangun tanpa meletakkan nilai-nilai kearifan dan juga kebudayaan.

Hari-hari ini kita merasakan benar bagaimana kebijakan pendidikan kita seolah tidak mau menengok dan berkaca kembali dari sejarah. Kita menjadi gelap mata dengan sistem atau mètode ala barat. Pendekatan kita terhadap pengajaran dan pendidikan di kelas seolah harus diperbaiki dicocokkan dengan mètode barat. Bukankah dengan asah, asih dan asuh serta mètode sariswara yang menyenangkan itu, kita akan menciptakan pendidikan yang mendalam dan berkesan di hati anak anak kita?

Kita terlampau salah jalan kalau kata Ki Hajar, kita telah keblinger. Di hari pendidikan nasional kita, kita layak memikirkan kembali filosofi pendidikan nasional kita. Ada baiknya pendidikan kita disusun bukan berdasarkan ego dan nafsu politik semata.

Menghapus konsep menteri sebelumnya, menciptakan yang baru dari menteri yang sekarang. Pendidikan yang seperti ini hanya mengantarkan kita pada masalah yang lebih kompleks dan membawa kita kepada kemunduran. Harus diakui dengan jujur dan lapang dada, pendidikan kita belum beranjak kemana-mana.

Selain ribut pada kurikulum apa yang cocok atau pas untuk rezim sekarang. Sementara problem klasik kesejahteraan guru, masalah kekerasan di sekolah, hingga gedung sekolah yang masih rusak masih belum bisa kita tuntaskan.
Belum lama kemendikdasmen menyelenggarakan rembug nasional pendidikan.

Kita berharap pendidikan benar-benar menjadi jalan dan langkah awal untuk membenahi bangsa kita, bukan sekadar ajang untuk proyek dan eksistensi rezim semata.

Arif Yudistira