Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Alya Fitriani Sajida
Komodo di Pulau Rinca (Suara.com/Risna Halidi)

Salah satu satwa ciri khas Indonesia adalah Biawak Komodo, atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Komodo Dragon. Spesies kadal terbesar di bumi ini merupakan penduduk asli Pulau Komodo, Rinca, Flores, Gili Motang, dan Gili Dasami di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dengan panjang rata-rata 2 hingga 3 meter serta beratnya yang mencapai 100 kg, menjadikan komodo pemangsa puncak di habitatnya karena sejauh ini tidak diketahui adanya hewan karnivora besar lain selain biawak ini di tempatnya tinggal.

Namun pada 2021, International Union for Conservation of Nature (IUCN) atau Lembaga Internasional untuk Konservasi Alam, telah menyatakan bahwa status komodo yang awalnya berada di kategori “rentan” telah berubah menjadi “hampir punah” di dalam Daftar Merah IUCN.

Daftar Merah IUCN merupakan indikator penting kesehatan keanekaragaman hayati di seluruh dunia. Daftar ini tidak hanya sekedar daftar spesies dan statusnya. Namun, daftar ini adalah alat yang ampuh untuk memberi informasi dan mengkatalisasi tindakan untuk konservasi keanekaragaman hayati dan perubahan kebijakan, penting untuk melindungi sumber daya alam yang dibutuhkan untuk bertahan hidup.

Daftar Merah ini memberikan informasi mengenai jangkauan, ukuran populasi, habitat dan ekologi, adanya penggunaan dan/atau perdagangan, adanya ancaman, serta tindakan konservasi yang tepat dan akan membantu menginformasikan keputusan konservasi yang diperlukan.

Tidak dapat dipungkiri, manusia merupakan penyebab utama dalam punahnya habitat komodo yang hanya dapat ditemui di Indonesia ini. IUCN menyatakan bahwa perubahan iklim yang semakin parah merupakan alasan utama komodo hampir punah. Sementara perubahan iklim yang sekarang terjadi, hampir sebagian besar merupakan akibat dari kegiatan manusia.

Kegiatan pertambangan, industri, penebangan hutan, dan masih banyak lagi aktivitas manusia yang dilakukan manusia yang menjadi penyebab perubahan iklim. Dalam hubungan internasional, isu lingkungan, terlebih satwa, merupakan isu yang berada di urutan paling terakhir untuk dibicarakan, dengan isu ekonomi dan keamanan yang dianggap lebih penting untuk dibicarakan.

Jika ini terus berlanjut, IUCN memperkirakan bahwa dalam 45 tahun kedepan populasi komodo akan berkurang sebanyak 30%. Hal ini karena tempat tinggal komodo yang berada di kepulauan yang dikelilingi laut, sehingga suhu global yang naik akan membuat permukaan air laut naik dan berpotensi berbahaya pada keberlangsungan hidup komodo di pulau tersebut.

Dalam politik lingkungan, ada teori antroposentrisme yang memandang manusia dan kebutuhannya merupakan hal yang paling penting dalam menentukan tatanan ekosistem dan kebijakan yang diambil mengenai pengelolaan alam.

Artinya, manusia hanya memandang bumi dan sumber daya yang disediakannya sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga, keputusan untuk menjaga, mengelola, atau mengeksploitasi bumi berada di tangan manusia.

Memakai teori antroposentrisme tersebut, seharusnya manusia bisa membuat kebijakkan dan mencari cara yang tepat agar komodo tidak sepenuhnya punah. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi situasi seperti ini adalah dengan adanya Convention on International Trade in Endangered of Wild Flora and Fauna (CITES), sebuah perjanjian internasional antarnegara yang dibuat dengan tujuan untuk melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional.

Berdasarkan CITES, komodo termasuk dalam kategori Appendix I. Berada di kategori tersebut, artinya komodo adalah spesies hidup liar dan tidak boleh diperdagangkan secara internasional. Hal ini mencegah adanya perdagangan komodo ilegal yang akan semakin mempercepat punahnya populasi komodo.

Sementara itu, juga ada perjanjian internasional lain mengenai lingkungan, seperti Protokol Kyoto, Kesepakatan Vienna, Protokol Montreal, dan Perjanjian Paris yang rata-rata berfokus pada upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sehingga suhu bumi tidak melampaui batas aman yang akan membahayakan kehidupan di bumi. Apabila perjanjian-perjanjian ini berjalan lancar, maka perubahan iklim akan semakin melambat, sehingga populasi komodo tidak harus terancam punah.

Tidak hanya komodo, habitat-habitat lain pun memiliki kemungkinan terancam punah dengan adanya perubahan iklim ini. Seperti beruang kutub, atau anjing laut yang rentan punah karena tempat tinggalnya di kutub yang kini makin meleleh akibat suhu yang tinggi.

Negara-negara harus berkomitmen semaksimal mungkin dalam menangani isu-isu yang berfokus pada lingkungan, menaati perjanjian yang telah disepakati mengenai isu lingkungan, serta berartisipasi penuh dalam rangka mengehentikan kerusakan bumi.

Dengan begitu akan tercipta dan terjaminnya rasa aman bagi kehidupan di muka bumi ini, tak hanya bagi komodo saja tetapi juga untuk seluruh makhluk hidup lainnya.

Alya Fitriani Sajida