Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Sherly Azizah
ilustrasi surat untuk presiden [pexels/Nur Yilmaz]

Yang Terhormat Bapak Presiden Jokowi,

Izinkan saya, seorang calon lulusan yang penuh harapan, menyampaikan sepucuk surat sebagai bentuk apresiasi sekaligus refleksi atas kepemimpinan Bapak selama 10 tahun terakhir. Saya sungguh mengagumi berbagai pencapaian yang Bapak raih, mulai dari pembangunan infrastruktur megah, jalan tol yang membelah pulau, hingga bandara baru yang katanya siap menyambut turis. Saya juga berterima kasih karena Bapak telah memberikan kami kartu KIP-Kuliah, yang sedikit banyak membantu biaya pendidikan. Tak lupa, Bapak juga kerap menyampaikan bahwa pendidikan adalah investasi terbaik bangsa—saya setuju sekali, Pak.

Namun, setelah toga dipakai dan ijazah di tangan, kenyataan di dunia kerja ternyata berbeda. Sulit, Pak, sungguh sulit. Terlalu banyak calon lulusan, tapi pekerjaan tak seberapa banyak. Kesenjangan antara pendidikan dan kebutuhan industri membuat saya bingung. Mau jadi pengangguran bertitel, atau kerja seadanya saja? Sungguh dilema.

Mengapa Banyak Lulusan, tapi Sedikit Pekerjaan?

Indonesia sekarang ini seperti pasar loak ijazah, Pak. Lulusan baru bertebaran di mana-mana, tapi yang nyari pekerja seolah bersembunyi. Meski banyak perguruan tinggi membuka berbagai program studi, tak sedikit dari saya dan teman-teman yang merasa jurusan kami tak relevan dengan kebutuhan industri. Pendidikan tinggi telah menjadi ladang bisnis, tapi kurikulumnya masih seperti catatan sejarah masa lalu, ketinggalan zaman. Akibatnya, banyak dari kami akhirnya terjebak di "lingkaran setan magang" yang tak berkesudahan.

Lebih parah lagi, banyak perusahaan menuntut pengalaman kerja minimal tiga tahun untuk posisi entry-level. Saya belum lulus sudah diminta pengalaman kerja, lantas kapan dapat kesempatan belajar dan berkembang? Ini ibaratnya, Pak, saya diminta menangkap ikan dengan syarat harus punya kolam sendiri dulu. Ironis, kan?

Kurikulum, Kamu Sudah Lama Kudet!

Pak, tahu nggak kalau banyak dari saya dan teman-teman merasa pelajaran yang kami terima lebih mirip pelatihan masa lalu ketimbang persiapan menghadapi tantangan masa depan? Kurikulum saat ini masih lebih sibuk dengan teori-teori usang yang sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan industri yang serba cepat. Sementara itu, dunia teknologi berkembang pesat, tapi pelajaran di kampus masih stuck di "belajar komputer dasar" seperti mengetik dan memformat dokumen. Pak, era sekarang itu butuh coding, AI, dan digital marketing—kapan pendidikan kita bakal ke situ?

Sebaiknya pemerintah dan kampus berkolaborasi untuk meng-update kurikulum sesuai kebutuhan dunia kerja modern. Kalau tidak, saya takut gelar sarjana ini hanya akan jadi sekadar hiasan di dinding, bukan penentu masa depan.

Magang: Sarana Belajar atau Eksploitasi Terselubung?

Pak, saya ingin curhat sedikit soal magang. Jujur saja, saya senang mendengar cerita dari teman saya yang bisa magang karena itu kesempatan untuk belajar di dunia nyata. Tapi banyak yang merasakan, magang lebih sering jadi ajang eksploitasi tenaga murah daripada tempat belajar yang sesungguhnya. Teman saya sering kali disuruh kerja layaknya karyawan tetap, tapi bayaran ala kadarnya, kadang bahkan cuma modal makan siang. Kamu, yang sedang baca ini, relate apa nggak?

Kalau magang memang mau jadi syarat lulus, tolonglah diperhatikan standar dan regulasinya. Teman saya mengeluh ingin magang yang betul-betul memberikan pengalaman berharga, bukan sekadar pelengkap administrasi kampus. Jadi, saat nanti masuk dunia kerja sesungguhnya, dia sudah siap dengan kompetensi yang sesuai, bukan hanya kelelahan karena pernah kerja "gratis."

Harapan untuk Pemimpin Selanjutnya

Pak, terima kasih sudah mengabdi untuk negeri selama ini. Namun, saat masa jabatan Bapak berakhir, saya berharap pemimpin berikutnya, Bapak Prabowo, dapat lebih fokus memperbaiki sektor pendidikan dan tenaga kerja. Saya ingin ada pemimpin yang bukan hanya membangun infrastruktur fisik, tapi juga infrastruktur sumber daya manusia, dengan menyediakan pendidikan yang relevan dan peluang kerja yang lebih nyata bagi generasi muda.

Saya percaya, jika pendidikan dan kesempatan kerja disinkronkan dengan baik, maka masa depan saya dan jutaan calon lulusan lainnya akan lebih cerah. Kami siap bersaing dan berkontribusi, asal diberi peluang yang layak, Pak.

Salam hormat,

Calon Lulusan yang Berharap Masa Depan Lebih Cerah

Sherly Azizah