Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Fathiya Oktavianti
Sekretariat Rumah Cemara. (Foto: dokumentasi pribadi)

Di antara Jalan Gegerkalong yang ramai dan padat penduduk, ada satu bangunan yang menyimpan banyak cerita. Bangunan itu menjadi saksi mata bagaimana lima pemuda bangkit dari keterpurukan mereka dan berhasil membawa perubahan bagi orang yang terjebak dengan masalah narkoba.

Kelima pemuda itu adalah Ginan, Patri, Tanto, Iqbal, dan Darwis. Pertemuan mereka berlima bermula di suatu tempat rehabilitasi di Jakarta. Saat itu mereka sama-sama sedang berjuang melawan kecanduan obat-obatan terlarang. Kesadaran tentang perjuangan dan kesulitan yang dialami pecandu membuat mereka bertekad untuk membuat tempat rehabilitasi.

Di tahun 2001, mereka pindah ke Bandung dan bergabung dengan Yayasan Budi Pekerti. Namun, usaha mendirikan komunitas untuk orang-orang dengan masalah ketergantungan obat-obatan tidak selalu berjalan dengan mulus. Yayasan itu akhirnya bubar karena permasalahan manajemen. Tidak mau menyerah, Patri dan teman-temannya memutuskan untuk membangun Rumah Cemara pada 1 Januari 2003.

Terbentuknya Rumah Cemara berangkat dari kepedulian pendiri terhadap orang-orang yang punya masalah adiksi narkoba tetapi kesulitan untuk mendapatkan pertolongan. Rumah Cemara juga membantu keluarga yang sudah menyerah dalam menangani pecandu.

“Itu karena kita melihat di Bandung banyak banget teman-teman kita yang masih menderita karena ketagihan heroin. Heroin, kan itu susah banget berhentinya sampai kecanduan, menderita, ada yang berurusan sama polisi, ada yang kena HIV. Akhirnya kita pengen narik temen-temen kita yang ada di jalanan (yang) masih belum kenal sama program. Pengen narik (mereka), kita bisa kok bareng-bareng untuk keluar dari mimpi buruk ketagihan narkoba itu,” jelas Patri, salah satu pendiri yang masih aktif sebagai pengasuh media dan data Rumah Cemara.

Rumah Baru di Rumah Cemara

Kegiatan Rumah Cemara dalam rangka peningkatan kapasitas penanggulangan HIV/AIDS di Kecamatan Balongan, Indramayu. (Foto: Prima/Rumah Cemara)

Nama Rumah Cemara pertama kali dicetuskan oleh Ginan Koesmayadi. Beliau mengambil nama itu dari sinetron kesukaannya, Keluarga Cemara. Pilihan itu bukanlah tanpa alasan, ada makna tersendiri di balik nama Rumah Cemara. Para pendiri berharap orang-orang yang tergabung ke Rumah Cemara bisa menjadi keluarga yang mendukung satu sama lain.“Terinspirasi dari film dan sinetron itu. Keluarga yang sederhana, tapi mereka bahagia. Harta yang paling terindah ‘kan keluarga,” kenang Patri.

Sementara menurut Faisal, keberadaan Rumah Cemara seakan memberikan rumah baru bagi dirinya. Ia pertama kali bergabung dengan Rumah Cemara pada 2004. Ketika itu Faisal punya masalah dengan penggunaan obat-obatan terlarang.

“I’m an Englishman in New York. Saya berada di lingkungan yang baru dan saya jadi alien awalnya karena pertama saya datang ke sini (Rumah Cemara), saya datang ke pertemuan tertutup. Saya hanya duduk diam dan mendengarkan, merasa alien saya di sana tapi saya sudah merasakan ‘Gua bagian dari sini, bagian dari lingkaran ini’,” tutur Faisal sembari mengingat pengalaman pertamanya di Rumah Cemara.

Faisal bercerita di masa itu kondisi kesehatannya sudah menurun. Ia bahkan perlu dipapah dan diantar oleh sang ayah untuk datang ke pertemuan Rumah Cemara. Keadaan yang buruk tidak menghalangi niat Faisal untuk kembali datang ke pertemuan selanjutnya.

Dia merasa kunjungannya itu memberikan kekuatan. Berkat dukungan orang-orang yang ia temui selama masa rehabilitasi akhirnya dirinya bisa bangkit dan pulih. Sampai saat ini Faisal masih aktif di Rumah Cemara, bekerja sebagai staf program. Ia mendedikasikan waktu dan usaha untuk membantu orang lain yang bernasib serupa.

Rehabilitasi dan Advokasi

Diskusi Rumah Cemara seputar kebijakan penanggulangan narkotika bersama mahasiswa Oxford University. (Foto: Prima/Rumah Cemara)

Rehabilitasi menjadi cara Rumah Cemara untuk memberdayakan anggotanya. Masa rehabilitasi Rumah Cemara berlangsung selama enam bulan. Dalam kurun waktu itu pasien menjalani rawat inap dan diwajibkan untuk ikut pembinaan berupa kelas dan pelatihan. Kontak ke dunia luar juga dibatasi untuk mencegah pasien mendapatkan obat-obatan terlarang dari pihak eksternal.

“Karena untuk membiasakan kehidupan yang tanpa konsumsi narkoba itu butuh waktu yang lama, yang terisolasi. Kita ingin memastikan lingkungan ini aman dari konsumsi narkoba. Kemudian juga kan perilakunya dibentuk dari bangun pagi, terus ada jadwal yang rutin dan terstruktur. Jadi untuk membentuk perilaku itu dibutuhkan waktu sekitar 6 bulan,” jelas Patri.

Dalam memberikan layanan rehabilitasi, Rumah Cemara bekerja sama dengan psikiater dan tenaga ahli. Akan tetapi, untuk aktivitas sehari-hari masih dikelola sepenuhnya oleh pengurus dan pasien. Hal itu dilakukan untuk melatih kemandirian pasien sekaligus membedakan Rumah Cemara dengan tempat rehabilitasi lain.

Sayangnya layanan rehabilitasi itu harus ditutup pada tahun 2019 karena beberapa alasan. Meskipun demikian, perjalanan Rumah Cemara dalam memperjuangkan hak orang-orang yang bermasalah dengan konsumsi obat-obatan terus berlanjut sampai sekarang.

Kini Rumah Cemara lebih aktif pada kegiatan advokasi. Selain mengurus advokasi yang berhubungan dengan masalah adiksi narkotika, Rumah Cemara pun aktif dalam menyuarakan isu HIV/AIDS. Terlebih lagi orang dengan masalah penyalahgunaan obat-obatan punya resiko penularan yang tinggi.

Kami bergerak juga di penanggulangan HIV. Jadi kebanyakan waktu itu kan narkobanya pakai suntikan tuh dan suntikan itu mereka ganti-gantian jadi nularin HIV, kan taunya mereka udah positif HIV aja. Nah itu mereka tambah bingung,” sambung Patri.

Melalui advokasi ini, Rumah Cemara mencarikan keadilan dan hak orang-orang dengan masalah obat-obatan dan HIV/AIDS. Dalam menjalankan kegiatan advokasi tersebut, Rumah Cemara berkolaborasi dengan banyak lembaga, baik dalam negeri hingga mancanegara. Tak hanya itu, Rumah Cemara turut mengawasi peran pemerintah dalam aspek pencegahan, penanggulangan, dan pengobatan terkait isu narkotika dan HIV/AIDS.

Olahraga dan Perang Melawan Stigma

Rumah Cemara meluncurkan tim nasional sepak bola jalanan Indonesia untuk kejuaraan Homeless World Cup 2023 di Sacramento, Amerika Serikat. (Foto: Prima/Rumah Cemara)

Pembicaraan tentang narkoba tidak pernah terlepas dari kata stigma. Bayangan yang muncul di benak orang ketika mendengar kata pecandu seringkali berupa sosok yang merugikan masyarakat. Hal serupa juga kerap dialami oleh orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Mereka acap kali dijauhi dan mendapatkan perlakuan diskriminasi karena dianggap bisa menularkan penyakit berbahaya ke orang lain.

“Stigmanya ya kalau sudah sekali memakai narkoba sudah tidak akan bisa berhenti, tidak akan bisa produktif, males-malesan, bikin onar, mencuri, dan seterusnya. Kenyataannya (memang) ada. (Tapi) seperti orang biasa aja, tentu ada dari sekian persennya memang dasarnya maling,” terang Patri.

Patri menjelaskan Rumah Cemara punya cara unik tersendiri untuk menghapus stigma negatif masyarakat terhadap kedua kelompok itu. Salah satunya dengan mengadakan pertandingan sepakbola dan tinju. Nanti tim dari berbagai kelompok masyarakat akan melawan tim Rumah Cemara yang berisikan para penyintas.

Pertandingan diakhiri dengan diskusi yang membahas bagaimana pada dasarnya orang yang memiliki masalah adiksi atau positif HIV tidak seharusnya diasingkan.

“Setelah main, setelah pertandingan mereka kita undang ke sini. Gitu. Ya kayak ngopi dan ngobrol-ngobrol gitu. Terus kami kasih tau ke mereka, ‘eh kalian tau gak tadi kalian tuh main bola sama orang yang HIV loh’. Jadi awalnya ada yang ketakutan.Tapi akhirnya ada pendidikannya,” pungkasnya.

Fathiya Oktavianti