Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ruslan Abdul Munir
Ilustrasi rakyat ingin didengar (Pexels/RDNE Stock project)

Isu demokasi di Indonesia sedang ramai diperbincangkan. Di tengah euforia hari kemerdekaan beberapa hari lalu tenyata terselip raut wajah dan amarah hingga kekesalan yang saat ini tengah dirasakan banyak pihak khususnya seluruh rakyat Indonesia. 

Respons ini terjadi atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang menetapkan syarat baru dalam proses pengajuan calon kepala daerah. Lantas hal tersebut berhasil menuai kontroversi di masyarakat yang menganggap bahwa DPR telah bertindak secara semena-mena.

Di sisi lain MK merupakan lembaga tertinggi negara dan DPR dengan mudahnya membangkangi keputusan MK yang artinya DPR bukan lagi menjadi wakil rakyat yang mendukung dan menyampaikan suara, serta aspirasi ribuan bahkan ratusan juta suara rakyat, tetapi lebih mementingkan kepentingan pribadi dan egonya sendiri.

Lantas bagaimana dengan rakyat? Apakah peran kita sebagai rakyat hanyalah sebagai figuran saja di negeri ini? Sungguh miris memang. Terkadang hal yang terkesan tidak adil di negeri ini kerap sekali terjadi seolah sudah biasa dan dinormalisasi hanya karna segelintir oknum yang memegang kekuasaan tinggi di negeri ini.

Batas antara benar dan salah, adil ataupun tidak seakan telah musnah hanya karena perbedaan status sosial dan kekuasaan. Padahal demokrasi sebenarnya berada ditangan rakyat Indonesia sendiri yang bersifat tunggal dan tidak dapat terbagi.

Namun, inilah negeri kita sangat terlihat jelas perbedaan hukum yang memperlakukan seseorang yang memiliki kekuasaan dan yang tidak.

Jika kita putar ke belakang, begitu besarnya perjuangan para pendiri bangsa ini dalam mempertaruhkan jiwa dan raganya demi kesejahteraan dan kedaulatan rakyat. Namun, dengan teganya oleh para petinggi bangsa sekarang ini yang hanya mementingkan ego sendiri, perjuangan tersebut malah disalahgunakan.

Alih-alih ingin memerdekakan rakyat, malah saat ini rayat Indonesia sendiri yang terjajah dan tidak mendapatkan perlakuan yang adil dalam membela dan mempertahankan kedaulatannya.

Demokrasi negara saat ini tegang berada di ujung tombak. Tidak banyak dari mereka (para petinggi bangsa) yang telah melanggar aturannya sendiri, sungguh sangat miris memang.

Negara ini seakan seperti boneka yang dapat dipermainkan dengan seenaknya oleh para petinggi negara yang tidak sama sekali memikirkan dan mendengarkan aspirasi rakyatnya sendiri.

Sebagai seorang pemimpin negara yang memiliki kekuasaan tinggi seharusnya memiliki jiwa besar dan bernasionalisme tinggi di segenap sisi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ke depan, Indonesia butuh para petinggi negara yang jujur dan dapat bertindak adil, serta bisa mengatakan tidak pada semua godaan yang datang pada mereka sebagai konsekuensi atas jabatan yang telah dipegangnya.

Jangan hanya karena janji-janji surga bahwa suatu saat mereka akan hidup sejahtera sehingga rakyat malah diabaikan hingga suaranya terkubur. 

Tulisan ini adalah sebagai salah satu bentuk keresahan hati sebagai respons dari kondisi saat ini yang terjadi di Indonesia yang tidak tahu akan ditujukan kepada siapa. Keran kita adalah sebatas rakyat yang suaranya tidak akan mungkin didengar, dan aspirasi itu hanyalah sebatas mimpi yang akan terus terkubur. Mau sampai kapan negeri kita seperti ini?  

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Ruslan Abdul Munir