Ditengah budaya skimming (membaca cepat) serta rendahnya minat baca masyarakat membuat saya skeptis dengan hobi menulis di media massa. Lantas, seberapa berharga sih profesi sebagai penulis di tengah kemajuan teknologi saat ini?
Pasalnya, kita sedang berhadapan dengan rendahnya minat baca. Sementara itu, menulis dengan kreativitas tentu butuh proses yang panjang dan terkadang melelahkan.
Menurut data dari UNESCO, Indonesia memiliki indeks minat baca sekitar 0,001%. Artinya, hanya ada 1 dari 1000 orang yang tertarik dengan aktivitas membaca. Jadi, seolah-olah kita seperti sedang berlomba di arena yang nggak bisa dimenangkan.
Kebanyakan orang gampang banget kemakan judul clickbait, susah fokus untuk baca teks panjang, hingga sering terperangkap misinformasi karena cuma betah baca beberapa paragraf pertama dan kesimpulan sebuah artikel tanpa membaca keseluruhan.
Mereka abai dengan detail dan hanya mementingkan gagasan utama dari teks. Hal ini sering kali menjadi hal yang sulit dipahami jika hanya membaca secara sekilas.
Sementara itu, dari sisi literasi, sebenarnya kita nggak kekurangan bacaan berkualitas. Ada berbagai genre buku yang bisa dibaca, dan beragam judul artikel yang bisa dieksplor buat belajar.
Tapi sayangnya, masyarakat kita lebih doyan buat mantengin konten FYP di TikTok, atau scrolling video shorts Instagram yang cuma bikin otak kebanjiran informasi yang dangkal.
Padahal di luar sana kita juga nggak kekurangan penulis-penulis yang kompeten. Kita nggak pernah kekurangan orang-orang dalam komunitas kepenulisan atau mereka yang hobi menulis dan begitu produktif berkarya.
Tapi pertanyaannya, untuk siapa sih sebenarnya kita menulis? Emang bakal ada yang baca?
Kalau kamu bahkan punya skill nulis dengan tema yang kritis dan bisa mengulik sebuah isu secara mendalam, palingan segmen pembacanya juga mereka-mereka yang dari sononya suka baca. Dan jangan harap jumlah mereka ada banyak.
Belum lagi budaya skimming saat baca teks panjang. Sekarang ini kita digempur dengan berbagai macam konten menarik yang bikin kita kepengin cepat-cepat selesai baca biar bisa berpindah ke konten lain.
Algoritma medsos cenderung menuntut kecepatan membaca, sementara kita nggak punya kemampuan literasi yang baik untuk menandingi kecepatan tersebut.
Akibatnya, penulis yang udah effort banget buat menyusun kata-kata dengan diksi yang indah, penuh metafora, atau alur yang emosional bukan lagi menjadi bagian yang penting. Meskipun mungkin ada aja pembaca yang bakal baca hal tersebut, tapi sekali lagi, jumlahnya nggak banyak.
Fenomena di atas tak jarang membuat penulis pada akhirnya memilih untuk mengikuti selera pasar. Yakni menulis dengan menggunakan efisiensi, kalimat yang to the point, dan mengesampingkan estetika bahasa demi jumlah pembaca.
Meskipun hal di atas sebenarnya nggak salah juga. Hanya saja, saya pribadi kadang menyayangkan ketika seorang penulis terpaksa bergerak mengikuti arus ketimbang meniti jejak aksara di atas jembatan rasanya sendiri.
Sebab pada akhirnya, menulis dengan sentuhan rasa adalah sebuah bentuk penghormatan terhadap pikiran dan bahasa.
Walaupun yang lain seolah berlomba dengan target jumlah kata yang harus diselesaikan, tetapi tulisan dengan sentuhan emosional yang digarap dengan sepenuh hati tentu nggak bisa digantikan dengan karya yang cuma kejar tayang.
Mungkin mengejar target pembaca yang besar terkadang susah-susah gampang di tengah budaya skimming ini. Namun memilih untuk nggak nyerah dengan menjaga ruh dari tulisan adalah sebuah pembebasan.
Ini bisa menjadi bukti bahwa di tengah algoritma yang menuntut kecepatan, seorang penulis yang tetap mempertahankan idealisme tulisan dan keindahan bahasanya adalah mereka yang unik, orisinil, dan nggak akan terganti.
Walaupun jumlah pembaca nggak banyak, setidaknya 1 orang yang membaca hingga tuntas dan terinspirasi dari sebuah tulisan yang menyentuh adalah sebuah bukti bahwa menulis itu tetap menjadi aktivitas yang berharga.
Baca Juga
- 
                      
              Ulasan Buku Timeboxing: Atur Waktu di Era Digital Biar Hidup Nggak Chaos
 - 
                      
              Ironi Kasus Keracunan Massal: Ketika Petinggi Badan Gizi Nasional Bukan Ahlinya
 - 
                      
              Harga Buku Mahal, Literasi Kian Tertinggal: Alasan Pajak Buku Perlu Subsidi
 - 
                      
              Public Speaking yang Gagal, Blunder yang Fatal: Menyoal Lidah Para Pejabat
 - 
                      
              Headline, Hoaks, dan Pengalihan Isu: Potret Demokrasi tanpa Literasi
 
Artikel Terkait
- 
                
              Membeli Buku karena Covernya: Antara Gaya Hidup dan Kebiasaan Membaca
 - 
                
              CyberHeroes Sekolah Digital: Telkom Tingkatkan Literasi Keamanan Siber Sambut Hari Anak Nasional
 - 
                
              Bukan Hanya Sekadar Penanda Halaman: Makna Bookmark Bagi Pencinta Buku
 - 
                
              Generasi Z & Alfa Terancam Brain Rot, Bisakah RUU Sisdiknas Jadi Solusi?
 - 
                
              Komik: Bentuk Sastra Paling Sederhana yang Tak Boleh Diremehkan
 
Kolom
- 
                      
              Terjebak dalam Kritik Diri, Saat Pikiran Jadi Lawan Terberat
 - 
                      
              Takut Dinilai Buruk, Penjara Tak Terlihat di Era Media Sosial
 - 
                      
              Jebakan Flexing! Ketika Bahasa Ilmiah Cuma Jadi Aksesori Pamer Kepintaran
 - 
                      
              Kecurangan Pelaksanaan TKA 2025: Cermin Buram Rapuhnya Nilai Integritas?
 - 
                      
              Performative Reading: Yakin Betulan Bookworm?
 
Terkini
- 
           
                            
                    
              5 Buku Parenting Seru dengan Ilustrasi Menarik untuk Orang Tua Modern
 - 
           
                            
                    
              Adu 3 Aspek Kehidupan Raisa Andriana Vs Sabrina Alatas, Dua Dunia Berbeda
 - 
           
                            
                    
              4 Cleanser Amino Acid dan Panthenol Jaga Kulit Lembap dan Skin Barrier Kuat
 - 
           
                            
                    
              Piala Dunia U-17: Hanya Satu Kemenangan, Nova Arianto Akan Lewati Rekor Pendahulunya di Turnamen
 - 
           
                            
                    
              Tanpa Sosok Ayah, Reza Rahadian Justru Dapat Kekuatan dari Ibunya