Beberapa waktu lalu, jagad media sosial riuh lantaran konten di kanal YouTube pribadi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Kontennya membahas isu yang hangat dan selalu relevan dengan kondisi Indonesia hari ini: bonus demografi. Cukup progresif dan bagus.
Namun seperti biasa, respons warganet selalu pro dan kontra. Hal itu terlihat dari komentar-komentar yang ditinggalkan oleh mereka. Salah satu yang kerap saya temukan komentar mereka adalah: anak muda (seperti Gibran) saja mencari pekerjaan masih dibantu oleh bapak (Presiden RI ke -7).
Selain itu, ada berita viral mengenai job fair di Bekasi yang dipadati pelamar kerja hingga ricuh. Artinya, persoalan mendapatkan pekerjaan di Indonesia saat ini sangat serius. Saya sendiri tidak menampik kalau mencari pekerjaan di Indonesia saat ini terlampau sulit, dengan berbagai faktor yang ada.
Di balik itu, kita harus membuka mata ada fakta dan ironi yang dihadapi. Tingkat pengangguran tertinggi justru dialami oleh lulusan-lulusan terdidik. Pasalnya, lulusan SMA, D3, hingga sarjana justru mendominasi jumlah pengangguran terbuka. Lantas apa yang bisa kita renungkan dan sikapi atas hal ini?
Adapun pengangguran terdidik merujuk pada masyarakat yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan menengah ke atas (diploma dan universitas) —namun belum memiliki pekerjaan. Akan tetapi, dalam kondisi itu, mereka tengah berproses mencari pekerjaan dalam kurun waktu namun belum berhasil mendapatkannya.
Jika melihat data, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024, tingkat pengangguran terbuka (TPT) memang mengalami penurunan yakni menjadi 5,32%. Namun, jika ditinjau dari jenjang pendidikan, TPT tertinggi justru dialami oleh lulusan SMK (8,42%) dan universitas (6,69%).
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi pengangguran terdidik justru meningkat dan kesulitan mencari pekerjaan. Pertama, adanya kesenjangan antara dunia pendidikan dan pasar kerja.
Para lulusan perguruan tinggi tidak dibekali cukup dengan keterampilan praktis. Padahal, keterampilan praktis itulah yang dibutuhkan oleh industri. Hal itu juga didukung Kurikulum yang hanya bersifat teoritis, kurang adaptif dengan kondisi lapangan. Sementara perusahaan/industri menginginkan tenaga kerja yang siap pakai.
Kedua, sering kali lulusan sarjana enggan menerima pekerjaan “biasa” atau bergaji rendah. Mereka merasa status pendidikan yang disandang harus sebanding dengan prestise dan penghasilan.
Terakhir, setiap tahun lulusan baru muncul namun tidak diiringi dengan lapangan kerja. Alhasil, lahirlah persaingan kerja yang ketat hingga minimnya akses ke pasar kerja formal.
Dengan demikian, ini bukan lagi soal pribadi atau individu semata. Melihat dari sisi lulusan tadi tidak cakap terampil, atau malas mencari kesempatan kerja. Saya yakin mereka juga sudah memaksimalkan potensi dan mencoba melamar pekerjaan dengan berbagai cara.
Bahkan ada pula studi yang mengatakan bahwa pekerja muda saat ini memperoleh pekerjaan salah satu upayanya adalah menggunakan saluran orang dekat seperti orang tua, kerabat, dan teman. Bukan fenomena aneh lagi. Namun tidak semua orang memiliki privilese demikian.
Fenomena ini tentu saja perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Sudah semestinya pemerintah mengambil langkah dan turut andil dalam mengatasi masalah SDM dan lapangan pekerjaan.
Jika tidak, pemerintah akan kehilangan potensi generasi produktif dari usia kerja. Dan seharusnya merekalah yang nantinya akan mendorong pertumbuhan ekonomi negeri.
Penutup
Fenomena yang terjadi di Indonesia yakni meningkatnya pengangguran terdidik harus menjadi perhatian serius pemerintah. Pemerintah harus menyiapkan rencana matang dan strategis untuk memanfaatkan bonus demografi agar menjadi suatu berkah, bukan sebaliknya menjadi ujian atau bencana demografi.
Pemerintah perlu menetapkan ulang melalui adaptasi Kurikulum pendidikan sesuai lapangan dan pasar kerja hingga penciptaan sistem kerja ramah pemula. Selain itu, mendukung wirausaha muda dan pengembangan ekonomi lokal melalui pelatihan dan akses modal.
Selain andil pemerintah, saya kira ada beberapa hal yang bisa kita persiapkan sebagai lulusan dan individu. Misalnya, meningkatkan literasi tentang karier dan pekerjaan.
Kita generasi muda perlu membekali diri dengan kemampuan berpikir fleksibel. Artinya, tidak terpaku pada linearitas jurusan demi pekerjaan. Di era digital seperti sekarang, keterampilan digital, komunikasi, dan adaptasi juga sangat menentukan ketimbang sekedar gelar akademik.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Tag
Baca Juga
-
Tren Foto AI: Antara Hak Orang Lain dan Risiko Privasi yang Mengintai
-
Soimah dan Ospek Pacar Anak: Realita Tersembunyi Drama Mertua-Menantu
-
Surga Terakhir di Bumi yang Hilang: Ketika Raja Ampat Dikepung Tambang
-
Semangkuk Mie Instan di Kosan: Cerita Persaudaraan yang Tak Terlupakan
-
Program Pembinaan Siswa "Nakal" ala Dedi Mulyadi: Haruskah Cara Militer?
Artikel Terkait
-
Anies Baswedan Soroti Masalah Pendidikan Anak: Bukan Sekadar Angka
-
Literasi Siswa Meningkat, Program Inovasi Pendidikan Berbiaya Rendah Ini Bawa Perubahan Nyata
-
Turnamen Golf dengan Misi Sosial, Mendukung Pembangunan Fasilitas Pendidikan yang Layak
-
Baru Selesai Direnovasi SDN di Grogol Sudah Rusak Parah, Kontraktor Diminta Bertanggung Jawab
-
Perluas Akses Pendidikan di Tangerang Selatan, Anak Mitra Driver Ojol Dapat 50 Ribu Buku
Kolom
-
Ketika Nilai Jadi Segalanya, Apa Kabar Kreativitas Anak?
-
Smart TV untuk Pendidikan, Langkah Strategis atau Proyek yang Tergesa-gesa?
-
Lapangan Demonstrasi dan Jarak Etis Demokrasi
-
Ketika Bioskop Jadi Papan Pengumuman Nasional
-
Purbaya Yudhi Sadewa dan Rp200 Triliun: Antara Kebijakan Berani dan Blunder
Terkini
-
Fenomena Maskot dalam Futsal: Sarana Pengekspresian Diri bagi Anak Muda
-
Ulasan Novel Mean Streak: Keberanian Memilih Jalan Hidup Sendiri
-
Daniel Craig akan Terus Main di Seri Knives Out, Asal Syarat Ini Dipenuhi
-
Sakura dalam Pelukan: Hangatnya Cinta Ayah yang Jarang Diceritakan
-
Ulasan Novel Petjah: Benang Takdir yang Membuka Luka di Masa Lalu