Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ade Feri
Ilustrasi pernikahan (unsplash.com/jeremywongweddings)

Pernikahan dini di Indonesia merupakan isu yang terus bergaung setiap tahunnya. Di sepanjang tahun 2025 saja, sejumlah berita tentang pernikahan anak di bawah umur sudah wara-wiri menghiasi pemberitaan di media massa dan media sosial.

Salah satu yang paling menghebohkan adalah pernikahan dini yang terjadi di Lombok tengah pada bulan Mei yang lalu, dengan pengantin perempuan berusia 15 tahun sedangkan pengantin laki-laki berusia 17 tahun.

Fakta tersebut didukung oleh data pernikahan dini yang dikeluarkan Kementerian Agama (Kemenag). Pada tahun 2024, Kemenag mencatatkan angka sebanyak 4.150 pasangan yang melakukan pernikahan di bawah umur.

Begitu pula dengan data dispensasi pernikahan turut menorehkan angka besar, seperti yang terjadi pada tahun 2023 dengan jumlah 31.887 beban perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama (PA), tetapi hanya 28.553 pasangan yang dikabulkan oleh PA.

Data di atas merupakan angkat yang sangat fantastis sekaligus miris. Ironisnya, pernikahan dini yang terjadi di Indonesia tampaknya sudah mengakar dan mendarah daging di berbagai lapisan masyarakat. Bahkan, beberapa daerah di Indonesia masih mewajarkan anak-anak menikah dini dengan alasan adat istiadat dan tradisi.

Salah satu tradisi yang dinilai berperan melanggengkan praktik pernikahan dini adalah tradisi merarik atau kawin lari Suku Sasak dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tradisi ini diartikan sebagai seorang lelaki yang melarikan atau menculik perempuan, entah suka atau tidak, untuk dijadikan istri.

Sementara itu, tabu bagi keluarga untuk membawa kembali anak perempuannya apabila ia sudah "diculik" laki-laki. Mau tidak mau, suka tidak suka, maka pernikahan akan tetap dilangsungkan.

Tradisi ini sepatutnya sudah tidak lagi relevan dengan zaman yang makin modern. Apalagi masyarakat mulai melek dengan dampak negatif praktik pernikahan paksa ini.

Sayangnya, tradisi ini masih dilakukan hingga sekarang dengan alasan melestarikan kebudayaan lokal yang sudah ada sejak zaman dulu. Akhirnya, pernikahan dini dengan justifikasi adat istiadat akan sulit sekali dihilangkan. 

Begitu pun dengan alasan ekonomi. Keluarga dengan tingkat ekonomi rendah cenderung rentan dengan praktik pernikahan dini. Salah satu alasan yang mendasari keputusan tersebut adalah orang tua kesulitan menanggung biaya hidup anak mereka, sementara sang anak belum bisa hidup mandiri dan masih mengandalkan orang tua.

Oleh sebab itu, ketika umur anak sudah dinilai cukup untuk bekerja, mereka cenderung akan meminta anaknya segera mencari pekerjaan. Namun, jika si anak tidak dapat bekerja, maka pernikahan menjadi jalan ninja bagi mereka.

Langkah tersebut sering kali merugikan pihak perempuan. Ada orang tua yang merasa senang bila anak gadis mereka dilamar seseorang. Demi meringankan beban dan mengurangi ketergantungan, anak gadis mereka pun dinikahkan dengan harapan agar memiliki hidup yang lebih baik.

Akan tetapi, tak jarang kalau praktik pernikahan karena ekonomi ini juga terjadi antara keluarga dengan latar belakang ekonomi yang sama sehingga kemudian bisa memunculkan persoalan-persoalan lainnya.

Dalam sistem hidup masyarakat yang kompleks, perempuan tampaknya lebih banyak menjadi korban pernikahan dini. Namun, hal tersebut tidak luput dari budaya patriarki yang mengakar kuat di masyarakat.

Perempuan dilihat sebagai objek yang mereka miliki sehingga tidak ragu bagi ayah atau saudara lelaki untuk menjodohkan anak mereka. Malahan, kadang keberhasilan menjodohkan dan menikahkan anak menjadi kebanggaan tersendiri di masyarakat.

Dari seluruh persoalan tersebut, masalah yang paling mengakar adalah tingkat pendidikan. Tidak menutup kemungkinan bahwa pendidikan yang rendah turut memengaruhi pola pikir seseorang.

Orang dengan tingkat pendidikan yang rendah cenderung kurang perhatian dengan risiko pernikahan dini bagi anak, baik dari segi mental, fisik, kesehatan, hingga ekonomi. Oleh karena itu, jaminan pendidikan menjadi PR utama pemerintah sebagai salah satu langkah untuk mengentaskan fenomena ini.

Di Hari Anak Nasional tahun ini, fenomena pernikahan dini patutnya menjadi perhatian bersama. Keberadaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang mengatur batas umur pernikahan, nyatanya kurang efektif menanggulangi praktik pernikahan anak di bawah umur. Artinya perlu upaya bersama dari pemerintah, orang tua, dan masyarakat agar bisa membebaskan anak-anak dari risiko pernikahan dini.

Ade Feri