Tumpukan novel fiksi di rak buku pribadi selalu mengundang pertanyaan dari tamu yang berkunjung. "Masih suka baca novel?" atau "Kapan mulai baca buku yang lebih serius?"
Pertanyaan-pertanyaan ini muncul berulang, mencerminkan pandangan umum bahwa fiksi adalah bacaan "ringan" yang seharusnya ditinggalkan seiring bertambahnya usia dan tanggung jawab.
Deretan buku non-fiksi memang menghiasi rak-rak terlaris toko buku. Pengembangan diri, bisnis, psikologi populer—semua mengklaim membawa pembacanya pada pencerahan dan kesuksesan.
Sementara itu, novel-novel fiksi kerap dilirik sebelah mata, seolah hanya pilihan bagi mereka yang ingin melarikan diri dari realitas. Stigma ini sungguh memprihatinkan dan perlu dipertanyakan kembali.
Pandangan bahwa fiksi hanyalah hiburan tanpa faedah telah tertanam dalam masyarakat—seakan-akan kisah imajiner tak menawarkan nilai selain pelarian sementara.
Salah satu ungkapan yang sering terdengar: "Kalau mau pintar, baca buku yang bermanfaat." Ungkapan ini tanpa disadari menyiratkan bahwa fiksi bukanlah bacaan yang "bermanfaat".
Tentu saja, fakta ilmiah berbicara sebaliknya. Penelitian dalam "Personality and Social Psychology Bulletin" menunjukkan bahwa membaca fiksi meningkatkan kemampuan memahami perspektif orang lain.
Ketika tenggelam dalam alur cerita dan karakter fiksi, pembaca sesungguhnya sedang berlatih memahami pikiran, motivasi, dan perasaan manusia lain—keterampilan yang disebut para psikolog sebagai "theory of mind".
Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, kemampuan melihat dunia melalui lensa orang lain menjadi semakin langka dan berharga. Perhatikan saja media sosial—betapa minim empati dalam perdebatan publik.
Membaca novel karya Pramoedya atau Eka Kurniawan tidak sekadar menghibur, tetapi juga mengajak pembaca menapaki jalan pikiran karakter-karakter dengan latar belakang dan pilihan hidup berbeda, memperluas cakrawala empati yang tidak selalu ditawarkan bacaan faktual.
Manfaat fiksi juga menyentuh ranah kesehatan mental. Penelitian dari University of Sussex (2009) mengungkap fakta mencengangkan: membaca selama enam menit dapat mengurangi stres hingga 68 persen. Di tengah rutinitas yang melelahkan, novel-novel ini menjadi oasis yang menyegarkan pikiran dan jiwa.
Ironis memang, ketika jutaan orang menghabiskan berjam-jam menyerap konten media sosial dengan dalih relaksasi, sementara menganggap membaca novel sebagai aktivitas "kurang produktif".
Padahal, menyelami dunia yang diciptakan Tere Liye atau Dee Lestari potensial memberikan efek terapeutik yang jauh lebih dalam dibandingkan scroll tanpa akhir timeline media sosial.
Membaca fiksi bukanlah kegiatan "kurang berfaedah" sebagaimana sering digambarkan. Aktivitas ini justru merupakan investasi jangka panjang untuk kecerdasan emosional dan kesejahteraan mental. Setiap kali membuka novel baru, kita tidak sekadar membaca—kita memperluas kapasitas untuk memahami dan merasakan.
Maka, biarkan novel-novel itu tetap berdiri tegak di rak buku. Mereka bukan sekadar hiasan atau pelarian—mereka adalah jendela ke berbagai dimensi kemanusiaan yang mungkin tak pernah kita temui dalam kehidupan sehari-hari.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Review Novel 'Kotak Pandora': Saat Hidup Hanya soal Bertahan
-
Review Novel 'Totto-chan': Bukan Sekolah Biasa, Tapi Rumah Kedua Anak-anak
-
Benarkah 'Kerja Apa Aja yang Penting Halal' Tak Lagi Relevan?
-
Review Novel 'Jane Eyre': Ketika Perempuan Bicara soal Harga Diri
-
Review Novel 'The Grapes of Wrath': Melawan Nasib, Mencari Keadilan
Artikel Terkait
-
Ulasan Novel Mel, Melatiku: Dari Kolam Renang ke Jurang Kehidupan
-
Ulasan Novel Savanna dan Samudra, Kisah Romansa Pramusaji di Sebuah Kafe
-
Take My Hand: Cerita Tentang Luka yang Dipeluk, Bukan Disembunyikan
-
Ulasan Novel Bebas Tanggungan: Kisah Generasi Sandwich yang Tak Tersuarakan
-
4 Drama China yang Diadaptasi dari Novel Shu Ke, Terbaru Love Never Fails
Kolom
-
Kalau AI Bisa Baca, Tulis, Ngoding, Lalu Sarjana Ngapain?
-
Sekolah Bocor di Negeri 'Prioritas Pendidikan': Kapan Janji Jadi Kenyataan?
-
RUU Polri: Kebebasan Ruang Digital Terancam? Revisi Kontroversial yang Bikin Warganet Resah!
-
Dari Medan Tempur ke Obat-obatan: Kontroversi Rencana Pabrik Farmasi TNI
-
Sejuta Anak Punya Cerita: Menjadikan Pendidikan sebagai Hak, Bukan Impian
Terkini
-
Jika Pindah ke AC Milan, Jay Idzes Harus Bersaing dengan 3 Bek Tangguh Ini
-
Review Film Bullet Train Explosion: Teror Bom yang Mengancam Kereta Shinkansen
-
Meski Berbeda Seeding Pots, Timnas Indonesia U-23 Dipastikan Tak Akan Berjumpa Thailand dan Vietnam
-
Tayang Bulan Juni, Intip 4 Pemeran Utama Drama Korea Bertajuk 'Love Phobia'
-
5 Drama China yang Dibintangi Xu Hao, Genre Fantasi hingga Romcom