
Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Gen Z. Salah satu fenomena yang cukup mencolok adalah kebiasaan "follow-unfollow," sebuah dinamika yang sering mencerminkan hubungan sosial yang fluktuatif di era digital.
Entah karena merasa tidak lagi sejalan, ingin menarik perhatian, atau sekadar iseng, perilaku ini kerap terjadi dan memengaruhi interaksi di dunia maya. Dalam studi yang dipublikasikan oleh Ellison et al. (2020), pada Journal of Social Computing, media sosial diakui sebagai ruang yang mencerminkan emosi, hubungan interpersonal, hingga konflik sosial secara instan.
Saya sendiri pernah menjadi pelaku kebiasaan follow-unfollow ini. Ada kalanya saya merasa ingin memperbaiki algoritma media sosial dengan hanya mengikuti akun-akun yang relevan dengan minat saya. Di lain waktu, saya mengikuti akun tertentu karena alasan spesifik, namun memutuskan untuk berhenti ketika merasa interaksinya tidak sesuai ekspektasi. Anehnya, meskipun niatnya sederhana, tindakan ini sering kali dianggap sebagai pernyataan yang lebih besar dari apa yang sebenarnya saya maksudkan.
Fenomena follow-unfollow ini ternyata tidak sesederhana sekadar "klik" di tombol "follow" atau "unfollow." Ada dinamika emosi dan ekspektasi yang terlibat. Misalnya, beberapa orang menggunakan follow-unfollow sebagai strategi untuk menarik perhatian. Mereka mengikuti akun tertentu, berharap diikuti balik, lalu berhenti mengikuti setelah berhasil mendapatkan pengikut. Di sisi lain, ada pula yang merasa sakit hati atau tersinggung ketika tiba-tiba di-unfollow oleh teman atau kenalan dekat, seolah-olah hubungan di dunia nyata ikut diputuskan.
Dinamika ini mencerminkan betapa cairnya hubungan sosial di era digital. Media sosial bukan hanya tempat untuk berbagi konten, tetapi juga arena yang mencerminkan bagaimana seseorang menilai dan mempertahankan hubungan mereka. Gen Z, dengan keterbukaannya terhadap teknologi, sering kali memanfaatkan media sosial untuk membangun dan merawat jaringan pertemanan mereka. Namun, dengan segala kemudahannya, hubungan ini juga menjadi rentan terhadap konflik kecil yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
Kebiasaan follow-unfollow juga membuka diskusi tentang validasi sosial. Tidak sedikit dari kita yang merasa dihargai ketika diikuti banyak orang, dan sebaliknya, merasa rendah diri ketika jumlah pengikut berkurang. Fenomena ini sering kali menempatkan seseorang dalam posisi yang dilematis, apakah tetap menjaga hubungan meskipun sebenarnya tidak relevan, atau melepaskannya demi kenyamanan diri sendiri.
Namun, apakah kebiasaan ini sehat? Tentu saja, jawabannya tergantung pada bagaimana kita menyikapinya. Jika follow-unfollow hanya dilakukan untuk tujuan pribadi tanpa intensi buruk, maka hal ini wajar saja. Tetapi jika dijadikan alat manipulasi atau drama sosial, maka kebiasaan ini bisa menjadi toksik. Gen Z perlu belajar bahwa hubungan yang sejati, baik online maupun offline, tidak bisa diukur hanya dari jumlah pengikut atau siapa yang mengikuti siapa.
Kebiasaan follow-unfollow di media sosial adalah refleksi kecil dari dinamika hubungan manusia di dunia modern. Di satu sisi, hal ini menunjukkan betapa mudahnya kita terhubung, tetapi di sisi lain, juga memperlihatkan betapa rapuhnya ikatan yang hanya berbasis pada klik di layar. Mungkin sudah saatnya kita mengembalikan esensi hubungan sosial ke tempat yang lebih mendalam, yaitu di luar batasan algoritma media sosial.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Menggempur Prokrastinasi: Strategi Mahasiswa Menaklukkan Si Penunda Tugas
-
Dosen Prodi PBSI Itu Ibarat Penyulut Cinta pada Kata dan Budaya
-
Antara Api Passion dan Magnet Prospek: Memilih Jurusan di Era Tren Karier
-
Menulis Jurnal sebagai Cermin Jiwa Mahasiswa di Tengah Hingar Kuliah
-
Bagaimana Kolaborasi Antarjurusan Mengukir Inovasi dari Sudut Sastra?
Artikel Terkait
-
Kisah Para "Gladiator" Forex di Kalangan Anak Muda Indonesia
-
Mahasiswi ITB Ditangkap Usai Unggah Meme Kepala Negara di Medsos, Jadi Ancaman Serius?
-
Eksploitasi Kemiskinan dan Ketimpangan Digital dalam Pemindaian Iris Mata
-
Antara Api Passion dan Magnet Prospek: Memilih Jurusan di Era Tren Karier
-
Rasa Syukur vs FoMO, Siapa yang Menang di Dunia Media Sosial?
Kolom
-
Mengupas Fenomena Anak Skena, Sebuah Pencarian Identitas di Kaula Muda
-
Dari Imajinasi ke Otomatisasi: Krisis Dunia Kreatif di Era AI
-
Menyusui: Hak Asasi yang Masih Terabaikan oleh Kebijakan Publik
-
Gerak Cepat Memajukan Pendidikan Indonesia
-
Menggempur Prokrastinasi: Strategi Mahasiswa Menaklukkan Si Penunda Tugas
Terkini
-
Ulasan Novel After All This Time: Rahasia dan Luka Lama di Balik Dunia Kerja
-
Sinopsis Series I Love 'A Lot Of' You, Comeback Akting Nanon Korapat!
-
Terserah atau Pasrah? Raisa Tanyakan Nasib Hubungan Cinta di Lagu Terbaru
-
Meningkatkan Skor SINTA, Psikologi Universitas Jambi Gelar Workshop Khusus
-
AFF Womens Championship U-19 2025: Indonesia Tergabung di Grup Neraka