Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | hanifati radhia
Ilustrasi anak-anak mengakses media sosial melalui ponsel (Pexels/Katerina Holmes)

Mendapati anak-anak memegang telepon seluler untuk mengakses berbagai konten bukan lagi hal yang awam. Bahkan menyaksikan sendiri bagaimana anak-anak usia dini nampak serius dan pasif memegang telepon seluler melihat tayangan video, seperti yang saya rasakan karena juga memiliki anak balita di rumah. Seiring kemajuan teknologi, anak-anak kini bahkan bisa mengakses berbagai platform media sosial seperti TikTok, Instagram hingga YouTube. Sejak pandemi, paparan mereka terhadap dunia digital makin intens. Mengingat, anak-anak sudah pernah melalui proses pembelajaran tatap layar atau daring (online). Hal itu semakin memudahkan mereka mengakses ke berbagai informasi dan hiburan meski tak ada pandemi. Namun demikian, pengaruh teknologi lagi-lagi tak melulu berdampak baik. Selalu ada sisi negatif dan dampak buruk yang mengintai. Anak-anak menjadi lebih berisiko mengalami gangguan tidur, kurang beraktivitas fisik hingga berinteraksi dengan teman sebaya. Artinya, ada bahaya dan ancaman besar di balik kebebasan media sosial ini.

Selain dampak secara fisik dan mental seperti disebut, media sosial juga sangat berpengaruh terhadap cara berpikir dan perilaku anak-anak. Sebut saja, jika mereka tidak sengaja atau sengaja menemukan dan menyaksikan konten yang tidak sesuai usia. Konten itu bisa jadi yang bermuatan seperti kekerasan, pornografi hingga gaya hidup konsumtif berlebihan. Terlebih, mereka belum memahami proses filtering (menyaring) atau memilah mana yang bisa dilihat atau tidak. Tak bisa dipungkiri, konten-konten seperti inilah bisa mengubah atau merusak nilai-nilai serta tatanan yang sudah diinternailisasi sejak di keluarga maupun lingkungan sosial.

Jika berbicara masalah yang serius, masalah yang timbul dari relasi mereka dengan media sosial adalah terjadinya perundungan siber (cyberbullying). Anak-anak ini bisa menjadi korban. Hal yang terjadi mereka yang menjadi korban sering merasa malu dan takut melapor. Pada kasus yang parah, adanya kejadin perundungan siber jelas menimbulkan efek trauma psikologis mendalam. Selain itu perundungan, judi online berkedok games online juga membayangi aktivitas anak di ranah digital. Menteri Komunikasi dan Informatika, Meutya Hafid pernah mengungkap bahwa 80 ribu anak di bawah usia 10 tahun terpapar judi online melalui game di ponsel. Rupanya bisa mengakses lantaran menggunakan akun orang tua mereka.

Adanya fakta-fakta ini menunjukkan minimnya literasi digital di kalangan anak-anak hingga orang tua. Selain itu, masih belum ada atau minimnya regulasi yang jelas untuk melindungi mereka dari bahaya teknologi informasi, terutama media sosial. Kita perlu menyambut baik upaya pemerintah Indonesia yang saat ini tengah mengkaji aturan yang lebih ketat. Regulasi ini nantinya bertujuan untuk melindungi anak-anak dari dampak negatif media sosial. Salah satunya, apabila anak-anak ingin menggunakan media sosial, maka harus ada izin dan pengawasan dari orang tua. Tentunya jika platform media sosial tidak mengikuti aturan ini akan ada sanksi.

Kiranya bukan hanya pemerintah saja yang bekerja untuk mencapai tujuan baik ini. Masalah keamanan digital dan ruang aman untuk anak perlu mendapatkan perhatian dari khalayak. Dalam hal ini, misalnya dibutuhkan kolaborasi antara orang tua dan guru/pendidik. Pertama, penting jika ke depan ada pemahaman, pengetahuan melalui pendidikan tentang penggunaan media sosial yang bijak. Bisa juga dengan diadakannya kampanye kesadaran mengenai penggunaan media sosial aman yang melibatkan sekolah, organisasi masyarakat dan platform digital.

Kita dapat bercermin dari beberapa kebihakan di negara lainnya terkait pembatasan penggunaan media sosial oleh anak-anak. Seperti di China, misalnya, anak-anak hanya boleh bermain game online beberapa jam per minggu. Di Korea Selatan, dibuat aturan yang melarang anak-anak bermain game antara tengah malam dan pagi. Hal itu dilakukan untuk memastikan mereka memperoleh jam tidur cukup. Di negara lain di Eropa, seperti di Inggris, juga memiliki aturan serupa. Mereka mewajibkan platform digital untuk memastikan layanan mereka aman bagi anak-anak. Sebagai contoh bagaimana platform tersebut menjaga privasi anak-anak dan tidak mengumpulkan data pribadi tanpa izin orang tua.

Dari beberapa contoh kebijakan di negara lain tadi kiranya menjadi langkah sangat tepat dan mendesak bagi pemerintah Indonesia. Regulasi ini nantinya juga diperlukan untuk memastikan platform media sosial mematuhi aturan yang melindungi anak-anak. Ada pendapat lain misalnya, jika pembatasan saja mungkin belum cukup. Akan lebih tegas lagi jika dilakukan pelarangan total. Tapi menurut saya, melarang penggunaan media sosial secara total rasanya sulit dilakukan. Meski barangkali bisa dipertimbangkan bagi usia tertentu (usia dini misalnya). Daripada anak-anak penasaran dan menggunakan sendiri tanpa tahu cara yang benar dan salah, lebih baik dilakukan pembatasan dan pemahaman. Hal itu akan memberi mereka kesempatan untuk berkembang dan belajar. Dengan catatan, tetap ada ruang untuk menciptakan keseimbangan antara penggunaan teknologi dan kehidupan nyata.

Penutup

Sebagai orang tua, guru, pendidik kita ingin memastikan mereka tumbuh menjadi individu yang sehat secara mental dan fisik. Kita tentu patut menyambut baik, mendukung dan memantau upaya pemerintah kita dalam mendatang menerapkan kebijakan pembatasan media sosial untuk anak. Langkah serupa juga telah dilakukan oleh negara-negara lain. Tak hanya pemerintah, perlu juga adanya perhatian dari berbagai pihak. Kolaborasi dan kerja sama sangat diperlukan untuk menciptakan dunia digital yang aman serta mendukung perkembangan anak-anak. Regulasi pembatasan media sosial untuk anak bukan saja mendesak untuk sekarang, namun juga membangun masa depan lebih baik untuk generasi mendatang.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

hanifati radhia