Scroll untuk membaca artikel
Ruth Meliana | Budi Prathama
Ilustrasi momen Lebaran. (Pixabay/@mufidfwt)

Momen yang telah ditunggu-tunggu dan mengharukan tentunya saat Lebaran. Kumpul bersama keluarga saat Idul Fitri merupakan hal yang terintegrasi dalam naluriah ketenangan dan kebahagiaan.

Arena pulang kampung sudah terjadi. Belanja pakaian baru tampak antusias dilakukan dalam kehidupan sosial masyarakat sebelum Lebaran, hingga yang tak terlupakan, kue Lebaran sudah dipersiapkan.

Tentu tak ada yang bisa menyangkal saat hari Lebaran, kesenangan dan aura kemenangan akan bersinar. Tradisi ajang silaturahmi dan gema ucapan "mohon maaf lahir dan batin" akan terlintas di mana-mana.

Memang kiranya seperti itu harus bisa kembali mengunjungi sanak saudara, ciptakan momen kebahagiaan di saat animo orang-orang terlihat bahagia. 

Saat momen kumpul bersama keluarga tentu kerap mendapatkan berbagai pertanyaan soal diri. Entah dengan pendidikan, pekerjaan, terlebih calon pasangan apakah sudah ada? Pertanyaan-pertanyaan demikian bisa saja bagian dari bentuk kepedulian keluarga.

Teruntuk untuk saya pribadi, pertanyaan kapan nikah sudah lantang disuarakan di awal-awal Ramadhan tahun ini. Meski begitu, saya berpikir merupakan hal wajar dan sepantasnya, melihat umur sudah di atas 25 tahun. 

Dulu saya sangat anti dengan pertanyaan seperti ini, membuat saya insecure dan mengurangi rasa kebahagiaan saat berkumpul bersama keluarga saat di hari Lebaran. Namun lambat laun, pertanyaan seperti itu menjadi cambukan untuk bisa berdamai dengannya. 

Makin hari umur terus bertambah. Artinya kesiapan untuk menjadi manusia yang mapan, dewasa dan berumah tangga terlintas kuat dalam sanubari kita. 

Entah bagaimana pun, pertanyaan kapan nikah itu akan terlontar di saat Lebaran. Tapi saya harus bisa menerima dan berdamai dengannya. 

Saya percaya urusan rezeki, pekerjaan dan pasangan hidup itu sudah digariskan oleh Tuhan. Mungkin saja Tuhan belum mempertemukan jodoh yang terbaik buat saya dan juga pada orang-orang yang masih hidup sendiri. Entah kapan dan siapa, itu sudah menjadi rahasia Tuhan. 

Hal yang mesti diterima dan direnungi, bagaimana kita bisa berdamai dengan pertanyaan kapan menikah? Terutama mereka yang sudah selesai masa pendidikannya, termasuk saya pribadi. 

Walau dituntut untuk bisa berdamai dengan pertanyaan kapan menikah, tapi perlu juga dalam hal kewajaran. Membandingkan diri dengan orang yang sudah menikah, hanya karena kesetaraan umur, tentu juga tidak baik.

Cepat menikah atau lambat menikah, semua ada porsinya masing-masing, semua ada jalannya masing-masing. Sungguh kasihan mereka yang masih berjuang untuk menemukan pasangan yang terbaik, malah dihardik dengan tuntutan untuk cepat menikah. 

Maka melalui momen Lebaran ini, gema kemenangan dan kebahagiaan mesti digalakkan. Pertanyaan kapan menikah wajib disambut dengan perasaan damai. Terpenting, selalu ingat semua orang tentu memiliki jalannya masing-masing.

Budi Prathama