Media sosial sudah seperti panggung besar tempat semua orang bisa berbicara. Setiap hari, ribuan opini muncul di kolom komentar, membentuk arus percakapan yang terus berjalan tanpa henti.
Tapi, semakin sering melihat pola ini, semakin terasa bahwa budaya komentar di internet bukan lagi tentang berbagi pandangan, melainkan tentang siapa yang bisa bersuara paling lantang. Semua orang ingin didengar, tapi hanya sedikit yang benar-benar mau mendengar.
Coba lihat kolom komentar di berita viral atau unggahan yang sedang ramai dibahas. Orang-orang berebut menyampaikan opini, sering kali tanpa benar-benar memahami konteksnya. Ada yang berbagi pandangan dengan niat baik, ada yang sekadar ikut-ikutan, dan ada pula yang sengaja memancing emosi.
Masalahnya, begitu ada yang mencoba menawarkan perspektif berbeda, respons yang muncul sering kali bukan diskusi yang sehat, melainkan serangan balik. Bukannya bertukar pikiran, yang terjadi malah adu kuat pendapat. Seolah-olah diam adalah tanda kelemahan.
Banyak yang merasa perlu berkomentar tentang segala hal, bahkan saat mereka sendiri sebenarnya belum punya pemahaman yang cukup.
Media sosial pun memperparah situasi ini dengan algoritmanya yang lebih sering menampilkan komentar-komentar penuh emosi.
Komentar yang tajam, sarkastik, atau marah lebih cepat menarik perhatian, sementara komentar yang lebih tenang dan mendalam justru tenggelam. Akibatnya, percakapan yang terjadi sering kali penuh dengan ketegangan, bukan pemahaman.
Padahal, kebebasan berbicara seharusnya berjalan beriringan dengan kesadaran untuk mendengarkan. Bukan berarti tidak boleh berkomentar, tapi apakah setiap opini harus selalu disampaikan? Apakah berkomentar selalu berarti memahami? Jika semua orang hanya sibuk berbicara tanpa mau mendengar, bagaimana bisa ada diskusi yang benar-benar bermakna?
Ironisnya, semakin banyak yang berteriak, semakin sedikit yang benar-benar didengarkan. Jika media sosial hanya menjadi tempat untuk adu argumen tanpa arah, lalu apa yang sebenarnya dicari? Pengakuan? Validasi? Atau sekadar memenangkan perdebatan?
Bagaimana pun, ruang digital akan jauh lebih sehat jika orang-orang mulai menyadari bahwa berkomentar bukan sekadar soal menyampaikan pendapat, tetapi juga soal memahami.
Mendengar mungkin tidak akan membuat seseorang langsung merasa lebih penting, tapi justru di sanalah letak esensi dari sebuah percakapan yang sesungguhnya.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Review Film 'Kinda Pregnant': Ketika Pura-Pura Hamil Berujung di Drama
-
Ulasan Novel My Tomorrow, Your Yesterday: Romansa Melawan Waktu
-
Luka, Ingatan, dan Melupakannya: Review Novel 'I'll Eat Your Story'
-
Dari Buku Keliling ke Hidup yang Rolling: Review Novel 'Parnassus Keliling'
-
3 Face Wash Amino Acid untuk Kulit Sensitif, Bersihkan Wajah Tanpa Iritasi!
Artikel Terkait
-
Viral Anies Ikut Acara Deklarasi Ormas Gerakan Rakyat, Netizen: Warnanya PKS Banget
-
Lagu Milik Sukatani Viral 'Go International', para Bule Ikut Bernyanyi dan Menari
-
Kebaya Noni: Pesona Warisan Budaya Nusantara yang Memikat Dunia
-
Regulasi Pembatasan Usia Penggunaan Medsos Belum Disusun, Komdigi Hanya Buat Aturan PSE
-
Pengamat Usul Retret Khusus Pengurus Danantara, Netizen: Nanti Dapat Pengarahan dari Wapres
Kolom
-
Sebagai Kota Termacet ke-12 di Dunia, Apa yang Harus Dilakukan Bandung?
-
Minimalisme di Era Digital: Normalisasi Pakai Outfit Sama Berulang Kali
-
Pertamina dan Skandal Korupsi Triliunan: Akankah Kepercayaan Publik Pulih?
-
Menyoal Ruang Literasi di Bandung: Antara Kafe dan Perpustakaan
-
Dari #KaburAjaDulu hingga #IndonesiaGelap: Potret Kemarahan dan Kegelisahan Masyarakat Indonesia
Terkini
-
5 Rekomendasi Film Sambut Akhir Pekan, Ada Conclave hingga Interstellar
-
Tayang Tahun Ini, Film Screamboat Bagikan Trailer dengan Nuansa Mencekam
-
Review Film Pernikahan Arwah, Kupas Misteri di Balik Tradisi Ghost Marriage
-
Ingat Masa Lalu, Marc Marquez Minta Jorge Martin untuk Fokus Sembuh Dulu
-
Ketawa dan Haru di 'My Annoying Brother', Remake yang Gak Kalah Seru!