Yang Terhormat Bapak Presiden Jokowi,
Izinkan saya, seorang calon lulusan yang penuh harapan, menyampaikan sepucuk surat sebagai bentuk apresiasi sekaligus refleksi atas kepemimpinan Bapak selama 10 tahun terakhir. Saya sungguh mengagumi berbagai pencapaian yang Bapak raih, mulai dari pembangunan infrastruktur megah, jalan tol yang membelah pulau, hingga bandara baru yang katanya siap menyambut turis. Saya juga berterima kasih karena Bapak telah memberikan kami kartu KIP-Kuliah, yang sedikit banyak membantu biaya pendidikan. Tak lupa, Bapak juga kerap menyampaikan bahwa pendidikan adalah investasi terbaik bangsa—saya setuju sekali, Pak.
Namun, setelah toga dipakai dan ijazah di tangan, kenyataan di dunia kerja ternyata berbeda. Sulit, Pak, sungguh sulit. Terlalu banyak calon lulusan, tapi pekerjaan tak seberapa banyak. Kesenjangan antara pendidikan dan kebutuhan industri membuat saya bingung. Mau jadi pengangguran bertitel, atau kerja seadanya saja? Sungguh dilema.
Mengapa Banyak Lulusan, tapi Sedikit Pekerjaan?
Indonesia sekarang ini seperti pasar loak ijazah, Pak. Lulusan baru bertebaran di mana-mana, tapi yang nyari pekerja seolah bersembunyi. Meski banyak perguruan tinggi membuka berbagai program studi, tak sedikit dari saya dan teman-teman yang merasa jurusan kami tak relevan dengan kebutuhan industri. Pendidikan tinggi telah menjadi ladang bisnis, tapi kurikulumnya masih seperti catatan sejarah masa lalu, ketinggalan zaman. Akibatnya, banyak dari kami akhirnya terjebak di "lingkaran setan magang" yang tak berkesudahan.
Lebih parah lagi, banyak perusahaan menuntut pengalaman kerja minimal tiga tahun untuk posisi entry-level. Saya belum lulus sudah diminta pengalaman kerja, lantas kapan dapat kesempatan belajar dan berkembang? Ini ibaratnya, Pak, saya diminta menangkap ikan dengan syarat harus punya kolam sendiri dulu. Ironis, kan?
Kurikulum, Kamu Sudah Lama Kudet!
Pak, tahu nggak kalau banyak dari saya dan teman-teman merasa pelajaran yang kami terima lebih mirip pelatihan masa lalu ketimbang persiapan menghadapi tantangan masa depan? Kurikulum saat ini masih lebih sibuk dengan teori-teori usang yang sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan industri yang serba cepat. Sementara itu, dunia teknologi berkembang pesat, tapi pelajaran di kampus masih stuck di "belajar komputer dasar" seperti mengetik dan memformat dokumen. Pak, era sekarang itu butuh coding, AI, dan digital marketing—kapan pendidikan kita bakal ke situ?
Sebaiknya pemerintah dan kampus berkolaborasi untuk meng-update kurikulum sesuai kebutuhan dunia kerja modern. Kalau tidak, saya takut gelar sarjana ini hanya akan jadi sekadar hiasan di dinding, bukan penentu masa depan.
Magang: Sarana Belajar atau Eksploitasi Terselubung?
Pak, saya ingin curhat sedikit soal magang. Jujur saja, saya senang mendengar cerita dari teman saya yang bisa magang karena itu kesempatan untuk belajar di dunia nyata. Tapi banyak yang merasakan, magang lebih sering jadi ajang eksploitasi tenaga murah daripada tempat belajar yang sesungguhnya. Teman saya sering kali disuruh kerja layaknya karyawan tetap, tapi bayaran ala kadarnya, kadang bahkan cuma modal makan siang. Kamu, yang sedang baca ini, relate apa nggak?
Kalau magang memang mau jadi syarat lulus, tolonglah diperhatikan standar dan regulasinya. Teman saya mengeluh ingin magang yang betul-betul memberikan pengalaman berharga, bukan sekadar pelengkap administrasi kampus. Jadi, saat nanti masuk dunia kerja sesungguhnya, dia sudah siap dengan kompetensi yang sesuai, bukan hanya kelelahan karena pernah kerja "gratis."
Harapan untuk Pemimpin Selanjutnya
Pak, terima kasih sudah mengabdi untuk negeri selama ini. Namun, saat masa jabatan Bapak berakhir, saya berharap pemimpin berikutnya, Bapak Prabowo, dapat lebih fokus memperbaiki sektor pendidikan dan tenaga kerja. Saya ingin ada pemimpin yang bukan hanya membangun infrastruktur fisik, tapi juga infrastruktur sumber daya manusia, dengan menyediakan pendidikan yang relevan dan peluang kerja yang lebih nyata bagi generasi muda.
Saya percaya, jika pendidikan dan kesempatan kerja disinkronkan dengan baik, maka masa depan saya dan jutaan calon lulusan lainnya akan lebih cerah. Kami siap bersaing dan berkontribusi, asal diberi peluang yang layak, Pak.
Salam hormat,
Calon Lulusan yang Berharap Masa Depan Lebih Cerah
Baca Juga
-
Gen Z Lebih Pilih Sehat Mental Dibanding IPK Cumlaude, Salahkah?
-
Gen Alpha Beda dari Kita! Pola Asuh Zilenial Ubah Segalanya
-
Hormat Bukan Berarti Setuju! Gen Z dan Keberanian Berdialog
-
Ketika Karnaval Jadi Derita! Sound Horeg dan Dampak Nyata untuk Kesehatan
-
AXIS Nation Cup! Tempat Mimpi-Mimpi Liar Pemuda Indonesia Meledak
Artikel Terkait
-
Jelang Lengser, Spanduk Terima Kasih Jokowi Bertebaran di Jalan
-
Panglima TNI Sebar Sniper Dan Antidrone Amankan Ring 1 Pelantikan Presiden
-
Pendidikan: Pilar Kemajuan yang Terabaikan di Tengah Euforia Pembangunan
-
Berapa Gaji Staf Khusus Presiden? Disebut Jabatan Raffi Ahmad di Pemerintahan Prabowo
-
Etika Makan Dengan Konsep Omakase Seperti Erina Gudono, Jangan Lakukan Hal-hal Ini
Kolom
-
Foto Manipulatif AI, Pelecehan Seksual, dan Kegeraman Publik di Era Digital
-
Kencing di Dalam Bioskop, Pentingnya Jaga Adab Ruang Publik
-
Ironi Kebijakan Prabowo: Smart TV Dibeli, Guru Honorer Terlupakan
-
Ketika Buku Dijuluki 'Barang Bukti': Sebuah Ironi di Tengah Krisis Literasi
-
Jago Matematika Disebut Pintar: Kenapa Angka Jadi Ukuran Cerdas di Indonesia?
Terkini
-
Lapangan Kecil, Jangkauan Besar: Futsal di Dunia Digital
-
Veil oleh Taemin SHINee: Terjebak dalam Dunia Penuh Hasrat dan Godaan
-
4 Serum Mandelic Acid Eksfoliasi Kulit Kasar dengan Lembut Tanpa Iritasi
-
Erick Thohir Jadi Menpora, Sebuah Keuntungan atau Kerugian bagi PSSI?
-
Erick Thohir Dilantik Jadi Menpora, Apa Kabar PSSI?