Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Luthfiyatul Muniroh
Ilustrasi AI (Pexels/Pavel_Danilyuk)

Era digital telah mengubah wajah dunia, dan pendidikan tidak terlewat dari transformasi ini. Teknologi hadir sebagai alat bantu yang luar biasa, membuka akses informasi dan metode pembelajaran yang inovatif. Namun, di balik pesona kemajuan ini, terbersit pertanyaan mendasar: apakah kita sedang mendidik robot atau manusia?

Di satu sisi, teknologi telah melahirkan metode pembelajaran yang revolusioner. Platform online, aplikasi pembelajaran, dan akses informasi tanpa batas memudahkan siswa untuk belajar kapan saja dan di mana saja. Namun, di balik kemudahan ini, terdapat risiko terperangkap dalam "pengetahuan tanpa pemahaman".

Pendidikan di era digital cenderung memprioritaskan penguasaan keterampilan teknis. Siswa diberi pelatihan untuk menggunakan perangkat lunak, membuat program, dan mengakses informasi secara efisien.

Keterampilan kritis, kreativitas, dan kemampuan menyelesaikan masalah, yang merupakan fitur unik manusia, sering diabaikan. Dilema ini semakin terasa ketika kita melihat perkembangan kecerdasan buatan (AI).

AI memiliki kemampuan untuk meniru kemampuan manusia di berbagai bidang, termasuk dalam bidang pendidikan. Berbagai inovasi dalam pendidikan seperti robot pengajar, sistem pembelajaran adaptif, dan penilaian otomatis semakin populer. Pertanyaannya, apakah AI dapat menggantikan peran guru manusia?

Pendidikan bukan hanya tentang transfer pengetahuan, tetapi juga tentang pembentukan karakter, nilai, dan etika. Peran guru manusia sangat penting dalam membimbing siswa, membangun hubungan interpersonal, dan menumbuhkan rasa empati. AI, walaupun canggih, masih belum bisa menandingi peran guru dalam hal ini.

Tantangannya sekarang adalah mencari keseimbangan antara penggunaan teknologi dengan nilai-nilai kemanusiaan. Kita harus memastikan pendidikan di era digital tidak hanya menghasilkan individu yang mahir secara teknis, tetapi juga memiliki kecerdasan emosional, etika, dan kemampuan berpikir kritis.

Pendidikan di era digital harus fokus pada manusia. Perlu dikembangkan kurikulum yang mengintegrasikan pengetahuan dan nilai-nilai luhur serta mendorong pengembangan kemampuan berpikir kreatif, kritis, dan inovatif.

Guru perlu memiliki keterampilan digital dan pedagogi yang tepat untuk memanfaatkan teknologi dengan baik dalam proses belajar mengajar. Mendidik robot atau manusia adalah dilema yang kompleks dan memerlukan pertimbangan yang cermat.

Kita perlu menemukan keseimbangan antara pemanfaatan teknologi dan pengembangan potensi manusia secara holistik. Pendidikan harus menciptakan individu yang cerdas, berakhlak mulia, dan siap menghadapi masa depan. Namun, kita harus menghindari terjebak dalam romantika masa lalu.

Teknologi bukanlah lawan, tetapi merupakan alat bantu yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang lebih mulia. Tantangannya adalah bagaimana kita menggunakan teknologi dengan bijak, tanpa melupakan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi pondasi pendidikan.

Kita perlu merumuskan strategi pendidikan yang mengintegrasikan teknologi tanpa mengorbankan esensi kemanusiaan. Fokus kurikulum pada pengembangan karakter, pemikiran kritis, dan kreativitas, serta peran guru dalam mendukung dan membimbing, penting untuk menciptakan generasi yang siap menghadapi era digital.

Pertanyaannya adalah, apakah kita akan mendidik robot atau manusia? Jawabannya tergantung pada kemampuan kita dalam menggunakan teknologi dengan bijaksana, serta menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk mengembangkan manusia yang pintar, berbudi pekerti luhur, dan siap menghadapi masa depan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Luthfiyatul Muniroh