Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Sherly Azizah
Ilustrasi scroll media sosial (Pexels/Charlotte May)

Di zaman yang serba digital, setiap orang berlomba-lomba menampilkan versi terbaik diri mereka. Foto liburan mewah, momen bahagia, hingga pencapaian besar dipamerkan seolah-olah dunia hanya dipenuhi kesempurnaan.

Tanpa sadar, kita ikut terperangkap dalam ilusi ini. Apa yang terlihat di layar sering kali bukanlah realitas, melainkan potongan kecil yang telah dikurasi dengan hati-hati.

Namun, mengapa kita begitu terpengaruh? Otak manusia secara alami cenderung membandingkan untuk mengevaluasi posisi diri dalam suatu kelompok. Di masa lalu, ini membantu kita bertahan hidup.

Sayangnya, di era media sosial, kebutuhan evolusioner ini malah menjadi pedang bermata dua. Akibatnya, banyak yang merasa hidupnya tidak cukup baik hanya karena melihat pencapaian orang lain yang tampak lebih besar.

Lebih parahnya lagi, algoritma media sosial sengaja dirancang untuk menonjolkan konten yang memukau atau menghasut iri hati.

Penelitian oleh Fardouly dkk (2015) menemukan bahwa semakin sering seseorang menggunakan media sosial, semakin besar kemungkinan mereka mengalami penurunan kepuasan diri akibat perbandingan sosial.

Mengapa Kita Suka Membandingkan?

Membandingkan diri sebenarnya adalah hal yang wajar dan manusiawi. Namun, di era digital, kebiasaan ini menjadi semakin destruktif. Salah satu penyebab utamanya adalah kebutuhan kita untuk diakui. Ketika melihat orang lain mencapai sesuatu, kita merasa bahwa kita juga harus melakukannya untuk tetap relevan atau dihargai.

Sayangnya, kita sering kali lupa bahwa apa yang kita lihat hanyalah puncak gunung es dari kehidupan seseorang. Kita tidak melihat perjuangan, kegagalan, atau pengorbanan di balik layar. Perbandingan yang tidak adil ini menyebabkan kita meremehkan pencapaian kita sendiri, bahkan yang sebenarnya signifikan.

Hal lain yang memperparah adalah norma budaya yang menilai keberhasilan dari pencapaian materi atau popularitas.

Sistem nilai ini, ditambah dengan akses tanpa batas ke "kehidupan sempurna" orang lain di media sosial, memupuk rasa tidak puas yang kronis. Kita seperti lupa bahwa kita semua memiliki jalur hidup yang berbeda dan tidak seharusnya mengikuti standar orang lain.

Jalan Keluar dari Perangkap Perbandingan

Meskipun sulit, keluar dari lingkaran toxic comparison bukanlah hal yang mustahil. Langkah pertama adalah menyadari bahwa apa yang kita lihat di media sosial bukanlah kenyataan sepenuhnya.

Berhentilah menjadikan hidup orang lain sebagai tolok ukur kebahagiaan kita sendiri. Fokuslah pada pencapaian pribadi, sekecil apa pun itu.

Selain itu, mulailah membatasi waktu yang dihabiskan di media sosial. Sebuah studi dari Hunt dkk (2018) menunjukkan bahwa mengurangi penggunaan media sosial hingga 30 menit per hari secara signifikan dapat meningkatkan kepuasan hidup dan mengurangi perasaan kesepian. Jadi, menutup aplikasi selama beberapa jam mungkin bisa menjadi langkah kecil yang berdampak besar.

Terakhir, belajar bersyukur dan menghargai proses diri sendiri. Dunia ini tidak membutuhkan dua versi dari seseorang, cukup satu versi autentik dari diri kita. Ingat, apa yang benar-benar penting adalah bagaimana kita berkembang, bukan bagaimana kita terlihat dibandingkan orang lain.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Sherly Azizah