Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Christina Natalia Setyawati
Ilustrasi kekerasan (Pexels/Mart Production)

Setiap hari, entah muncul di beranda media sosial kita, di berita-berita media massa, atau kabar yang tidak diliput yang terjadi di sekitar kita, hampir selalu ada informasi mengenai kasus kekerasan.

Mulai dari kekerasan fisik yang tampak jelas hingga kekerasan verbal yang lebih subtil, kasus-kasus ini seakan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita.

Kekerasan yang terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, tempat kerja, bahkan di ruang publik, semakin mengkhawatirkan. Dari anak-anak hingga orang dewasa, tidak ada kelompok usia yang kebal terhadap ancaman kekerasan.

Kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan Justin Bieber dan P. Diddy beberapa waktu lalu menjadi sorotan publik. Jika kita mengamati perjalanan karier Justin Bieber, terlihat adanya perubahan signifikan dalam perilaku dan citranya. Dari seorang remaja yang manis dan polos, ia bertransformasi menjadi sosok yang lebih rebel dan kontroversial.

Seperti yang diketahui, Bieber yang dulunya dikenal dengan gaya hidup yang bersih mulai terlibat dalam berbagai kontroversi, seperti penggunaan narkoba, vandalisme, dan masalah hukum.

Perilakunya yang semakin agresif dan impulsif sering kali menjadi sorotan media. Lirik-lirik lagunya yang dulunya lebih ringan dan romantis, kini sering kali mengandung pesan yang lebih gelap dan penuh amarah.

Di Indonesia sendiri, ramai berita tentang kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah. Survei ICRW menunjukkan bahwa 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka ini jauh di atas rata-rata negara-negara Asia lainnya.

Asesmen Nasional Kemendikbudristek menemukan setidaknya 24,4% siswa berpotensi mengalami perundungan dan 22,4% pernah mengalami kekerasan seksual di sekolah.

Selain itu laporan FSGI menunjukkan adanya peningkatan signifikan kasus kekerasan di sekolah selama Juli-September 2024, terutama di jenjang SMP.

Kekerasan fisik, baik dalam lingkungan rumah tangga, sekolah, atau masyarakat, masih menjadi masalah serius di banyak negara. Pemukulan, penganiayaan, dan kekerasan seksual adalah beberapa contoh kasus yang sering dilaporkan.

Dampak dari kekerasan fisik sangatlah luas, mulai dari cedera fisik yang serius hingga trauma psikologis jangka panjang. Korban kekerasan fisik seringkali mengalami kesulitan untuk pulih dan kembali menjalani kehidupan normal.

Kekerasan verbal, seperti penghinaan, intimidasi, dan ancaman, seringkali dianggap sepele tetapi memiliki dampak yang sangat merusak. Korban kekerasan verbal dapat mengalami penurunan harga diri, depresi, dan kecemasan.

Dalam jangka panjang, kekerasan verbal dapat memicu masalah kesehatan mental yang lebih serius. Kasus kekerasan verbal sering terjadi di tempat kerja, sekolah, dan dalam hubungan interpersonal.

Kekerasan berbasis gender, terutama terhadap perempuan dan anak perempuan, adalah masalah global yang mendesak. Kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, dan perkawinan anak adalah beberapa contoh kasus yang sering terjadi.

Kekerasan berbasis gender tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga menghambat pembangunan dan kemajuan suatu negara.

Perkembangan teknologi digital telah membuka peluang baru untuk melakukan kekerasan. Cyberbullying, ancaman online, dan penyebaran konten yang bersifat menghina atau memalukan adalah beberapa bentuk kekerasan di dunia maya yang semakin marak.

Kekerasan di dunia maya dapat menyebabkan korban mengalami depresi, kecemasan, dan bahkan keinginan untuk bunuh diri.

Kekerasan struktural adalah bentuk kekerasan yang sistematis dan tertanam dalam sistem sosial, ekonomi, dan politik. Diskriminasi, ketidakadilan, dan eksploitasi adalah contoh dari kekerasan struktural.

Kekerasan struktural sering kali sulit diidentifikasi karena bersifat sistemik dan tidak selalu melibatkan tindakan kekerasan fisik yang langsung.

Hal yang menjadi alasan seseorang atau sekelompok orang melakukan kekerasan sudah jadi pengetahuan umum bagi kita. Pengalaman traumatis di masa lalu, seperti kekerasan fisik, seksual, atau emosional, dapat meningkatkan risiko seseorang menjadi pelaku atau korban kekerasan.

Korelasi antara gangguan mental seperti gangguan kepribadian antisosial, gangguan bipolar, skizofrenia, konsumsi narkoba dan alkohol juga memicu tindak kekerasan ini.

Namun, jika sebab musabab kekerasan ini sudah kita pahami, lantas mengapa persentasenya bukannya menurun, justru malah melonjak kian waktu?

Jawabannya adalah karena kita terlalu takut untuk memperoleh risiko, bahaya, atau ancaman ketika terlibat dengan kasus kekerasan ini, apalagi jika hukum yang seharusnya melindungi kita malah menjadi bumerang bagi kita sendiri.

Ketakutan ini bukan tanpa alasan. Masyarakat sering kali merasa tidak aman untuk melaporkan kasus kekerasan karena berbagai alasan, mulai dari ancaman fisik dari pelaku atau kelompoknya, hingga kekhawatiran akan stigma sosial dan perlakuan diskriminatif.

Proses hukum yang panjang dan berbelit-belit, serta kurangnya jaminan perlindungan bagi saksi dan korban, semakin memperparah situasi.

Bahkan, dalam beberapa kasus, korban justru mengalami viktimisasi sekunder, mereka harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan dan menyalahkan korban. Hal ini tentu saja membuat banyak orang enggan untuk bersuara dan mencari keadilan.

Tantangan lain yang cukup besar dalam upaya memberantas kekerasan adalah stigma sosial yang melekat pada korban.

Korban kekerasan sering kali mengalami viktimisasi sekunder, mereka justru disalahkan atau dipermalukan atas apa yang telah terjadi pada mereka. Hal ini membuat banyak korban enggan untuk melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya.

Lingkungan yang toksik dan tidak sehat masih menjadi akar masalah kasus kekerasan. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan seperti ini sering kali menjadi korban kekerasan fisik, emosional, atau seksual.

Trauma yang mereka alami dapat menyebabkan mereka tumbuh menjadi individu yang kasar, agresif, atau bahkan menjadi pelaku kekerasan terhadap orang lain. Dengan demikian, siklus kekerasan terus berputar dari generasi ke generasi.

Hari Anti-Kekerasan Internasional ini mengajak kita untuk merenung dan bertanya pada diri sendiri: Apa yang telah kita lakukan untuk mencegah dan mengatasi kekerasan? Bagaimana kita dapat berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif bagi semua orang?

Sebagai individu, kita memiliki peran yang sangat penting dalam upaya memberantas kekerasan. Kita dapat mulai dengan melakukan tindakan kecil, seperti menghentikan perundungan, berbicara menentang kekerasan, dan mendukung korban.

Hari Anti-Kekerasan Internasional menjadi pengingat bagi kita semua tentang pentingnya menciptakan dunia yang bebas dari kekerasan. Di era digital, tantangan untuk mewujudkan perdamaian semakin kompleks.

Namun, dengan kerja sama yang baik antara pemerintah, perusahaan teknologi, masyarakat, dan keluarga, kita dapat menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi semua orang.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Christina Natalia Setyawati