Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Sabit Dyuta
Ilustrasi penulis muda scroll medsos sebelum mulai menulis (Freepik/benzoix)

Media sosial kini sudah menjadi bagian dari hidup sehari-hari, termasuk bagi para penulis muda. Scroll di media sosial bisa jadi kegiatan yang menyenangkan sekaligus produktif.

Ada banyak ide menarik yang bisa muncul hanya dengan membaca satu cuitan sederhana atau melihat cerita yang viral.

Inspirasi terasa begitu dekat, seolah semuanya hanya tinggal diambil. Namun di sisi lain, media sosial juga menyimpan sisi gelap yang bisa memengaruhi proses kreatif dan mental secara perlahan.

Ada saat di mana media sosial terasa seperti lautan ide tanpa batas. Cerita dari pengalaman hidup orang lain, opini yang menggugah, atau sekadar potongan kata-kata indah bisa memicu munculnya gagasan baru. 

Tidak heran kalau banyak penulis sering memanfaatkan waktu di media sosial untuk menyerap hal-hal semacam ini.

Media sosial juga memberi pemahaman baru tentang apa yang sedang hangat diperbincangkan—informasi yang bisa menjadi bekal penting untuk menciptakan tulisan yang relevan.

Namun di balik manfaat itu, ada beban yang kerap muncul tanpa disadari. Salah satunya adalah rasa tidak cukup baik. Melihat tulisan orang lain yang viral atau mendapatkan banyak apresiasi sering membuat diri merasa kecil.

Apalagi ketika hasil kerja keras sendiri terasa tak mendapat perhatian yang sama. Perasaan ini bisa menggerogoti semangat dan membuat ide-ide yang tadinya mengalir, tiba-tiba macet begitu saja.

Belum lagi jebakan waktu yang sering datang tanpa disadari. Niat awal hanya ingin "scroll sebentar," tapi tahu-tahu waktu menulis sudah habis karena terlalu asyik tenggelam dalam konten yang sebenarnya tidak begitu penting.

Informasi yang berlebihan juga membuat otak lelah dan kehilangan arah. Menurut Psychology Today pada salah satu artikel mereka, terlalu banyak konsumsi konten bisa menyebabkan kelelahan mental, membuat fokus dan kreativitas justru menurun.

Namun, semua itu tidak berarti media sosial harus dihindari sepenuhnya. Kuncinya ada pada cara mengelola waktu dan tujuan.

Misal, sebelum membuka media sosial, tentukan apa yang ingin dicari—apakah inspirasi, informasi, atau sekadar relaksasi. Pastikan untuk fokus, jangan terbawa arus.

Membatasi waktu scrolling juga bisa membantu agar tidak terjebak terlalu lama. Kadang, keluar sejenak dari hiruk-pikuk media sosial justru membuka ruang yang lebih luas bagi kreativitas untuk berkembang.

Dan bagaimana pun, media sosial hanyalah alat. Ia bisa menjadi sumber inspirasi, tetapi juga bisa menjadi penghalang jika tidak digunakan dengan bijak.

Saat tekanan untuk terus mengikuti arus terlalu besar, mungkin itulah saatnya berhenti sejenak, mengambil napas, dan mengingat bahwa ide-ide terbaik sering muncul di saat pikiran tenang, jauh dari layar.

Menulis adalah perjalanan, dan perjalanan itu sering kali dimulai dari keberanian untuk berhenti membandingkan dan mulai fokus pada diri sendiri.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Sabit Dyuta