Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Rion Nofrianda
Ilustrasi suasana perpustakaan di kampus (pexels/Pixabay)

Di balik kemegahan akademis Pulau Jawa sebagai magnet pendidikan tinggi, tersembunyi sebuah kisah kompleks yang tak kasat mata namun menyentuh lapisan terdalam dinamika psikologis mahasiswa perantau: culture shock. Di antara megafon promosi kampus dan statistik peningkatan jumlah mahasiswa lintas pulau, suara lirih adaptasi psikososial para pendatang sering kali tak terdengar. Jurnal ilmiah Candrajiwa (Vol. 9 No. 2, 2024) dengan tajuk Hubungan Penyesuaian Diri dan Komunikasi Interpersonal dengan Culture Shock Mahasiswa Baru dari Luar Pulau Jawa hadir sebagai penanda penting yang memaksa kita untuk berhenti sejenak dan mendengar suara-suara itu.

Dikerjakan oleh Usman Nur Wakhid dan Yayah Khisbiyah dari Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), riset ini tidak hanya menawarkan data statistik tentang seberapa banyak mahasiswa mengalami gegar budaya, tetapi lebih dari itu, membedah dengan presisi ilmiah relasi antara penyesuaian diri, komunikasi interpersonal, dan culture shock. Di tengah arus modernitas dan mobilitas pendidikan yang semakin massif, jurnal ini menjadi oase reflektif sekaligus kaca pembesar yang menyorot ketimpangan kesiapan mental dan sosial mahasiswa dalam menghadapi transisi budaya di ranah pendidikan tinggi.

Fenomena mahasiswa dari luar Jawa yang memilih perguruan tinggi di pusat-pusat pendidikan seperti Solo bukanlah hal baru. Dengan lebih dari 50 institusi pendidikan tinggi di kota tersebut, Solo menjadi panggung intelektual nasional. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh Wakhid dan Khisbiyah, tidak semua aktor di panggung ini siap memainkan peran baru dalam lakon budaya yang berbeda.

Transisi dari lingkungan asal ke kehidupan kampus Jawa sering kali menjadi lebih dari sekadar perpindahan geografis. Ia adalah pergeseran sistem nilai, cara berkomunikasi, kebiasaan sosial, bahkan nuansa emosional yang kadang tak terdefinisikan. Para mahasiswa dari luar Jawa bukan hanya berhadapan dengan kurikulum dan tugas akademik, tetapi juga dengan bahasa tubuh yang berbeda, logat asing, selera humor yang tak sama, hingga struktur komunikasi yang bisa jadi bertolak belakang dari budaya asal mereka.

Dari sisi sosiokultural, gegar budaya adalah kenyataan yang nyaris tak terelakkan. Dalam jurnal ini, sekitar 69,5% mahasiswa baru dari luar Jawa mengalami culture shock dalam tingkat tinggi. Ini adalah angka yang harus membuat kampus, masyarakat, dan pengambil kebijakan berhenti membanggakan keragaman tanpa benar-benar mengelola keberagaman itu secara empatik dan sistematis.

Penelitian ini dengan jernih menyatakan bahwa terdapat korelasi negatif yang signifikan antara penyesuaian diri dan culture shock (r = -0,345), serta antara komunikasi interpersonal dan culture shock (r = -0,281). Artinya, makin tinggi tingkat kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dan berkomunikasi secara interpersonal, makin rendah tingkat gegar budaya yang dialaminya.

Namun, mari kita telisik lebih jauh: apakah penyesuaian diri dan komunikasi interpersonal hanya sebuah keterampilan teknis yang bisa diajarkan di ruang kelas? Atau justru ia adalah cerminan dari modal sosial yang secara struktural tidak semua mahasiswa miliki? Misalnya, mahasiswa dari daerah yang lebih homogen secara budaya bisa jadi lebih kesulitan menavigasi komunikasi dengan mahasiswa lokal yang terbiasa dengan multikulturalisme. Di sinilah letak tantangan sosial yang lebih dalam: culture shock bukan hanya peristiwa personal, melainkan juga pengalaman sosial yang berakar pada struktur ketimpangan pengalaman budaya.

Sumbangan efektif penyesuaian diri sebesar 12,2% dan komunikasi interpersonal 8,2% terhadap culture shock, sebagaimana dicatat dalam jurnal ini, menunjukkan bahwa lebih dari 79,6% pengalaman culture shock disebabkan oleh variabel lain yang belum diteliti. Ini menyiratkan bahwa kompleksitas pengalaman gegar budaya tidak bisa disederhanakan menjadi dua variabel utama saja. Ada faktor ekonomi, etnisitas, gender, kelas sosial, bahkan trauma transgenerasional yang barangkali turut menyumbang beban psikososial yang ditanggung mahasiswa perantau.

Mahasiswa perantau, terutama dari luar Jawa, bukan sekadar aktor akademik. Mereka adalah subjek politik kebudayaan yang berada dalam dialektika antara mempertahankan identitas asal dan menyesuaikan diri dengan norma mayoritas. Dalam banyak kasus, tekanan untuk “menyesuaikan diri” bisa menjadi bentuk kekerasan simbolik yang menyamar dalam wacana integrasi.

Kritik perlu diarahkan pada narasi "penyesuaian diri" yang sering kali diasumsikan sebagai tanggung jawab individu semata. Dalam konteks gegar budaya, apakah wajar menuntut mahasiswa untuk beradaptasi dengan cepat di tengah ketimpangan akses informasi budaya, perbedaan dialek, atau bahkan diskriminasi halus yang tak mudah dikatakan? Dalam skema ini, komunikasi interpersonal bukan hanya keterampilan, tapi perjuangan eksistensial untuk didengar dan diakui.

Menjadikan komunikasi interpersonal sebagai solusi juga bisa menimbulkan jebakan performativitas: mahasiswa dipaksa untuk menjadi “ramah”, “fleksibel”, dan “mudah akrab” sebagai prasyarat untuk diterima. Padahal, tidak semua orang memiliki latar belakang yang memungkinkan performa tersebut. Akibatnya, banyak mahasiswa memilih diam, menyembunyikan rasa asingnya, atau terjebak dalam kelompok homogen demi kenyamanan semu.

Jurnal ini dengan bijak merekomendasikan pentingnya layanan konseling psikososial di kampus sebagai respons terhadap tingginya angka culture shock. Rekomendasi ini bukan hanya wacana empatik, tetapi sebuah kebutuhan struktural. Kampus perlu menyediakan pusat layanan transisi budaya bagi mahasiswa perantau: dari seminar interkultural, kelompok dukungan sebaya lintas daerah, hingga pelatihan dosen dan tenaga kependidikan agar lebih sensitif terhadap perbedaan budaya.

Lebih dari sekadar menyarankan UKM sebagai jalan keluar, pendekatan integratif lintas unit kampus perlu digalakkan. Misalnya, menjadikan program orientasi mahasiswa baru bukan sekadar parade seremonial, tetapi forum pembelajaran lintas budaya. Mentoring oleh mahasiswa senior yang berasal dari latar budaya serupa juga dapat membantu mahasiswa baru melewati tahap adaptasi dengan lebih baik.

Di sisi lain, penting juga untuk memikirkan keterlibatan masyarakat lokal. Kampus bukanlah benteng akademik yang terisolasi, melainkan bagian dari ekosistem sosial-budaya yang lebih luas. Membuka ruang interaksi antara mahasiswa rantau dan warga sekitar, misalnya lewat program live-in, pengabdian masyarakat, atau forum budaya desa-kampus bisa menjadi strategi organik dalam mengatasi gegar budaya.

Sebagai sebuah karya ilmiah, jurnal ini patut diapresiasi karena tidak hanya mengangkat isu yang kerap terabaikan, tetapi juga menyusunnya dalam kerangka metodologis yang kuat dan aplikatif. Menggunakan pendekatan regresi linear ganda dengan skala Likert yang telah tervalidasi, riset ini tidak hanya menyajikan korelasi, tetapi juga menyuguhkan implikasi praktis yang relevan bagi dunia pendidikan tinggi.

Namun, catatan kritis perlu diajukan: meski jurnal ini telah membuka ruang pembahasan dua variabel utama, ruang eksplorasi terhadap variabel-variabel lain yang turut membentuk pengalaman culture shock masih terbatas. Aspek semisal diskriminasi budaya, stereotip sosial, dukungan keluarga, atau bahkan kepercayaan spiritual mahasiswa belum disentuh secara mendalam. Padahal, dalam banyak kasus, aspek-aspek tersebut justru menjadi faktor pelindung atau pemicu utama dari gegar budaya yang dialami mahasiswa.

Dalam perspektif teori psikologi indigenous, seperti yang dikembangkan oleh Koentjaraningrat atau bahkan pendekatan emik dalam psikologi budaya, pengalaman mahasiswa perantau semestinya dilihat sebagai bagian dari dinamika historis-sosiologis Indonesia yang majemuk. Dalam hal ini, kita perlu menggeser lensa dari “keterasingan individu” menjadi “tegangan sosial dalam masyarakat plural”.

Jurnal Candrajiwa kali ini bukan hanya catatan ilmiah yang menambah literatur psikologi Indonesia. Ia adalah peringatan. Tentang betapa transisi pendidikan bukan hanya urusan akademik, tetapi juga soal keutuhan identitas dan kesehatan jiwa. Tentang bagaimana mahasiswa dari luar Jawa tidak boleh dipandang sebagai “tamu” yang harus sopan dan cepat menyesuaikan diri, melainkan sebagai warga kampus yang hak-haknya setara dan suaranya harus didengar.

Di tengah euforia internasionalisasi kampus dan mobilitas mahasiswa, kita tidak boleh lupa: mobilitas tanpa pendampingan adalah potensi trauma. Integrasi tanpa empati adalah dominasi yang terselubung. Maka, jurnal ini bukan akhir dari diskusi, melainkan awal dari tanggung jawab kolektif: untuk menciptakan kampus yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga dewasa secara budaya.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Rion Nofrianda