Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Agus Siswanto
Kabut polusi udara di Jakarta pada Rabu (16/82023). [Suara.com/Chandra]

Beberapa hari belakangan ketakutan warga Jakarta akan penyakit ISPA bermunculan. Berita tingkat kesehatan udara Jakartalah menjadi penyebabnya. Tingkat polusi yang sudah mencapai tahap membahayakan mengundang banyak reaksi.

Apalagi saat nama Jakarta tampil di urutan ketiga kota dengan polusi terburuk di dunia. Muncul berbagai tanggapan, baik yang menyalahkan ataupun mencoba membela diri.

Gejala buruknya udara Kota Jakarta sebenarnya bukan lagu baru. Berita sudah ada sejak dahulu, namun tidak pernah ada penyelesaian. Semua hal yang dilakukan terbukti tidak mendatangkan hasil.

Menghadapi situasi semacam ini, bukan solusi yang muncul justru saling tuding terjadi antara beberapa pihak. Kesan saling menyalahkan pun bermunculan.

Tudingan pertama tertuju pada kendaraan bermotor. Sebagian pihak menganggap sektor inilah biang kerok polusi ini. Pasalnya dari sekitar 26.370.535, berdasar data BPS tahun 2022, mempunyai potensi penyebab polusi ini.

Memang pemerintah DKI mengklaim telah mengadakan uji emisi terhadap kendaran bermotor tersebut. Namun dalam kenyataannya secara kasat mata masih tampak kendaraan bermotor tidak laik jalan masih melenggang di jalan-jalan ibu kota.

Hal ini memunculkan pertanyaan apa gunanya uji emisi jika tidak diikuti tindak lanjut, termasuk sanksi bagi pelanggarnya.

Tudingan kedua mengarah pada pabrik-pabrik yang ada di Jakarta dan sekitarnya. Tidak dapat dimungkiri bahwa industri mempunya andil besar dalam meruaknya polusi di kota Jakarta.

Polusi yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik terbilang komplek. Limbah yang mereka hasilkan, bisa saja mengotori sungai-sungai di Jakarta. Demikian pula dengan polusi udara dari cerobong-cerobong asap mereka.

Lewat cerobong asap tersebut, berbagai material yang membahayakan melayang di langit Jakarta. Pengawasan dan penindakan yang dilakukan pemerintah terbukti tidak efektif. Buktinya pelanggaran-pelanggaran tersebut masih saja terjadi.

Tudingan ketiga mengarah pada keberadaan PLTU di sekitar Jakarta. Tidak tanggung-tanggung terdapat 16 PLTU mengepung Jakarta. Penggunaan batu bara sebagai bahan bakar PLTU ditengarai menjadi penyebab bencana ini.

Diakui atau tidak, ketiga sektor tersebut mempunyai andil terhadap buruknya kualitas udara kota Jakarta. Maka langkah apapun tidak akan berhasil jika hanya dilakukan secara partial. 

Kesadaran dari semua pihak, termasuk masyarakatlah yang mampu menyelesaikan PR besar ini. Pemerintah pun punya tanggung jawab besar untuk menyelesaikan semua ini. Langkah yang dapat ditempuh adalah pembuatan regulasi untuk mengawasi dan menindak setiap pelanggaran yang terjadi.

Agus Siswanto