Pekerjaan di dunia kreatif sering kali menghadapi stigma yang sama: dianggap mudah, tidak stabil, dan kurang serius dibanding pekerjaan kantoran. Dan salah satu profesi yang paling sering diremehkan adalah penulis lepas.
Banyak orang beranggapan bahwa pekerjaan ini hanya sekadar merangkai kata tanpa upaya berarti. Ada pula yang mengira menulis bisa dilakukan siapa saja tanpa keterampilan khusus, seolah-olah semua orang yang bisa membaca otomatis bisa menjadi penulis yang baik.
Pandangan ini tidak muncul begitu saja. Budaya kerja konvensional cenderung mengukur produktivitas dari sesuatu yang terlihat: seragam kerja, jam kantor, dan interaksi langsung dengan atasan.
Pekerjaan yang dilakukan dari rumah, apalagi tanpa kantor fisik atau struktur organisasi yang jelas, dianggap kurang nyata. Bagi sebagian orang, bekerja berarti keluar rumah, menghadapi kemacetan, dan mengikuti ritme kantor yang ketat.
Sementara itu, profesi seperti penulis lepas tidak sesuai dengan gambaran tersebut, sehingga sering kali dianggap sebagai aktivitas sampingan atau bahkan pengangguran terselubung.
Padahal, menulis bukan sekadar mengetik. Setiap tulisan yang berkualitas melewati proses panjang: mencari ide, melakukan riset, menyusun narasi yang tepat, hingga menyunting agar tulisan mudah dipahami pembaca.
Seorang penulis lepas juga harus memahami tren, kebutuhan pasar, dan algoritma platform digital agar tulisannya tidak hanya enak dibaca, tetapi juga efektif dan bernilai jual. Semua ini membutuhkan keterampilan yang terus diasah dan tidak bisa dianggap remeh.
Salah satu faktor lain yang membuat pekerjaan ini kurang dihargai adalah anggapan bahwa menulis tidak menghasilkan pendapatan besar.
Sebenarnya, banyak pekerja lepas yang bisa mendapatkan penghasilan setara—bahkan lebih tinggi—dibandingkan pekerja kantoran, asalkan memiliki keahlian dan strategi yang tepat. Namun, karena penghasilan ini tidak selalu tampak jelas seperti gaji bulanan yang tetap, profesi ini dianggap kurang stabil.
Ironisnya, di era digital, kebutuhan akan konten justru semakin meningkat. Artikel, opini, esai, hingga konten pemasaran semuanya bergantung pada keterampilan menulis.
Banyak bisnis dan platform media yang membutuhkan penulis berbakat untuk menghasilkan konten berkualitas. Namun, penghargaan terhadap profesi ini belum sebanding dengan peran yang dimainkannya dalam industri kreatif dan informasi.
Stigma terhadap pekerjaan di bidang kreatif bukan hanya masalah individu, tetapi juga cerminan dari cara masyarakat memandang dunia kerja.
Profesi yang tidak memiliki struktur hierarkis yang jelas sering kali dianggap lebih santai dan tidak seserius pekerjaan di sektor formal. Padahal, di balik layar, ada kerja keras, ketekunan, dan dedikasi yang tidak kalah dengan pekerjaan lain.
Sudah seharusnya cara pandang terhadap profesi kreatif berubah. Di era digital yang serba terhubung, batas antara pekerjaan tradisional dan pekerjaan berbasis kreativitas semakin kabur.
Penulis lepas, desainer grafis, hingga pekerja kreatif lainnya memainkan peran besar dalam industri digital. Menganggap remeh profesi ini bukan hanya bentuk ketidaktahuan, tetapi juga ketidakadilan terhadap kerja keras yang dilakukan oleh banyak orang di bidang ini.
Baca Juga
-
Nelayan vs Korporasi: Ketika Laut Bukan Lagi Milik Rakyat
-
Glowing ala Korea! 5 Essence dengan Ekstrak Fermentasi untuk Kulit Cerah
-
Menghadapi Perbedaan dengan Hati Terbuka, Review Novel 'Si Anak Pelangi'
-
Anti Patchy! 4 Sunscreen Matte Finish untuk Kulit Berminyak dan Kombinasi
-
Anti-Ribet! 4 Serum All-in-One yang Bikin Wajah Cerah dan Lembap
Artikel Terkait
-
Suami Shella Saukia Kerja Apa? Istrinya Disorot gegara Ribut Sana-sini Perkara Bisnis Skincare
-
Bule Eropa Jadi Pacar Billy Syahputra, Vika Kolesnaya Kerja Apa di Negara Asalnya?
-
Jurusan Ilmu Komunikasi Kerja Apa? Ini 8 Profesi yang Bisa Dikerjakan
-
Bocah 10 Tahun Laporkan Ayah ke Polisi karena PR, Bocorkan Kepemilikan Obat Terlarang
-
Eks Suami Asri Welas Kerja Apa? Wajib Nafkahi Anak Rp5 Juta per Bulan, Tiap Tahun Jumlahnya Naik 10 Persen
Kolom
-
Nelayan vs Korporasi: Ketika Laut Bukan Lagi Milik Rakyat
-
Jejaring Sosial: Kunci Sukses Bisnis Online di Era Digital
-
Film Pabrik Gula Tayang di Bioskop Imax, Sewajib Itukah?
-
WFH dan Teman Kerja Toksik, Realita yang Tidak Banyak Orang Tahu
-
Membayangkan Dunia Tanpa AI dan Robot: Bagaimana Manusia Hidup?
Terkini
-
4 Inspirasi Outfit City Boy ala Fattah Syach, Simpel tapi Tetap Maskulin!
-
3 Drama Korea Action-Thriller yang Tayang Tahun Ini, Siap Bikin Tegang!
-
Semarak Isra Mi'raj di Margo Mulyo Bersama KKN Universitas Lampung 2025
-
Film Tulang Belulang Tulang, antara Tradisi, Gengsi, dan Kapitalisme
-
Carmen Hearts2Hearts Curi Perhatian di Debut Trailer Chase Your Choice