Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Budi Prathama
Ilustrasi Gen Z. (Pixabay/@VinzentWeinbeer)

Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, adalah generasi yang bisa dibilang benar-benar tumbuh bersama teknologi. Dari kecil mereka sudah terbiasa melihat layar, entah itu televisi, komputer, atau ponsel pintar. Internet bagi mereka bukan barang mewah, melainkan bagian dari hidup sehari-hari. Semua informasi ada di genggaman, hiburan tinggal sekali klik, dan tren global bisa sampai ke mata mereka dalam hitungan detik. Hidup memang terasa serba cepat, praktis, dan penuh pilihan.

Tapi di balik kemudahan ini, ada satu fenomena yang pelan-pelan muncul dan mulai jadi sorotan: hedonisme. Bukan berarti semua anak Gen Z hanya memikirkan senang-senang, tapi kenyataannya, gaya hidup yang menekankan kesenangan instan ini memang lebih gampang tumbuh di tengah dunia serba digital. Berbeda dengan generasi sebelumnya, hedonisme versi Gen Z punya ciri khasnya sendiri. Mereka terbiasa dengan gratifikasi instan; terbiasa memesan makanan online yang tiba dalam beberapa menit, menonton film kapan saja tanpa harus menunggu jam tayang, atau langsung mendapat jawaban dari Google dalam hitungan detik. Kebiasaan ini membentuk ekspektasi bahwa kebahagiaan pun seharusnya bisa datang secepat itu, tanpa proses panjang atau pengorbanan.

Media sosial juga ikut berperan besar. Instagram, TikTok, dan platform lainnya sering kali jadi panggung besar untuk memamerkan kehidupan “ideal”, barang-barang branded, liburan ke tempat eksotis, atau pengalaman premium. Semua ini membentuk budaya konsumerisme digital, di mana gaya hidup mewah dianggap sebagai tolok ukur kesuksesan. Ditambah lagi, rasa takut ketinggalan atau FOMO membuat banyak anak muda rela mengeluarkan uang hanya demi ikut tren, bahkan jika sebenarnya mereka tidak membutuhkannya.

Dampak dari gaya hidup ini tidak bisa dibilang sepele. Secara pribadi, banyak yang akhirnya kesulitan mengelola keuangan karena lebih fokus pada belanja spontan dibanding menabung. Kemampuan untuk menunda kepuasan berkurang, dan tekanan sosial dari perbandingan dengan orang lain di media sosial bisa memengaruhi kesehatan mental. Secara sosial, fenomena ini juga bisa mengikis empati, memperbesar jarak antara kelompok dengan kemampuan ekonomi berbeda, dan menurunkan minat untuk terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan.

Ada beberapa alasan kenapa hedonisme ini begitu kuat di kalangan Gen Z. Media sosial dengan algoritmanya terus-menerus menyodorkan konten yang memancing rasa ingin punya atau ingin mencoba. Tekanan dari teman sebaya membuat banyak remaja merasa perlu mengikuti standar gaya hidup tertentu agar diterima. Minimnya pendidikan finansial di sekolah atau di rumah membuat mereka tidak terbiasa memikirkan perencanaan jangka panjang. Perubahan pola komunikasi dalam keluarga, di mana orang tua sering sibuk, juga membuat nilai-nilai hidup yang dulu ditanamkan secara langsung kini lebih jarang dibicarakan.

Namun, tantangan ini bukan berarti tidak bisa diatasi. Sekolah, keluarga, dan masyarakat punya peran penting untuk menyeimbangkan pola pikir generasi ini. Di sekolah, pendidikan karakter dan tanggung jawab sosial bisa diintegrasikan dalam semua mata pelajaran. Kegiatan berbasis proyek yang melibatkan kontribusi nyata kepada masyarakat bisa menanamkan empati. Workshop literasi digital dan keuangan juga penting agar siswa bisa bijak mengatur uang dan lebih sadar cara kerja media sosial.

Di rumah, komunikasi terbuka antara orang tua dan anak bisa jadi kunci. Memberi contoh bahwa kebahagiaan tidak selalu berasal dari barang mahal atau liburan mewah akan jauh lebih efektif dibanding sekadar memberi nasihat. Mengajak anak terlibat dalam kegiatan sosial atau volunteer juga bisa mengajarkan nilai bahwa memberi dan berbagi sama berharganya dengan menerima.

Media sosial, yang sering dianggap biang kerok, sebenarnya juga bisa menjadi alat positif jika digunakan dengan benar. Mengajarkan anak untuk memahami cara kerja algoritma dan mendorong mereka membuat konten yang inspiratif dapat membantu mengubah pola konsumsi mereka dari pasif menjadi kreatif.

Pada akhirnya, hedonisme di kalangan Gen Z adalah cermin dari perubahan zaman. Fenomena ini tidak harus dihakimi secara negatif, tetapi dipahami sebagai bagian dari dinamika generasi yang hidup di era digital. Dengan arahan yang tepat, mereka bisa tetap menikmati kemajuan teknologi sambil memegang nilai-nilai kemanusiaan, tanggung jawab sosial, dan kesadaran finansial.

Jika keluarga, sekolah, dan masyarakat mampu bekerja sama, tantangan ini justru bisa menjadi peluang. Generasi Z berpotensi besar menjadi agen perubahan positif, asalkan mereka memahami bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya datang dari kepuasan pribadi, tetapi juga dari hubungan yang tulus, pencapaian bermakna, dan kontribusi nyata bagi orang lain.

Budi Prathama