Derasnya arus di media sosial saat ini telah banyak digunakan untuk berbagai keperluan. Tak lagi hanya untuk memuat keseharian atau menyimpan kenangan pribadi, tapi juga untuk membagikan informasi dan edukasi.
Berbagai kelompok dari lintas ilmu pun menggunakan saran media sosial untuk menghimbau audience-nya agar bisa lebih 'melek' dengan suatu isu. Salah satu alasan hal ini dilakukan adalah untuk menekan hoax dan mitos yang telah banyak berkembang di masyarakat.
Ajakan untuk menjadi pribadi yang lebih baik dalam berbagai disiplin ilmu pun juga telah banyak dibagikan. Melalui foto, video, hingga tulisan perorangan atau kelompok, rasanya hal ini sudah tidak lagi asing di era sekarang.
Namun sayangnya, lambat laun peringatan atau untuk menuju kebaikan ini tidak lagi terdengar ramah. Informasi dan edukasi yang banyak dibagikan perorangan atau kelompok itu kini tak lagi terlihat menarik.
Ada yang karena secara visual isi kontennya tidak menarik. Bisa karena warna, font, hingga templete yang kurang sesuai dengan selera audience. Namun ada juga yang karena 'nadanya' memang tidak pas di hati.
Poin nomor dua sekali lagi mengingatkan kita untuk kembali menelaah kata dan kalimat yang dipilih saat sedang tampil di publik dengan audience yang banyak. Dari kasus ini rasanya benar jika Bahasa indonesia itu tidak bisa disepelekan.
Sehingga ajakan, edukasi, dan informasi yang diniatkan secara positif juga bisa diterima positif oleh audience-mu. Jangan sampai karena keambiguan pemilihan kata atau penyusunan kalimat yang tidak tepat, niat positif ini jadi 'terdengar' nyinyir atau menyindir.
Karena ketika sebuah konten telah dilempar ke publik, maka audience-mu bisa terdiri dari beragam karakter, selera, dan latar belakang. Sehingga kita harus lebih berhati-hati lagi.
Diniatkan positif saja terkadang masih berpotensi disalahpahami. Apalagi kalau memang konten tersebut dibuat untuk menyindir sebagian orang.
Sehingga makna dari berbagi ilmu di sini sudah mengalami pergeseran makna dan tentu sangat disayangkan. Jadi tak heran bila ada sebagian edukasi atau pengingat kebaikan yang saat ini memang tidak terdengar ramah dan nyaman.
Alih-alih merasa tersentuh dan terbantu dengan informasi yang kamu bagikan, sindiran seperti ini justru bisa membuat orang lain ilfeel.
Akhir kata, kita memang tidak bisa mengontrol isi pikiran dan pendapat orang lain tentang kita. Namun ketika kamu memang memiliki niat tulus dalam kontenmu, energi positifmu akan bisa dirasakan oleh pembacamu dan begitu pula sebaliknya.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Tak Hanya Sesama Teman, Saat Guru dan Dosen Juga Jadi Pelaku Bully
-
Kisah Relawan Kebersihan di Pesisir Pantai Lombok
-
Viral Tumbler KAI: Bahaya Curhat di Medsos Bagi Karier Diri dan Orang Lain
-
Ricuh Suporter Bola hingga War Kpopers, Saat Hobi Tak Lagi Terasa Nyaman
-
Budaya Titip Absen: PR Besar Guru Bagi Pendidikan Bangsa
Artikel Terkait
-
Kenaikan PPN Picu Tren Baru 'No Buy Challenge 2025', Ajak Orang RI Tunda Beli Barang Mewah
-
4 Cara Menjaga Media Sosial dari Serangan Jahat Siber
-
Dampak Media Sosial terhadap Kebiasaan Konsumsi Generasi Muda
-
Keberpihakan Media Sosial terhadap Sikap Anti-Korupsi: Harapan dan Realitas
-
Punya Resolusi 2025 Batasi Scroll Medsos? Ini Pengaturan HP Bisa Dicoba
Kolom
-
Self-esteem Recovery: Proses Memulihkan Diri setelah Mengalami Bullying
-
Silent Bullying: Perundungan yang Tak Dianggap Perundungan
-
Generasi Muda dalam Ancaman menjadi Pelaku dan Korban Bullying
-
Kenapa Gen Z Menjadikan Sitcom Friends sebagai Comfort Show?
-
Merosotnya Kepercayaan Publik dan Pemerintah yang Tak Mau Mengalah
Terkini
-
Teknologi Big Data: Mengubah Cara Kita Mengambil Keputusan
-
Hadapi Myanmar, Timnas Indonesia U-22 Pertaruhkan Dua Hal Sekaligus
-
Dari Innisfree hingga COSRX: Panduan Memilih Skincare Korea Halal BPOM
-
Kim Hye Yoon Buktikan Julukan 'Peri Chemistry' Lewat Drama No Tail To Tell
-
Ada Ivar Jenner, Ini 3 Pemain Pilar Timnas Indonesia untuk Kalahkan Myanmar