Di tengah situasi ekonomi yang masih seret dan daya beli rakyat yang ngos-ngosan, lagi-lagi pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menyulitkan masyarakat, kali ini korbannya para pelaku UMKM, khususnya pedagang e-commerce.
Mulai 14 Juli 2025, platform seperti Shopee, Tokopedia, dan Bukalapak, resmi diwajibkan memungut PPh (Pajak Penghasilan) Pasal 22 dari para pedagang yang berjualan di lapaknya.
Bukan main, ya. Pemerintah makin pandai menempatkan marketplace bukan cuma sebagai tempat jualan, tapi juga sebagai perpanjangan tangan otoritas pajak.
Aturannya ada di dalam PMK No. 37 Tahun 2025. Pajaknya 0,5% dari omzet bruto (bukan laba, ya), dan berlaku buat mereka yang penghasilannya di atas Rp500 juta setahun.
Kelihatannya memang kecil. Tapi bagi pedagang yang margin labanya tipis, potongan marketplace aja udah 10-20%, ongkir ditanggung, diskon rutin buat melawan algoritma, eh... sekarang ditambah pajak lagi.
Publik pun mempertanyakan alasannya dan kenapa harus diberlakukan sekarang.
Ekonomi kita sendiri saja sedang tidak baik-baik saja. Inflasi pangan masih tinggi, nilai tukar rupiah sering lemah, dan pengangguran masih ada di mana-mana.
UMKM, yang katanya “tulang punggung ekonomi”, justru makin dipersempit ruang geraknya. Lihat saja betapa rumitnya algoritma marketplace yang bikin pedagang kecil makin tenggelam di tengah maraknya iklan dan toko besar yang promonya disponsori langsung oleh brand.
Ditambah sekarang, negara ikut nimbrung minta jatah.
Sedangkan kalau kita lihat realita dan pejabat di atas sana, para koruptor masih leha-leha, rancangan undang-undang soal penyitaan aset hasil korupsi mandek di DPR, dan gaya hidup pejabat publik masih jauh dari kata sederhana. Ada stafsus numpuk-numpuk jabatan, fasilitas negara buat elite yang makin mewah, dan anggaran makan-minum rapat yang bisa bikin rakyat kenyang setahun.
Tapi giliran soal memajaki pedagang kecil, pemerintah bisa gercep. Aturan keluar, sistem langsung jalan, dan kalau kamu telat setor NPWP, bisa dikeluarkan dari marketplace. Secepat itu negara bisa kejam ke rakyat kecil.
Kalau sudah seperti ini, lalu sebenarnya siapa yang dijajah di negeri ini? Karena rasanya seperti rakyat harus terus “bayar sewa” padahal tinggal di rumah sendiri. Pajak ada di mana-mana—di makanan, transportasi, pulsa, bahkan beli gorengan pun kadang ujung-ujungnya kena inflasi karena harga minyak naik... dan itu juga dipajaki.
Membayar pajak itu memang kewajiban. Tapi apakah sudah sepadan antara yang kita bayar dan yang kita dapat?
Saat kamu bayar pajak lewat marketplace, kamu nggak sedang menyumbang tanpa syarat. Kamu sedang berkontribusi. Dan kontribusi itu seharusnya kembali dalam bentuk fasilitas publik yang baik, layanan kesehatan yang layak, pendidikan gratis yang berkualitas, serta keberpihakan pemerintah pada rakyat kecil.
Namun pada faktanya, akses modal untuk UMKM saja masih susah. Edukasi digital untuk pelaku usaha masih minim. Kebijakan e-commerce pun cenderung berpihak ke pemain besar. Dan negara tampaknya lebih sibuk menghitung potensi pungutan, ketimbang menciptakan sistem yang adil untuk semua yang terlibat di dalamnya.
Padahal banyak pelaku usaha kecil di marketplace yang bahkan belum ngerti cara ngurus NPWP atau nyusun laporan keuangan. Mereka jualan sambil ngurus anak, sambil kerja lain, dan sambil nyicil mimpi. Tapi sekarang mereka dipaksa berurusan dengan sistem perpajakan yang terbilang tidak mudah.
Ada yang berpendapat bahwa ini demi membangun budaya pajak. Oke, itu bagus. Tapi bukankah membangun kepercayaan lebih penting? Rakyat akan patuh dengan sendirinya kalau merasa dilayani, bukan diminta terus-menerus tanpa hasil nyata.
Daripada buru-buru memungut pajak dari pelapak kecil, kenapa nggak mulai dari merampingkan kabinet, menyita fasilitas pejabat yang nggak relevan, atau mencabut anggaran jumbo untuk rapat dan perjalanan dinas yang tidak perlu?
Karena ketika negara terlalu rajin mungut, tapi lupa menyalurkan, rakyat akan benar-benar merasa bahwa kita sedang dijajah... oleh negara sendiri.
Baca Juga
-
Pidato Prabowo di Kongres PSI: Antara Canda, Sindiran, dan Harapan Kosong
-
Bukan Cuma Skill, Kekompakan Tim Futsal Lahir dari Ngopi dan Candaan Receh
-
Justice for Tom Lembong: Teriakan Netizen yang Tak Bisa Diabaikan
-
Tarif Nol, Kedaulatan Hilang: Dilema Tembaga dalam Perjanjian Indonesia-AS
-
Standar Toxic Literasi: Mengapa Banyak Orang Tak Percaya Diri Jadi Penulis?
Artikel Terkait
-
Strategi Mendorong Ekosistem UMKM Lewat Jejaring dan Kolaborasi Alumni
-
Kadin Bongkar Penyebab UMKM Indonesia Belum Bisa Naik Kelas
-
WE Finance Code Diterapkan di Indonesia, Arah Baru Pembiayaan UMKM Perempuan
-
Bank Jakarta Gandeng APKLI Perjuangan, Perluas Akses Layanan Keuangan UMKM dan PKL
-
Ratusan Karyawan PNM Berprestasi Raih Apresiasi Wisata Umrah
Kolom
-
Refleksi Hari Anak Nasional: Ironi Pernikahan Dini yang Masih Diwajarkan
-
Toxic Positivity: Ketika Bahagia Jadi Kewajiban, Bukan Pilihan
-
Dari Film Sore dan Pelajaran untuk Berhenti Memaksa Orang Berubah
-
Komik: Bentuk Sastra Paling Sederhana yang Tak Boleh Diremehkan
-
Mental Health Washing, Saat Empati Dijadikan Komoditas
Terkini
-
Bintang Timnas Indonesia U-23, Yardan Yafi Akui Idolakan Bambang Pamungkas
-
Thailand Jadi Ujian Berat, Timnas Indonesia U-23 Harus Antisipasi Tiga Hal Ini
-
Futsal: Menempa Karakter, Memanusiakan Manusia di Era Digital
-
Ulasan To Live, Novel Karya Yu Hua yang Ajarkan Arti Keberuntungan Sebenarnya
-
Filosofi Stoa: Seni Mengelola Emosi dalam Futsal