Di tengah hiruk pikuk perkotaan yang semakin padat, keberadaan pejalan kaki sering kali terlupakan. Minimnya fasilitas pedestrian yang layak, seperti trotoar dan penerangan jalan, membuat aktivitas berjalan kaki menjadi perjuangan yang melelahkan dan penuh risiko.
Bayangkan saja, bagaimana seorang pejalan kaki harus berjuang untuk mendapatkan ruang yang aman di jalan raya yang didominasi kendaraan bermotor?
Sudah menjadi rahasia umum bahwa menjadi pejalan kaki di beberapa kota-kota besar, khususnya di Indonesia, adalah sebuah tantangan tersendiri.
Ketiadaan trotoar yang layak, minimnya penerangan jalan, dan maraknya pedagang kaki lima yang berjualan di atas trotoar membuat aktivitas berjalan kaki menjadi tidak nyaman dan bahkan membahayakan.
Trotoar seharusnya menjadi ruang publik yang diperuntukkan khusus bagi pejalan kaki. Namun, realita yang kita hadapi saat ini sangat jauh dari harapan.
Banyak trotoar yang kondisinya memprihatinkan, rusak, tidak rata, dan bahkan tidak ada sama sekali. Lebih parahnya lagi, trotoar yang ada sering kali dimanfaatkan untuk kepentingan lain, seperti tempat parkir kendaraan, berjualan, atau bahkan dijadikan tempat berkumpul.
Akibatnya, pejalan kaki terpaksa harus berbagi ruang dengan kendaraan bermotor atau berdesakan dengan para pedagang.
Kondisi trotoar yang tidak memadai dan dipenuhi pedagang kaki lima menciptakan lingkungan yang sangat berbahaya bagi pejalan kaki.
Ketiadaan trotoar yang layak memaksa pejalan kaki harus berbagi ruang dengan kendaraan bermotor di bahu jalan, meningkatkan risiko kecelakaan lalu lintas yang serius.
Lubang-lubang dan permukaan trotoar yang tidak rata juga menjadi ancaman tersendiri, terutama saat cuaca hujan. Pejalan kaki dapat dengan mudah terpeleset atau terjatuh dan mengalami cedera.
Lebih jauh lagi, kondisi trotoar yang tidak layak juga dapat menghambat mobilitas masyarakat, terutama bagi kelompok rentan seperti lansia, anak-anak, dan orang dengan disabilitas.
Mereka akan kesulitan untuk berjalan kaki dan beraktivitas di luar rumah. Hal ini dapat mengurangi kualitas hidup mereka dan mempersempit ruang gerak mereka dalam berpartisipasi dalam kegiatan sosial.
Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat berdampak pada citra kota. Kota yang tidak ramah bagi pejalan kaki akan sulit menarik minat wisatawan dan investor.
Selain itu, kondisi ini juga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi lokal karena mengurangi aktivitas ekonomi yang berbasis pada mobilitas pejalan kaki.
Minimnya penerangan jalan juga menjadi masalah serius bagi pejalan kaki. Saat malam hari, jalanan menjadi gelap gulita, sehingga pejalan kaki sulit melihat lubang, rintangan, atau kendaraan yang datang dari arah berlawanan. Kondisi ini meningkatkan risiko kecelakaan lalu lintas, terutama bagi pejalan kaki yang sedang menyeberang jalan.
Masalah ini bukan hanya sekadar ketidaknyamanan semata, tetapi juga memiliki dampak yang lebih luas. Ketika pejalan kaki merasa tidak aman dan nyaman, mereka akan enggan untuk berjalan kaki.
Padahal, berjalan kaki memiliki banyak manfaat bagi kesehatan, seperti mengurangi risiko penyakit jantung, diabetes, dan obesitas. Selain itu, berjalan kaki juga dapat mengurangi kemacetan lalu lintas dan polusi udara.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak. Pemerintah daerah harus berkomitmen untuk menyediakan fasilitas pedestrian yang layak, seperti membangun trotoar yang lebar, rata, dan bebas dari hambatan, serta meningkatkan jumlah dan kualitas penerangan jalan.
Selain itu, masyarakat juga perlu didorong untuk lebih menghargai hak pejalan kaki dan menaati peraturan lalu lintas.
Sudah terlalu lama pejalan kaki menjadi pihak yang termarjinalkan. Sudah saatnya kita mengubah paradigma dan menempatkan pejalan kaki sebagai prioritas utama dalam perencanaan dan pembangunan kota.
Dengan komitmen yang kuat dan kerja sama yang baik, kita dapat menciptakan kota yang benar-benar milik semua orang, termasuk pejalan kaki.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Mapel Coding dan AI untuk SD, Kebijakan FOMO atau Kebutuhan Pendidikan?
-
Imabsi Gelar Kelas Karya Batrasia ke-6, Bahas Repetisi dalam Puisi
-
Magang untuk Cari Pengalaman, tapi Dituntut Punya Pengalaman?
-
Jejak Kolonialisme dalam Tindakan Penjarahan: Jajah Bangsa Sendiri?
-
Adakan PTKO II, Imabsi FKIP Unila Bekali Anggota agar Paham Renstra dan LPJ
Artikel Terkait
-
RK Puji Anies Bikin Trotoar Sudirman-Thamrin Keren, Tapi Banyak Kampung Kondisinya Jomplang
-
Jika Menang Pilkada, Pramono Janji Buka Taman-taman Jakarta 24 Jam Nonstop: PKL Boleh Dagang!
-
Janji Beri PKL di Jakarta Kelonggaran tapi Tetap Diatur, Pramono: Menata Kota Gak Bisa Bim-Salabim Selesai
-
Studi Baru: Jalan Kaki 10 Menit Per Jam Bisa Turunkan Tekanan Darah!
-
Jalan Kaki Tingkatkan Harapan Hidup hingga 11 Tahun, Ini Hasil Penelitian Terbaru
Kolom
-
Trend Lagu Viral, Bagaimana Gen Z Memengaruhi Industri Musik Kian Populer?
-
Usai Kemenangan Telak di Pilpres AS, Apa yang Diharapkan Pendukung Donald Trump?
-
Standar Nikah Muda dan Mengapa Angka Perceraian Semakin Tinggi?
-
Indonesia vs Arab Saudi: Mencoba Memahami Makna di Balik Selebrasi Seorang Marselino Ferdinan
-
Matematika Dasar yang Terabaikan: Mengapa Banyak Anak SMA Gagap Menghitung?
Terkini
-
Strategi Mengelola Waktu Bermain Gadget Anak sebagai Kunci Kesehatan Mental
-
Cetak 2 Gol, Bukti "Anak Emas" Tak Sekadar Julukan bagi Marselino Ferdinan
-
Nissa Sabyan dan Ayus Resmi Menikah Sejak Juli 2024, Mahar Emas 3 Gram dan Uang 200 Ribu
-
Ulasan Buku Sabar, Syukur, dan Ikhlas: Kunci Sukses Bahagia Dunia Akhirat
-
Spoiler! Hunter X Hunter Chapter 403: Balsamilco vs Pangeran Halkenburg