Data dari UNESCO menyebut bahwa Indonesia termasuk negara dengan tingkat literasi rendah, yakni sebesar 0,001%. Artinya, dari sekitar per 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. Lebih lanjut, survei Perpusnas pada 2023 juga menunjukkan bahwa hanya 17,6% masyarakat Indonesia yang memiliki kebiasaan membaca. Sementara itu, apabila ditinjau dari rasio buku, Indonesia pun masih tergolong rendah, yakni sekitar 1:1.000, sehingga setiap 1.000 orang hanya memiliki 1 buku. Bukankah ini mengkhawatirkan?
Padahal, membaca buku--menurut saya--merupakan salah satu hobi dan kegemaran yang menyenangkan. Kita tidak harus membeli ke toko buku, di era digital seperti sekarang sangat memungkinkan untuk mengakses buku dengan mudah. Hanya berbekal gawai, kita bisa membaca buku favorit dari berbagai platform. Selain itu, layanan perpustakaan digital juga semakin memfasilitasi pembaca buku secara daring. Artinya, kemudahan mengakses buku bisa kita rasakan di era sekarang.
Di perkotaan pun juga terdapat perpustakaan daerah. Sementara di wilayah pedesaan, desa dapat menginisiasi taman bacaan untuk kebutuhan pustaka masyarakat. Akan tetapi, di tengah era banjir data dan informasi, serta kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) seperti saat ini, apakah kita masih perlu membaca buku? Mengingat kini kita juga memegang gawai yang cepat memberikan jawaban atas pertanyaan kita. Bila kita ingin mencari tahu suatu hal, cukup memasukkan kata kunci di mesin pencari dan sekian menit kita bisa menggulir halaman untuk membacanya. Terlebih lagi dengan AI, kita cukup memberi perintah mengenai penjelasan suatu hal, dalam hitungan menit akan muncul jawaban yang kita cari. Di sisi lain, kita dapat ibaratkan teknologi layakanya sebuah mata pisau. Ia bisa yang bermanfaat atau justru merugikan kita. Seperti halnya teknologi AI yang juga berpotensi memiliki dampak positif dan negatif bagi perkembangan dunia literasi dan pendidikan.
Mengutip dari Jurnal Universitas Pahlawan (2023), penggunaan teknologi AI yang berlebihan dapat mengakibatkan ketergantungan bagi siswa. Pada gilirannya, dengan adanya kemudahan teknologi AI, menyebabkan beberapa hal seperti malas belajar, menurunnya inisiatif berpikir, hingga menurunkan tingkat literasi siswa. Sebagai sumber pengetahuan membaca buku dapat dikatakan tidak menarik dan cenderung melelahkan. Hal itu mengingat AI memiliki sifat yang instan, sangat memudahkan kita dalam mendapatkan data dan informasi. Bahkan AI dengan cepat menjawab hal-hal yang kita perintahkan.
Nah, Mengapa Membaca Buku Masih Relevan?
Ada istilah living books, yakni "pustaka hidup". Living books sendiri merupakan istilah ikonik dari pakar pendidik Inggris, Charlotte Mason. Lebih lanjut, Mason menyebut buku-buku bermutu atau bergizi dengan living books. Buku bermutu tentu ditulis oleh penulis yang memiliki passion atau gairah terhadap apa yang sedang ditulis. Dari kalimat-kalimatnya juga dapat dirasakan seolah bercerita, tidak menggurui meskipun membahas tentang nilai dan moral. Artinya, membaca buku-buku, terlebih buku living books dapat diibaratkan memberikan asupan nutrisi bagi jiwa kita, atau jiwa anak didik.
Membaca buku-buku di era saat ini tetap menyimpan manfaat yang besar. Beberapa manfaat membaca buku adalah sebagai berikut. Pertama, buku mampu meningkatkan imajinasi kita. Ini terutama saat kita membaca buku fiksi. Kedua, buku mempunyai kekuatan untuk membantu kita mengubah pandangan dan menganalisa sesuatu. Hal itu semakin kaya saat kita membaca berbagai genre dari non fiksi, fiksi, drama, thriller dst. Buku tersebut hadir dengan gaya penceritaan, alur dan perspektif masing-masing. Ketiga, buku dapat membantu membangun kepercayaan diri seseorang. Hal itu jelas karena buku memberikan kita pengetahuan serta modal bagi percakapan sosial. Keempat, membaca buku memiliki berbagai manfaat mental dan fisik. Secara mental, membaca buku membangun rasa empati kita saat terlibat dalam karakter buku. Kehadiran buku secara fisik dan kebiasaan membaca efektif untuk meningkatkan fokus dan ingatan. Kelima, membaca membantu kita dalam meningkatkan kemampuan menulis. Tentu saja, membaca dan menulis adalah hal yang tidak terpisahkan. Melalui proses membaca, kita memperoleh kekayaan pengetahuan sekaligus diksi. Dari situ, kita bisa menuangkan ke dalam tulisan yang mudah dipahami serta kekayaan khasanah kata dan kalimat yang dirangkai.
Living Books: Membaca Buku Untuk Menutrisi Jiwa
Menurut saya, membaca buku di era saat ini tetaplah perlu dan penting sebagai sebuah kebutuhan. Bukan hanya karena kepentingan utama, melainkan sebagai suatu gaya hidup. Di luar kepentingan perkuliahan dan pekerjaan misalnya, saya sendiri menggemari buku sastra karangan penulis perempuan seperti Ayu Utami, Dee Lestari, Leila Chudori dalam berbagai genre baik fiksi ilmiah dan sejarah, sosial dan budaya. Saya merasakan apa manfaat membaca seperti dijelaskan sebelumnya. Bahwa dengan membaca buku, tumbuh rasa empati serta memberikan kita pengetahuan baru dan lebih kaya.
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa dampak negatif Artificial Intelligence (AI) benar adanya terutama pada minat membaca buku masyarakat. Namun demikian, membaca buku masih tetap relevan sebagai sumber ilmu dan pengetahuan. Dibandingkan dengan linimasa internet, ada resiko bahwa pengetahuan atau informasi yang kita peroleh tidak valid atau bahkan termasuk hoaks. Sementara pada buku, proses penulisan buku tentu telah melewati rangkaian pemeriksaan fakta hingga verifikasi, sehingga buku memiliki tingkat kepercayaan yang lebih tinggi. Buku tetap penting dan perlu dibaca, meski internet tersambung dimana-mana, AI bisa kita akses kapanpun.
Selain itu, saya juga menyambut baik kabar bahwa Perpusnas akan menciptakan 10 ribu perpustakaan desa di seluruh Indonesia. Masing-masing perpustakaan direncanakan akan menerima seribu buku beserta rak penyimpanan. Hal itu merupakan tiga program prioritas Perpusnas pada 2024 yang meliputi penguatan budaya baca dan literasi, pengarusutamaan naskah, serta standardisasi dan pembinaan perpustakaan. Hal ini menjadi angin segar, bahwa negara kita memiliki perhatian serius dalam upaya meningkatkan literasi masyarakat.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Tren Media Sosial dan Fenomena Enggan Menikah di Kalangan Anak Muda
-
Calon Kepala Daerah Keluarkan Pernyataan Seksis dan Nuansa Patriarki, Pilkada 2024 Sarat Bias Gender?
-
Menyoal Kriminalisasi Ibu Supriyani: Saatnya Negara Hadir Melindungi Guru
-
Tantangan Pemerintahan Baru dalam Pemerataan Pendidikan di Daerah 3T
-
Pesan untuk Presiden Prabowo: Semoga Swasembada Pangan Bukan Sekadar Angan
Artikel Terkait
-
Strategi BCA Tingkatkan Literasi-Inklusi Keuangan ke Nasabah
-
Bangun Minat Menulis, SMA Negeri 1 Purwakarta Undang Penulis Novel
-
Bacaan Ayat Kursi Tulisan Arab dan Artinya
-
Pembakaran Buku Najwa Shihab: Keruntuhan Literasi dan Strategi Membungkam Kritik Publik
-
AI Diklaim Bisa Bantu Pemerintah Buat Kebijakan yang Tepat dan Responsif
Kolom
-
Tren Media Sosial dan Fenomena Enggan Menikah di Kalangan Anak Muda
-
Mengemis Digital di TikTok: Ketika Harga Diri Menjadi Komoditas
-
Guru dan Masa Depan yang Dikorbankan: Refleksi Profesi yang Terabaikan
-
Soroti Pernyataan Mendikti, Alumni LPDP Tidak Harus Pulang, Setuju Tidak?
-
Menghargai Pekerjaannya, Menghargai Kebutuhannya: Realitas Gaji Guru
Terkini
-
3 Bek Timnas Jepang yang Diprediksi Jadi Tembok Kokoh Saat Jumpa Indonesia
-
Bentala Stella: Bisnis Licik dan Sayuran Gemas 'Pengungkap' Perasaan
-
Dua Ganda Putra Indonesia Gagal Lolos Babak 8 Besar Korea Masters 2024
-
Yuta NCT Off The Mask: Berani Tampil Apa Adanya Tanpa Peduli Omongan Orang
-
Ulasan Buku 'Kitab Kawin', Cerpen Pemenang Singapore Book Awards Tahun 2020