Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Septian Pribadi
Ilustrasi cinta pertama (Freepik.com/master1305)

Sebagai pecandu media sosial, saya dan kalian tidak pernah asing soal konten yang berisi kata-kata bijak. Biasanya diiringi lagu-lagu melankolis dan dramatis untuk menambah kekuatan dari pesan-pesan bijak itu. Beberapa dari kita kemudian memberikan like, komentar, atau bahkan membagikan ulang konten itu ke media sosial yang lain. Misalnya saja status Whatsapp.

Alasannya beragam dan yang paling banyak biasanya karena merasa konten bijak itu mewakili dirinya yang sedang resah terhadap suatu hal. Kemudian diunggah di status Whatsapp untuk memberi info kepada khalayak, "ini loh yang saya maksud kenapa melakukan ini dan itu."

Seperti ingin meyakinkan circle-nya untuk setuju terhadap kata-kata bijak itu. Ketika orang setuju dengan kata bijak itu, artinya orang lain juga akan mengerti tentang sikap si pengunggah kata bijak tersebut. Atau alasan lainnya, ya ingin ditujukan untuk menyindir secara halus orang tertentu. Benar begitu?

Lagu Yura Yunita-Tutur Batin menjadi salah satu lagu yang dipakai pengunggah kata-kata konten bijak yang biasanya berisi tentang sakit hati seorang istri karena sering dikecewakan oleh suami. Kemudian ditambahi kata-kata, “Ayahku adalah tipe kriteria pria impianku, jadilah seperti ayahku yang selalu menyayangiku dan menjagaku."

Kegalauan seputar cinta memang meresahkan jiwa dan raga. Konten yang senada bertuliskan begini, “jadilah wanita seperti ibuku yang sangat menyayangiku dan sangat merawatku dengan baik, aku pastikan kamu tidak akan ku sia-siakan.” Biasanya untuk memperdalam sadvibes-nya diiringi musik milik Rizky Febian-Hingga Tua Bersama.

Bab Cinta-Mencintai

Saya jadi ingat lagu Denny Caknan-Kalih Welasku. Di situ dia menuliskan lirik, “komunikasi ki dua arah, ora searah. Nek searah jenenge khutbah.” Artinya, komunikasi itu dua arah, bukan satu arah. Kalau satu arah namanya khutbah.

Setiap hubungan antara manusia yang bersifat interaktif-komunikatif selalu menekankan kepada keadilan komunikasi antara dua pihak. Tujuannya adalah untuk menemukan hubungan yang sehat dan baik. Harapannya, hak dan kewajiban masing-masing sejoli dapat terpenuhi-terlaksana bila komunikasi terjalin dengan baik.

Domain cinta beserta tetek bengeknya menjadi konten dominan di media sosial. Konten kegalauan di atas adalah wujud komunikasi antara dua sejoli yang saling mencintai dan merasa haknya tidak dipenuhi, dan di sisi lain kewajiban tidak dilaksanakan. Apalagi bab cinta-mencintai, komunikasi menjadi organ vital agar cinta bisa tumbuh sehat dan tidak penyakitan.

Namun tidak semua konten komunikasi ala kata bijak yang sering digemari oleh generasi zaman now ini tepat. Banyak juga yang meleset. Alih-alih memberikan hasil komunikasi yang baik agar harmonis justru malah tanpa disadari, itu menyesatkan.

Konten Jadilah seperti Ayahku atau Ibuku

Baik wanita atau pria, sering kali memiliki kecenderungan untuk mengidamkan sosok suami atau istri yang seperti ayah atau ibu mereka. Tentu saja ini berlaku pada keluarga yang harmonis karena sosok orang tua yang mampu mengayomi dan membahagiakan anak-anaknya. Tapi kalau keluarga broken home karena keluputan orang tua, ya tidak harus mengidolakan orang tua sendiri, bisa orang tua orang lain. Hehe…

Sekilas ungkapan “jadilah seperti ayahku/ibuku…” yang disampaikan oleh seseorang kepada pasangannya tepat dan indah. Tapi justru mengandung kesesatan di dalamnya. Saya tidak hendak bilang ini semacam dihar (bentuk talak karena menyamakan pasangan dengan ibunya). Tidak kok.

Beberapa kawan yang usia pernikahannya baru seumur jagung mengisahkan ucapan istrinya karena menuntut dirinya agar seperti ayahnya. Sebagai pria yang penurut, dia diam saja dan menyetujui tuntutan istrinya itu.

For your information, kata bijak di atas justru muncul di generasi-generasi Z ke atas yang amat akrab dengan internet dan media sosial. Saya tidak pernah menemukan ungkapan semacam ini disampaikan oleh ayah atau ibu saya atau orang-orang seusianya. Entah dari mana asalnya, masak iya dari Vicky Prasetyo, si pujangga penakluk seribu wanita itu?

Menuntut untuk sebanding kepada pasangan agar seperti sang ayah adalah sesat logika. Bagaimana mungkin, lelaki yang sekian puluh tahun jomblo lalu menikah dan ketika ada masalah dituntut seperti ayahnya? Atau cara melayani pasangan seperti pelayanan ibunya yang sat-set dan terus menerus. Ya ndak mungkin, masseee…

Kita tahu, menikah adalah laku ibadah yang tersulit karena harus dilakukan seumur hidup. Lika-liku kehidupan dan masalah menjadi satu di dalamnya. Dan banyak hal tidak terduga bisa terjadi dalam mahligai pernikahan. 

Ayah atau ibu yang puluhan tahun menjalani pernikahan tentu memiliki mentalitas dan pengalaman yang amat banyak terhadap masalah rumah tangga. Mereka juga pasti sudah menerapkan berbagai model komunikasi untuk tetap menjaga keharmonisan dan keutuhan rumah tangga. Gampangnya, mereka seperti Lionel Messi yang seolah memiliki Haki raja (Haoshoku Haki) yang bisa memprediksi serangan lawan. 

Lalu dengan gampangnya, para pasangan bilang jadilah seperti ayahku atau ibuku. Lah, kita ini seperti bocil yang baru masuk SSB, itu pun banyak liburnya karena lapangan dipakai orang kampung. Mana bisa kita disuruh jadi Lionel Messi?

Pasangan yang usia pernikahannya belum cukup panjang dan belum merasakan asin, tawar, dan pahit kehidupan seperti ayah-ayah atau ibu-ibu kalian, tentu berimplikasi pada kematangan mental, pengalaman, dan cara menyelesaikan masalah.

Kata bijak jadilah seperti ayahku tentu saja tidak tepat digunakan pada pasangan yang tidak sebanding pengalamannya dengan orang tua kita. Itu perbandingan yang tidak apple to apple. Itu seperti membandingkan pemain SSB dengan megabintang Lionel Messi. Yo ora massukkk ri…

Septian Pribadi