Bulan Agustus memang identik dengan perayaan kemerdekaan, di bulan ini kita beramai-ramai merayakan hari dimana negara kita terbebas dari penjajahan. Kita memasang bendera merah putih, menghias rumah dan jalanan dengan berbagai dekorasi, hingga mengadakan berbagai macam perlombaan.
Namun, merdeka hari ini seharusnya punya makna yang lebih dari pada itu. Merdeka tidak sebatas kita bebas dari penjajahan, namun juga harus merdeka dari kemiskinan, pengangguran, dan yang tak kalah penting, merdeka dari krisis lingkungan.
Inilah inti dari tema Merdeka untuk Bumi. Kemerdekaan sejatinya tidak bisa lepas dari keberanian kita untuk hidup selaras dengan alam. Merdeka bukan hanya kebebasan politik, tapi juga keberanian memilih jalan hidup yang berpihak pada kelestarian bumi. Keberanian untuk hidup bebas dari bergantung pada energi kotor, dari kebiasaan konsumsi yang boros, dan dari pola pembangunan yang merusak.
Karena bumi yang kita tinggali merupakan warisan yang akan kita berikan pada generasi mendatang. Lalu apakah kita akan memberikan anak cucu kita hutan rindang, laut jernih, dan udara segar, atau justru bumi yang sekarat penuh polusi, bencana, dan beban ekonomi?
Apa jaminannya bumi akan tetap layak dihuni beberapa tahun lagi? Karena kondisi bumi saat ini saja sudah cukup mengkhawatirkan.
Menurut data World Bank pada tahun 2021, negara kita menghasilkan sekitar 18,2 juta ton sampah plastik per tahun, dan ironisnya, hanya 9–11% yang berhasil didaur ulang. Dan sisanya menumpuk di TPA, terbawa ke sungai, dan berserakan di laut.
Bukan hanya itu, yang masih menjadi masalah serius di Indonesia, yaitu deforestasi. Pada 2022 saja, kita sudah kehilangan sekitar 104 ribu hektar hutan (KLHK). Padahal hutan bukan hanya paru-paru dunia, tapi juga benteng terakhir melawan krisis iklim. Jika angka ini terus bertambah, dampaknya bukan hanya pada satwa liar, tetapi juga kehidupan manusia yang sangat bergantung pada keseimbangan ekosistem.
Secara global, ancaman ini tak main-main. Jika tidak dikendalikan, perubahan iklim bisa memicu kerugian ekonomi hingga 23 triliun dolar pada 2050. Itu berarti, akibat kelalaian kita hari ini, generasi masa depan akan menghadapi udara yang lebih panas, cuaca ekstrem, hingga beban ekonomi yang berat.
Negara sebenarnya punya peran besar untuk memastikan arah kebijakan berpihak pada keberlanjutan. Pemerintah Indonesia, misalnya, sudah menargetkan net-zero emission pada 2060 atau lebih cepat. Ada juga program transisi energi, dengan target 23% bauran energi terbarukan pada 2025.
Tapi sayangnya, pelaksanaan program-program tersebut sering kali terhambat oleh kepentingan ekonomi jangka pendek. Di sisi lain, masih banyak proyek tambang, PLTU batu bara, atau izin alih fungsi hutan yang justru memperparah kerusakan. Jadi, kita tidak bisa mengandalkan pemerintah dalam hal ini.
Kita bisa mulai membawa perubahan untuk bumi dari diri sendiri, dari hal-hal sederhana yang dilakukan sehari-hari. Seperti mulai membawa tumbler sendiri, menghemat energi di rumah, sampai mengurangi belanja fast fashion.
Ubah pola pikir kita, dari yang semula “pakai lalu buang” menjadi “pakai lalu rawat.” Dari gaya hidup konsumtif yang boros menjadi gaya hidup berkelanjutan yang lebih hemat dan bijak.
Karena, apa yang kita lakukan hari ini akan menentukan apakah anak cucu kita kelak akan hidup di bumi yang layak atau justru penuh bencana.
Merdeka untuk bumi berarti memastikan generasi selanjutnya tetap bisa merdeka menikmati udara segar, air bersih, dan pangan sehat.
Mulailah dari langkah kecil, dukung kebijakan yang berpihak pada lingkungan, dan tanamkan kebiasaan baik pada anak-anak sejak dini. Sebab bumi bukan warisan untuk kita habiskan, melainkan titipan yang harus kita kembalikan dalam keadaan lebih baik.
Baca Juga
-
Judicial Review: Strategi Politik Menghindari Tanggung Jawab Legislasi
-
Banjir Bukan Takdir: Mengapa Kita Terjebak dalam Tradisi Musiman Bencana?
-
Pasal 16 RKUHAP: Bahaya Operasi Undercover Buy Merambah Semua Tindak Pidana
-
Revisi KUHAP: Jurang Baru Antara Kewenangan Aparat dan Hak Warga Negara
-
Partisipasi Publik Palsu: Strategi Komunikasi di Balik Pengesahan Revisi KUHAP
Artikel Terkait
Kolom
-
Masalahnya Bukan di Netflix, tapi di Literasi Digital Kita
-
Mengapa Remaja Perempuan Jadi Target Favorit Kekerasan Digital? Yuk Simak!
-
Eco-Anxiety Bukan Penyakit: Saat Kecemasan Iklim Menggerakkan Perubahan
-
Antara Keluarga dan Masa Depan, Dilema Tak Berujung Sandwich Generation
-
Judicial Review: Strategi Politik Menghindari Tanggung Jawab Legislasi
Terkini
-
Comeback Solo Lewat Lagu Saturday Preacher, Cha Eun Woo Ungkap Sisi Liar
-
4 Inspirasi Gaya Simpel ala Park Ji Hu, Cocok untuk Daily Outfit Anti Ribet
-
Wajib Masuk Watchlist! 4 Rekomendasi Anime Rock dengan Musiknya Bikin Candu
-
Bukan Cuma Flu Biasa, Virus RSV Bisa Jadi 'Pembunuh' Senyap bagi Bayi Prematur
-
Mengerikan dan Penuh Misteri! Intip Trailer Baru Film Return to Silent Hill