Banyak orang merasa lebih baik setelah membeli sesuatu, entah itu baju baru, kopi kekinian, atau gadget terbaru. Aktivitas belanja ini bahkan sering disebut sebagai retail therapy, sebuah istilah populer yang menggambarkan belanja sebagai cara untuk memperbaiki suasana hati.
Namun, di balik perasaan senang sesaat, tak jarang muncul rasa bersalah, stres finansial, atau bahkan penyesalan mendalam. Lalu sebenarnya apakah kita benar-benar “menyembuhkan diri” lewat belanja, atau justru sedang melarikan diri dari emosi yang belum terselesaikan?
Fenomena belanja sebagai bentuk terapi emosi membuka ruang diskusi menarik di ranah psikologi. Mengapa seseorang terdorong untuk membeli sesuatu ketika sedang sedih, cemas, atau kesepian? Apakah perilaku ini bersifat adaptif atau justru berpotensi menjadi kebiasaan yang merusak? Melalui kacamata psikologi, kita dapat memahami bagaimana emosi, kebutuhan psikologis, dan mekanisme pertahanan diri memengaruhi keputusan konsumtif.
Emosi Negatif dan Dorongan Belanja
Dalam banyak kasus, perilaku konsumtif muncul sebagai respons terhadap emosi negatif seperti stres, kesepian, atau frustasi. Belanja menjadi semacam "pelampiasan" yang memberikan perasaan kontrol atau kenyamanan sementara. Saat seseorang membeli sesuatu, tubuh memproduksi dopamine yaitu zat kimia otak yang menimbulkan rasa senang yang kemudian menutupi emosi negatif yang sedang dirasakan.
Namun, efek ini bersifat sementara. Setelah euforia berbelanja menghilang, emosi negatif yang mendasari masih ada, bahkan bisa bertambah karena muncul rasa bersalah atau stres akibat pengeluaran. Ini dikenal sebagai compensatory consumption, yaitu membeli sesuatu bukan karena kebutuhan nyata, tetapi sebagai cara kompensasi terhadap kekosongan emosional. Jika tidak disadari, pola ini bisa berkembang menjadi siklus konsumsi yang tidak sehat.
Identitas Diri dan Konsumsi sebagai Penegasan Sosial
Dari sudut pandang psikologi sosial, konsumsi juga berkaitan erat dengan identitas dan citra diri. Seseorang mungkin merasa lebih “berharga” atau “berkelas” saat menggunakan barang bermerek tertentu, sehingga belanja dijadikan cara untuk memperkuat harga diri atau pencitraan sosial. Hal ini terutama terjadi ketika individu merasa tidak aman terhadap posisinya di masyarakat atau sedang mengalami krisis kepercayaan diri.
Media sosial memperkuat mekanisme ini dengan menciptakan ruang pembanding yang tak ada habisnya. Melihat orang lain tampil modis, sukses, dan bahagia dengan barang-barang mahal dapat memicu dorongan konsumsi sebagai bentuk validasi. Sayangnya, konsumsi semacam ini jarang berangkat dari kebutuhan sejati, melainkan dorongan untuk “menyamai” standar orang lain. Hasilnya, belanja menjadi alat pelarian dari ketidakpuasan diri yang sebenarnya lebih dalam.
Perilaku Konsumtif sebagai Mekanisme Pertahanan Diri
Dalam psikologi klinis, perilaku konsumtif dapat dipandang sebagai bentuk coping mechanism, yakni strategi psikologis untuk menghadapi tekanan hidup. Namun, tidak semua strategi ini sehat. Belanja impulsif sering kali berfungsi sebagai mekanisme penghindaran (avoidance coping), di mana seseorang menghindari menghadapi perasaan atau situasi sulit dengan melakukan aktivitas menyenangkan, seperti berbelanja.
Masalah muncul ketika individu tidak lagi mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Belanja yang awalnya terasa sebagai cara untuk menenangkan diri bisa menjadi candu yang mengganggu fungsi kehidupan sehari-hari, termasuk keuangan, relasi, dan kesehatan mental. Dalam jangka panjang, kebiasaan ini dapat memperkuat ketergantungan terhadap konsumsi sebagai jalan keluar, alih-alih menyelesaikan akar masalah emosionalnya.
Retail therapy mungkin terasa menyenangkan dan memberikan kelegaan sesaat, tetapi penting untuk menyadari apakah belanja itu dilakukan dengan sadar atau hanya sebagai pelarian dari luka emosional. Melalui pemahaman psikologis, kita bisa melihat bahwa perilaku konsumtif bukan sekadar soal gaya hidup, melainkan juga refleksi dari kondisi emosi dan kebutuhan psikologis yang lebih dalam.
Baca Juga
-
Kohesi Tim dan Solidaritas: Apa Kata Psikologi soal Tim Futsal yang Kompak?
-
Tak Cuma Soal Menang: Memaknai Resiliensi Mental Lewat Olahraga Futsal
-
Dari Pemain ke Tim: Futsal dan Pembentukan Identitas Kolektif
-
Antara Norma dan Luka: Kekerasan Gender pada Budaya yang Bisukan Perempuan
-
Kebiasaan Lempar Pertanyaan ke GPT dan 'Matinya' Rasa Ingin Tahu Mahasiswa
Artikel Terkait
-
Kohesi Tim dan Solidaritas: Apa Kata Psikologi soal Tim Futsal yang Kompak?
-
Mengenal Seni Hidup Sederhana dari Biksu Jepang Lewat Buku Zen: The Art of Simple Living
-
Menelisik Kegundahan Wanita Paruh Baya di Novel 'Umur 40, Kok Gini Amat?'
-
Karakteristik Schadenfreude dalam Psikologi Massa Sound Horeg
-
Ulasan Buku Wabi Sabi: Filosofi Jepang Menyikapi Hidup Tak Sesuai Rencana
Kolom
-
APBN untuk Sekolah Kedinasan: Ketika 13 Ribu Anak Jadi Anak Emas Negara
-
Pacu Jalur: Sungai yang Menyatukan, Tradisi yang Menghidupkan
-
Mengajar Tanpa Belajar, Dosa Intelektual yang Terlupakan
-
Dari Era Kolonial ke AI: Mampukah Indonesia Benar-Benar Swasembada Gula?
-
Kurikulum AI: Lompatan Pendidikan atau Jurang Ketimpangan Baru?
Terkini
-
Dari Kuliner, Ke Cinta: Luka yang Tak Disuarakan di Novel "Adam & Aisyah"
-
Tayang Perdana 19 Juli, 5 Kaiju Baru Akan Muncul di Kaiju No. 8 Season 2
-
Datangkan Fabio Calonego, Komposisi Skuad Persija Jakarta Makin Mewah
-
Review Film The Seed of the Sacred Fig: Saat Rezim Tumbuh di Dalam Rumah
-
Misi Pencarian Makna Hidup dalam Ulasan Film 3 Hari untuk Selamanya