Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Septian Pribadi
Bu Masriah buang sampah lagi di depan rumah tetangga. (x/kegblgnunfaedh)

Saya sempat terkekeh-kekeh ketika melihat berita dan video Masriah yang viral karena membuang sampah dapur di depan rumah tetangganya. Lebih tepatnya di jalanan yang menjadi akses satu-satunya menuju rumah yang diketahui dimiliki oleh Wiwik. Bahkan Masriah sering membuang air kencing dan tinja di lokasi yang sama sejak 2017-2023. 

Sikap jahat Masriah dilatarbelakangi oleh sakit hati karena rumah yang ditempati Wiwik awalnya milik adik Masriah yang ingin dia beli. Tapi karena belum punya uang, akhirnya dijual adiknya kepada Wiwik. Beberapa kali dimediasi oleh pemerintah dan pernah masuk bui, jebule ya tetap saja si Masriah ini. Wiwik pun sampai bilang pasrah dan capek menghadapi sikap tetangganya itu.

Keterkekehan saya pada hal di atas bukan tanpa dasar. Saya sendiri pernah mengalami teror tidak menyenangkan oleh tetangga sebelah rumah saya sendiri. Ketika itu orang tua saya memiliki usaha toko kelontong sederhana pada tahun 2012-an. Saat itu belum banyak klontong modern (sejenis mart) seperti saat ini. Perputaran ekonomi dari toko itu cukup memberi kami hidup lebih dari cukup. 

Singkat cerita, tetangga sebelah rumah melakukan teror dengan mengambil laptop yang pada saat itu cukup mewah dimiliki orang desa seperti saya. Tak berhenti di situ, ia juga menanamkan santet di tanah depan toko. Ketika ditanggulangi, kata ‘orang pintar’ itu adalah santet anti laris.

Saya sendiri juga merasakan penderitaan Wiwik ketika tidak bisa hidup nyaman di dalam rumah sendiri. Tapi yang lebih miris lagi, kita tidak bisa melakukan banyak hal ketika tetangga yang seharusnya adalah keluarga terdekat dalam hidup bermasyarakat, dan berperan saling melindungi, ternyata menjadi musuh dalam selimut. 

Kasus perselisihan antartetangga bukanlah hal baru dalam kehidupan bermasyarakat kita. Sudah banyak sekali kasus-kasus macam Wiwik hanya berbeda model saja. Beberapa kenalan juga pernah berselisih dengan tetangga dan tidak ada solusinya bahkan hingga sekarang.

Saya tidak hendak berbicara soal manajemen konflik tingkat RT atau RW bahkan desa atau negara sekalipun. Tapi ini adalah soal kebebalan mental masyarakat kita yang merasa bahwa dengan menindas tetangganya adalah cara paling cepat untuk memperbaiki kualitas hidup. Sikap serakah dan iri melihat tetangganya berkembang lalu menjegal mereka dengan cara-cara kotor seperti sikap lumrah dalam kehidupan sosial. Seolah kita amat mencintai kebebalan.

Mental Bebal

Kebebalan tidak lahir tanpa alasan. Kebebalan tercipta dalam siklus yang panjang dan terus berulang-ulang. Seorang filsuf Yunani, Plato, mengatakan bahwa kebebalan berakar pada kurangnya pengetahuan. Orang melakukan tindakan jahat karena ia tidak mengerti tentang kebaikan. Namun dalam konteks masyarakat Indonesia tidak demikian.

Kita tahu dan paham bahwa membuang sampah di sungai menyebabkan rusaknya sungai dan merugikan diri sendiri yang mewujud dalam banjir. Tapi masyarakat kita tetap bebal membuang sampah di sungai. 

Melukai tetangga dengan ucapan dan perilaku yang tidak menyenangkan berakibat pada perpecahan sosial dan tidak terjalin kerukunan antar sesama. Tapi masyarakat kita tetap saja dengan enteng melakukan caci-maki kepada sesama tanpa rasa iba.

Kebebalan di Indonesia tidak lahir dari kurangnya pengetahuan. Tapi ia lahir dari kebiasaan. Kejahatan dan kebaikan tidak hanya sekedar pengetahuan konseptual, melainkan muncul dari kebiasaan. Dan kebiasaan kita adalah melakukan kejahatan yang berulang-ulang. Karena kebiasaan itu, kejahatan yang seharusnya tetap menjadi jahat berubah menjadi kelumrahan dan menyebabkan kebebalan. Bahwa ketika berbuat jahat adalah hal banal atau biasa yang menjadi budaya kita.

Kebebalan ini diperkuat dengan banyaknya oknum pemerintah dan public figure yang dengan sengaja atau tidak menampakan tontonan bebal pada masyarakat. Perilaku korupsi, pencurian, perselingkuhan, caci-maki, dan perselisihan antar sesama menjadi tontonan paling seru sekaligus viral di media sosial kita.

Di zaman serba digital saat ini, kebebalan bisa diakses dan dinikmati oleh siapa saja, termasuk generasi muda dan anak-anak kecil. Tanpa disadari, kebebalan itu kemudian menjadi tolak ukur mereka dalam kehidupan sosial. Bahkan hingga mandarah daging dan tumbuh di alam bawah sadar. 

Sikap Abai

Sikap abai oleh penegak hukum dalam menangani kasus-kasus kejahatan menjadi faktor berpengaruh yang menciptakan mental bebal di masyarakat. Pengabaian ini menyebabkan banyak sekali orang merasa aman ketika melakukan kejahatan. Efeknya tentu saja buruk untuk masa depan Indonesia. 

Sebagai masyarakat yang menjunjung nilai Pancasila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, seolah sebatas jargon tanpa aksi nyata. Semakin abai pemerintah dan penegak hukum terhadap masalah-masalah sosial masyarakat Indonesia, semakin mempercepat perpecahan dan memunculkan getaran kuat pada kohesi sosial.

Litbang Kompas merilis hasil survei kepuasan publik dalam penegakan hukum pada Agustus 2023. Sebanyak 1.364 responden dipilih secara acak di 38 provinsi di Indonesia. Data survei menunjukkan bahwa dalam menuntaskan kasus hukum (perampokan, pembunuhan, narkoba, perjudian, terorisme, dan sebagainya) mendapat nilai kepuasan 60,2%. Kasus pemberantasan suap dan jual beli hukum, kepuasan 44,5%. Penuntasan kasus kekerasan oleh apparat atau pelanggaran HAM, kepuasan 56,3%. Jaminan perlakuan yang sama oleh aparat hukum kepada semua warga, 57,9%, dan pemberantasan KKN, kepuasan 55,9%.

Meski kepuasan terhadap penegakan hukum pada 2023 meningkat dari tahun kemarin, bukan berarti pemerintah dalam hal ini penegak hukum puas diri. Nilai kepuasan itu masih amat kecil disebut sebagai capaian yang berhasil dalam memunculkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pengabaian adalah sikap yang lebih jahat dari kejahatan itu sendiri. Dengan abai, berarti pemerintah mengizinkan perilaku jahat terus muncul secara sporadis dan masif dalam dinamika sosial.

Nabi Muhammad membenci mereka yang melihat kemungkaran yang dibiarkan. Bahwa ketika melihat kemungkaran ubahlah dengan tangan, jika tidak bisa, ubalah dengan lisan, jika tidak bisa ingkarilah dengan hati, dan itu selemah-lemahnya iman. Dalam hal ini pemerintah tentu tidak masuk dalam kategori selemah-lemahnya iman. Karena pemerintah punya kuasa dalam menyelesaikan kemungkaran dan kebebalan.

Kebebalan tidak boleh terus dibiarkan tumbuh subur dalam masyarakat kita. Tiada guna revolusi mental yang digaungkan secara masif tapi penegakan keadilan dibiarkan memble. Kita tidak bisa memaksa masyarakat untuk tidak bebal dalam bersosial jika di jajaran pemerintah tetap saja melakukan kebebalan-kebebalan dalam bekerja. Kita juga tidak bisa menggapai keadilan sosial jika itu hanya sebatas kata-kata dalam Pancasila tanpa aksi nyata. Atau, sejatinya kita memang masyarakat yang amat terampil dalam mencintai kebebalan?

Septian Pribadi