Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk membentuk Kementerian Haji dan Umrah serta melantik Mochamad Irfan Yusuf sebagai menterinya memang tampak sebagai solusi revolusioner.
Namun, jika dicermati lebih dalam, langkah ini justru bisa menjadi langkah mundur yang berisiko dalam upaya reformasi birokrasi di Indonesia.
Alih-alih merampingkan dan mengintegrasikan layanan, kebijakan ini justru berpotensi menciptakan masalah baru dan duplikasi birokrasi yang tidak efisien.
Selama ini, kritik terhadap pengelolaan haji memang selalu berpusat pada Kementerian Agama (Kemenag). Mulai dari antrean keberangkatan yang mengular hingga dugaan pungli dan korupsi, semua sorotan tertuju pada Kemenag.
Namun, apakah solusi terbaiknya adalah dengan "memotong" salah satu kewenangan terpenting dari Kemenag? Pertanyaan ini menjadi krusial karena pemerintah seolah menyerah untuk membenahi masalah dari akarnya.
Pemisahan urusan haji dan umrah ini dapat diinterpretasikan sebagai indikasi ketidakmampuan pemerintah untuk mengatasi kompleksitas birokrasi yang sudah ada.
Mengapa tidak fokus pada reformasi internal Kemenag agar lebih transparan dan akuntabel? Padahal, Kemenag memiliki peran historis yang sangat vital dalam menjaga harmoni antarumat beragama di Indonesia.
Dengan memisahkannya, ada kekhawatiran bahwa Kemenag akan kehilangan sebagian dari kekuatannya, dan urusan haji akan menjadi entitas tersendiri yang mungkin terisolasi dari koordinasi yang lebih luas.
Pembentukan kementerian baru ini secara langsung membuka pintu lebar-lebar bagi duplikasi kewenangan dan tumpang tindih kebijakan. Urusan haji tidak dapat berdiri sendiri. Ia sangat bergantung pada koordinasi dengan berbagai kementerian dan lembaga lain.
Sebagai contoh, diplomasi dengan Arab Saudi tetap menjadi kewenangan Kementerian Luar Negeri. Layanan kesehatan jemaah ada di bawah Kementerian Kesehatan. Dan yang paling penting, pengelolaan dana haji dipegang oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), sebuah lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Dengan adanya dua lembaga utama yang mengurus haji—Kementerian Haji dan BPKH—potensi gesekan dan tarik-menarik kepentingan sangatlah besar.
Siapa yang akan memiliki wewenang lebih besar dalam menentukan biaya haji? Siapa yang bertanggung jawab penuh jika terjadi masalah di lapangan, apakah itu masalah operasional atau finansial?
Tanpa mekanisme koordinasi yang jelas dan kuat, kementerian baru ini bisa menjadi "macan ompong" yang tidak memiliki kekuatan penuh, sementara BPKH tetap menjadi pemegang kunci utama: keuangan.
Selain itu, pembentukan kementerian baru juga berimplikasi pada peningkatan anggaran belanja negara. Di tengah kondisi ekonomi yang penuh tantangan, langkah ini bisa dipandang sebagai pemborosan, bukan efisiensi.
Gaji menteri, staf, operasional kantor, dan fasilitas pendukung lainnya akan membebani kas negara, yang seharusnya bisa dialokasikan untuk program lain yang lebih mendesak.
Dari sudut pandang ini, pembentukan Kementerian Haji dan Umrah bukanlah solusi jangka panjang, melainkan sebuah jalan pintas politis yang berisiko tinggi.
Alih-alih menuntaskan masalah birokrasi haji secara fundamental, pemerintah justru menciptakan lembaga baru yang berpotensi menjadi ajang rebutan kewenangan dan anggaran.
Tantangan sebenarnya adalah bagaimana membuat Kemenag dan BPKH bekerja lebih baik dan transparan, bukan dengan memecah-mecah tanggung jawab.
Langkah ini hanya akan berhasil jika Gus Irfan, sang menteri baru, mampu memangkas birokrasi yang sudah ada dan berkoordinasi dengan sangat efektif.
Jika tidak, kementerian baru ini hanya akan menambah kerumitan birokrasi dan tidak memberikan dampak signifikan bagi perbaikan layanan haji bagi seluruh rakyat Indonesia.
Baca Juga
-
Aksi Nyata PENGMAS Perma AGT FP Unila di Panti Asuhan Ruwa Jurai
-
Kesejahteraan Guru Terancam? Menag Bilang 'Cari Uang, Jangan Jadi Guru!'
-
Diksi Pejabat Tidak Santun: Ini Alasan Pentingnya Mapel Bahasa Indonesia
-
Jolly Roger Serial One Piece Jadi Peringatan Kesekian untuk Pemerintah
-
Rekening 'Tidur' Dibangunkan Paksa PPATK Bikin Rakyat Resah
Artikel Terkait
-
Iklan Pemerintah di Bioskop: Antara Transparansi dan Propaganda
-
Teka-teki Menko Polkam Baru: Nama Mahfud MD hingga Letjen Purn. Djamari Chaniago Mencuat
-
Surat Terbuka Susi Pudjiastuti untuk Prabowo Soal Tambang Nikel Raja Ampat: Mohon Hentikan, Pak...
-
Beredar Surat Pernyataan Makan Bergizi Gratis, Orangtua Disuruh Tanggung Risiko Keracunan
-
Prabowo Segera Terbitkan Keppres, Komisi Reformasi Polri Bukan Cuma Omon-omon?
Kolom
-
Saat Podcast Jadi Pilihan Belajar, Apa yang Hilang dari Televisi?
-
Antara Guru dan Chatbot: Wajah Baru Pendidikan di Era AI
-
Influencer vs Aparat Negara: Siapa yang Lebih Berkuasa di Era Digital?
-
Bebas Pajak Bagi Pekerja Rp10 Juta ke Bawah: Kado Manis atau Ilusi?
-
Ketika Nilai Jadi Segalanya, Apa Kabar Kreativitas Anak?
Terkini
-
Review Film DollHouse: Ketika Boneka Jadi Simbol Trauma yang Kelam
-
5 Prompt AI Viral: Ubah Fotomu Jadi Anime, Bareng Idol K-Pop, Sampai Action Figure
-
Demo Ojol 17 September: Sebagian Driver Menolak Ikut, Curiga Ditunggangi Kepentingan Politik
-
SKCK Mati Lama Bisa Diperpanjang? Ini Penjelasan Lengkap dan Ketentuannya
-
Diadaptasi dari Light Novel, Anime Victoria of Many Faces Kini Diproduksi