Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Sabit Dyuta
Ilustrasi dua orang sedang berkomentar di media sosial (Freepik/freepik)

Media sosial sudah seperti panggung besar tempat semua orang bisa berbicara. Setiap hari, ribuan opini muncul di kolom komentar, membentuk arus percakapan yang terus berjalan tanpa henti.

Tapi, semakin sering melihat pola ini, semakin terasa bahwa budaya komentar di internet bukan lagi tentang berbagi pandangan, melainkan tentang siapa yang bisa bersuara paling lantang. Semua orang ingin didengar, tapi hanya sedikit yang benar-benar mau mendengar.

Coba lihat kolom komentar di berita viral atau unggahan yang sedang ramai dibahas. Orang-orang berebut menyampaikan opini, sering kali tanpa benar-benar memahami konteksnya. Ada yang berbagi pandangan dengan niat baik, ada yang sekadar ikut-ikutan, dan ada pula yang sengaja memancing emosi.

Masalahnya, begitu ada yang mencoba menawarkan perspektif berbeda, respons yang muncul sering kali bukan diskusi yang sehat, melainkan serangan balik. Bukannya bertukar pikiran, yang terjadi malah adu kuat pendapat. Seolah-olah diam adalah tanda kelemahan.

Banyak yang merasa perlu berkomentar tentang segala hal, bahkan saat mereka sendiri sebenarnya belum punya pemahaman yang cukup.

Media sosial pun memperparah situasi ini dengan algoritmanya yang lebih sering menampilkan komentar-komentar penuh emosi.

Komentar yang tajam, sarkastik, atau marah lebih cepat menarik perhatian, sementara komentar yang lebih tenang dan mendalam justru tenggelam. Akibatnya, percakapan yang terjadi sering kali penuh dengan ketegangan, bukan pemahaman.

Padahal, kebebasan berbicara seharusnya berjalan beriringan dengan kesadaran untuk mendengarkan. Bukan berarti tidak boleh berkomentar, tapi apakah setiap opini harus selalu disampaikan? Apakah berkomentar selalu berarti memahami? Jika semua orang hanya sibuk berbicara tanpa mau mendengar, bagaimana bisa ada diskusi yang benar-benar bermakna?

Ironisnya, semakin banyak yang berteriak, semakin sedikit yang benar-benar didengarkan. Jika media sosial hanya menjadi tempat untuk adu argumen tanpa arah, lalu apa yang sebenarnya dicari? Pengakuan? Validasi? Atau sekadar memenangkan perdebatan?

Bagaimana pun, ruang digital akan jauh lebih sehat jika orang-orang mulai menyadari bahwa berkomentar bukan sekadar soal menyampaikan pendapat, tetapi juga soal memahami.

Mendengar mungkin tidak akan membuat seseorang langsung merasa lebih penting, tapi justru di sanalah letak esensi dari sebuah percakapan yang sesungguhnya.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Sabit Dyuta