Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Sabit Dyuta
Ilustrasi perempuan membaca buku (Freepik/senivpetro)

Tumpukan novel fiksi di rak buku pribadi selalu mengundang pertanyaan dari tamu yang berkunjung. "Masih suka baca novel?" atau "Kapan mulai baca buku yang lebih serius?"

Pertanyaan-pertanyaan ini muncul berulang, mencerminkan pandangan umum bahwa fiksi adalah bacaan "ringan" yang seharusnya ditinggalkan seiring bertambahnya usia dan tanggung jawab.

Deretan buku non-fiksi memang menghiasi rak-rak terlaris toko buku. Pengembangan diri, bisnis, psikologi populer—semua mengklaim membawa pembacanya pada pencerahan dan kesuksesan.

Sementara itu, novel-novel fiksi kerap dilirik sebelah mata, seolah hanya pilihan bagi mereka yang ingin melarikan diri dari realitas. Stigma ini sungguh memprihatinkan dan perlu dipertanyakan kembali.

Pandangan bahwa fiksi hanyalah hiburan tanpa faedah telah tertanam dalam masyarakat—seakan-akan kisah imajiner tak menawarkan nilai selain pelarian sementara.

Salah satu ungkapan yang sering terdengar: "Kalau mau pintar, baca buku yang bermanfaat." Ungkapan ini tanpa disadari menyiratkan bahwa fiksi bukanlah bacaan yang "bermanfaat".

Tentu saja, fakta ilmiah berbicara sebaliknya. Penelitian dalam "Personality and Social Psychology Bulletin" menunjukkan bahwa membaca fiksi meningkatkan kemampuan memahami perspektif orang lain.

Ketika tenggelam dalam alur cerita dan karakter fiksi, pembaca sesungguhnya sedang berlatih memahami pikiran, motivasi, dan perasaan manusia lain—keterampilan yang disebut para psikolog sebagai "theory of mind". 

Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, kemampuan melihat dunia melalui lensa orang lain menjadi semakin langka dan berharga. Perhatikan saja media sosial—betapa minim empati dalam perdebatan publik. 

Membaca novel karya Pramoedya atau Eka Kurniawan tidak sekadar menghibur, tetapi juga mengajak pembaca menapaki jalan pikiran karakter-karakter dengan latar belakang dan pilihan hidup berbeda, memperluas cakrawala empati yang tidak selalu ditawarkan bacaan faktual.

Manfaat fiksi juga menyentuh ranah kesehatan mental. Penelitian dari University of Sussex (2009) mengungkap fakta mencengangkan: membaca selama enam menit dapat mengurangi stres hingga 68 persen. Di tengah rutinitas yang melelahkan, novel-novel ini menjadi oasis yang menyegarkan pikiran dan jiwa.

Ironis memang, ketika jutaan orang menghabiskan berjam-jam menyerap konten media sosial dengan dalih relaksasi, sementara menganggap membaca novel sebagai aktivitas "kurang produktif".

Padahal, menyelami dunia yang diciptakan Tere Liye atau Dee Lestari potensial memberikan efek terapeutik yang jauh lebih dalam dibandingkan scroll tanpa akhir timeline media sosial.

Membaca fiksi bukanlah kegiatan "kurang berfaedah" sebagaimana sering digambarkan. Aktivitas ini justru merupakan investasi jangka panjang untuk kecerdasan emosional dan kesejahteraan mental. Setiap kali membuka novel baru, kita tidak sekadar membaca—kita memperluas kapasitas untuk memahami dan merasakan.

Maka, biarkan novel-novel itu tetap berdiri tegak di rak buku. Mereka bukan sekadar hiasan atau pelarian—mereka adalah jendela ke berbagai dimensi kemanusiaan yang mungkin tak pernah kita temui dalam kehidupan sehari-hari.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Sabit Dyuta