Sekar Anindyah Lamase | Angelia Cipta RN
Ilustrasi Hutan Mangrove dan Kehidupan Nelayan (Pexels/Thien Le Duy)
Angelia Cipta RN

Di pesisir, waktu berjalan dengan ritme yang berbeda. Ombak datang dan pergi tanpa tergesa, pasang surut tidak pernah bisa dipercepat, dan mangrove tumbuh perlahan, nyaris tanpa suara.

Namun justru di ruang hidup yang sabar inilah manusia sering gagal bersabar. Kita ingin hasil cepat, perubahan instan, dan keuntungan yang bisa dihitung dalam hitungan bulan, sementara alam bekerja dalam hitungan tahun. Ketidaksabaran inilah yang menjadi akar dari banyak kerusakan pesisir hari ini.

Mangrove bukan tanaman biasa. Ia adalah benteng alami yang menahan abrasi, menyaring limbah, dan menjadi rumah bagi berbagai biota laut. Namun manfaat itu tidak muncul semalam.

Mangrove butuh waktu bertahun-tahun untuk akarnya benar-benar mencengkeram tanah, membentuk ekosistem, dan memberi perlindungan nyata. Masalahnya, manusia hidup dalam logika yang berlawanan.

Kita menanam hari ini dan berharap hasil besok. Ketika hasil tidak segera terlihat, mangrove dianggap gagal, lalu ditebang, diganti tambak, atau ditinggalkan begitu saja.

Kasus Mangrove Rusak, Pesisir Dalam Lampu Darurat

Contoh paling nyata bisa dilihat di wilayah pesisir Demak, Jawa Tengah, seperti Desa Bedono. Dahulu kawasan ini memiliki mangrove yang cukup rapat, tetapi penebangan besar-besaran untuk tambak udang membuat garis pantai terus mundur.

Rumah-rumah tenggelam, lahan pertanian hilang, dan warga terpaksa pindah. Ironisnya, setelah abrasi parah terjadi, solusi yang ditawarkan kembali pada mangrove. Namun banyak pihak lupa bahwa mangrove yang ditanam hari ini tidak bisa langsung menghentikan ombak besok. Alam meminta waktu yang dulu tidak kita berikan.

Pentingnya Tanaman Mangrove Bagi Keberlanjutan Pesisir

Pelajaran serupa juga terlihat di Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Kawasan ini memiliki salah satu ekosistem mangrove terluas di Indonesia, tetapi eksploitasi tambak skala besar telah merusak keseimbangan ekologisnya.

Ketika produksi menurun dan lahan rusak, banyak tambak ditinggalkan begitu saja, menyisakan tanah mati. Mangrove yang dulu ditebang, kini diharapkan tumbuh kembali secara instan, seolah alam bisa disuruh memperbaiki kesalahan manusia dengan cepat. Padahal, memulihkan ekosistem membutuhkan kesabaran yang konsisten, bukan penyesalan yang terlambat.

Berbeda dengan pendekatan seremonial, beberapa daerah menunjukkan bahwa kesabaran bisa membuahkan hasil nyata. Di Tahura Ngurah Rai, Bali, rehabilitasi mangrove dilakukan bertahap dan berkelanjutan sejak awal 2025 kemarin.

Tidak hanya menanam, tetapi juga merawat, melindungi dari alih fungsi lahan, dan melibatkan masyarakat sekitar. Hasilnya tidak langsung spektakuler, tetapi perlahan ekosistem pulih, abrasi berkurang, dan kawasan itu menjadi ruang hidup sekaligus ruang belajar. Keberhasilan ini bukan karena proyek besar, melainkan karena konsistensi jangka panjang.

Di Papua, Teluk Bintuni dikenal memiliki hutan mangrove yang masih relatif terjaga. Masyarakat adat setempat memanfaatkan mangrove secara terbatas, tanpa merusaknya. Mereka memahami bahwa mengambil terlalu banyak hari ini berarti kehilangan sumber hidup di masa depan.

Pengetahuan ini tidak lahir dari teori modern, tetapi dari pengalaman hidup yang diwariskan lintas generasi. Dari sini kita belajar bahwa kesabaran bukan kelemahan, melainkan strategi bertahan hidup.

Sayangnya, pendekatan seperti ini sering kalah oleh logika proyek. Banyak program penanaman mangrove dilakukan sekadar untuk laporan dan dokumentasi. Bibit ditanam massal tanpa memperhatikan jenis tanah, arus, atau pasang surut.

Setelah itu ditinggalkan. Ketika bibit mati, alam yang disalahkan, bukan metode yang keliru. Ketidaksabaran kembali menjadi dalih, seolah kegagalan alam lebih mudah diterima daripada kegagalan manusia dalam merawat.

Pesisir sebenarnya menawarkan pelajaran hidup yang sangat jujur. Ia mengajarkan bahwa tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan cepat. Bahwa merawat jauh lebih sulit daripada membangun.

Bahwa solusi sejati menuntut kehadiran, bukan sekadar niat. Mangrove tidak tumbuh untuk kamera, ia tumbuh untuk waktu. Dan waktu tidak bisa dipercepat hanya karena manusia sedang terburu-buru.

Lebih dari isu lingkungan, mangrove adalah cermin relasi manusia dengan alam. Selama kita masih melihat alam sebagai objek yang harus segera memberi keuntungan, kerusakan akan terus berulang.

Namun jika kita mulai melihat alam sebagai mitra hidup yang perlu dirawat dengan sabar, maka perubahan mungkin terjadi, meski pelan. Pesisir mengajarkan bahwa keberlanjutan bukan soal kecepatan, melainkan kesetiaan pada proses.

Pada akhirnya, mangrove mengingatkan kita pada satu hal sederhana tetapi sering diabaikan tidak semua yang berharga tumbuh cepat. Ada hal-hal yang hanya bisa hidup jika dirawat dengan sabar, dijaga dengan konsisten, dan dipercaya meski hasilnya belum terlihat.

Dalam dunia yang serba instan, mungkin pelajaran paling radikal dari pesisir adalah ini belajar menunggu, belajar merawat, dan belajar tidak menyerah pada proses yang lambat.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS