Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Alfino Hatta
Ilustrasi daerah pesisir di Indonesia yang terkena dampak perubahan iklim. (unsplash.com/@auliamisbahul)

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau, memiliki karakteristik geografis yang unik dan kompleks. Namun, kekayaan alam ini juga membawa tantangan besar dalam menghadapi ancaman perubahan iklim global.

Salah satu dampak paling nyata dari perubahan iklim adalah kenaikan permukaan air laut, yang secara langsung mengancam keberlangsungan wilayah pesisir di Indonesia.

Berdasarkan data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, sekitar 42 juta orang tinggal pada ketinggian kurang dari 10 meter di atas permukaan laut. Angka ini menunjukkan bahwa hampir seperenam populasi Indonesia berada dalam risiko tinggi akibat dampak perubahan iklim.

Lebih lanjut, kajian proyeksi yang dilakukan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan bahwa pada tahun 2050, kenaikan air laut diperkirakan akan menenggelamkan sekitar 2.000 pulau kecil di Indonesia. Dalam skenario terburuk, fenomena ini dapat menyebabkan hilangnya tempat tinggal bagi 42 juta penduduk pesisir.

Selain itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melaporkan bahwa sekitar 75% kota besar di Indonesia terletak di wilayah pesisir, yang membuatnya sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Kota-kota seperti Jakarta, Semarang, Makassar, dan Surabaya tidak hanya menghadapi ancaman tenggelam akibat kenaikan air laut, tetapi juga penurunan tanah yang disebabkan oleh eksploitasi air tanah yang berlebihan.

Dampak Perubahan Iklim terhadap Masyarakat Pesisir

Ancaman perubahan iklim tidak hanya terbatas pada tenggelamnya wilayah pesisir, tetapi juga memengaruhi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah tersebut.

Salah satu kelompok yang paling terdampak adalah nelayan tradisional. Ketidakpastian cuaca yang semakin parah membuat aktivitas melaut menjadi lebih berisiko.

Gelombang laut yang lebih tinggi, badai yang lebih sering, serta pola angin yang tidak terprediksi telah memaksa banyak nelayan untuk mengurangi frekuensi melaut mereka. Akibatnya, mata pencaharian mereka terganggu, dan banyak keluarga nelayan yang mengalami penurunan pendapatan secara drastis.

Selain itu, banjir rob dan erosi pantai juga menjadi masalah serius di wilayah pesisir. Banjir rob, atau banjir akibat naiknya air laut, sering kali merusak infrastruktur vital seperti jalan raya, pemukiman warga, dan fasilitas umum lainnya. Erosi pantai, di sisi lain, mengancam ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, tambak ikan dan udang, serta ladang garam.

Kerusakan ini tidak hanya memengaruhi produktivitas masyarakat pesisir, tetapi juga mengurangi kemampuan ekosistem untuk melindungi garis pantai dari dampak perubahan iklim.

Menurut laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2021, nilai potensial ekonomi yang hilang akibat perubahan iklim pada sektor pesisir dan laut selama periode 2020–2024 mencapai rata-rata Rp81,53 triliun.

Sektor ini menjadi yang paling terdampak dibandingkan sektor lainnya, dengan Pulau Jawa dan Sulawesi sebagai wilayah yang memiliki potensi kerugian tertinggi.

Tingkat Kerentanan Wilayah Pesisir: Analisis Coastal Vulnerability Index (CVI)

Untuk memahami tingkat kerentanan wilayah pesisir di Indonesia terhadap perubahan iklim, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menggunakan metode Coastal Vulnerability Index (CVI).

CVI adalah indeks yang mengukur kerentanan berdasarkan parameter fisik dan oseanografi, seperti elevasi tanah, topografi pantai, jenis substrat pantai, dan dinamika gelombang laut.

Hasil kajian Bappenas tahun 2021 menunjukkan bahwa panjang garis pantai dengan kategori CVI tertinggi (indeks 5) mencapai 1.819 km.

Pulau Sulawesi menjadi wilayah dengan indeks kerentanan tertinggi, yakni sepanjang 904,51 km. Sementara itu, Pulau Kalimantan dan Papua tidak memiliki wilayah pesisir dengan kategori indeks kerentanan tertinggi (kelas indeks 5).

Fenomena ini menunjukkan bahwa beberapa wilayah di Indonesia memiliki risiko yang jauh lebih besar dibandingkan wilayah lainnya.

Misalnya, Pulau Jawa dan Sulawesi, yang merupakan pusat ekonomi dan kegiatan masyarakat pesisir, menjadi wilayah yang paling terancam oleh kenaikan permukaan laut dan fenomena terkait lainnya.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam laporan ilmiahnya tahun 2020 menyoroti bahwa kombinasi antara penurunan tanah akibat eksploitasi air tanah yang berlebihan dan kenaikan permukaan laut dapat mempercepat tenggelamnya wilayah pesisir.

Kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya adalah contoh nyata dari fenomena ini.

Langkah Strategis untuk Mitigasi dan Adaptasi

Menghadapi ancaman perubahan iklim, Indonesia memerlukan strategi adaptasi dan mitigasi yang komprehensif dan berbasis data. Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan antara lain:

1. Pengelolaan Ekosistem Berbasis Alam (Nature-Based Solutions): 

Restorasi hutan mangrove dan ekosistem pesisir lainnya dapat membantu melindungi garis pantai dari erosi dan banjir. Mangrove juga berfungsi sebagai penyerap karbon, yang membantu mengurangi dampak perubahan iklim.

Program restorasi mangrove telah diinisiasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Gerakan Rehabilitasi Mangrove Nasional.

Program ini bertujuan untuk menanam kembali 600.000 hektar lahan mangrove pada tahun 2024. Restorasi mangrove tidak hanya melindungi garis pantai, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat lokal melalui pengembangan budidaya ikan dan udang di area mangrove.

2. Penegakan Regulasi Tata Ruang: 

Pembangunan di wilayah pesisir harus diatur secara ketat untuk mencegah eksploitasi berlebihan sumber daya alam. Penurunan tanah akibat pengambilan air tanah yang berlebihan juga perlu diatasi dengan menyediakan alternatif pasokan air bersih.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah meluncurkan program penyediaan air bersih berbasis teknologi untuk mengurangi ketergantungan pada air tanah.

Program ini mencakup pembangunan waduk, bendungan, dan sistem distribusi air bersih yang efisien untuk memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan dan pesisir.

3. Peningkatan Ketahanan Masyarakat Pesisir: 

Pemerintah perlu memberikan pelatihan kepada masyarakat pesisir untuk meningkatkan ketahanan ekonomi mereka. Misalnya, dengan mengembangkan usaha alternatif selain nelayan, seperti pariwisata berbasis alam atau budidaya laut ramah lingkungan.

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) telah meluncurkan program pemberdayaan masyarakat pesisir melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Program ini bertujuan untuk mendiversifikasi sumber pendapatan masyarakat pesisir agar mereka tidak sepenuhnya bergantung pada aktivitas melaut.

4. Kebijakan Adaptasi Berbasis Data: 

Penggunaan data ilmiah dan teknologi untuk memetakan wilayah rawan bencana dapat membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang tepat. Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat lokal sangat penting untuk memastikan keberhasilan program adaptasi.

BMKG dan Bappenas telah bekerja sama untuk mengembangkan sistem pemantauan perubahan iklim yang lebih presisi. Sistem ini mencakup pemetaan wilayah rawan banjir rob, erosi pantai, dan kenaikan permukaan laut, sehingga pemerintah dapat mengambil tindakan preventif dengan lebih cepat.

5. Peningkatan Kesadaran Publik: 

Pendidikan dan kampanye publik tentang dampak perubahan iklim sangat penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bersama dengan lembaga pendidikan dan penelitian telah mengembangkan kurikulum dan program pelatihan yang fokus pada isu perubahan iklim.

Program ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan mengurangi jejak karbon.

Kolaborasi Lintas Sektor: Kunci Keberhasilan Adaptasi

Keberhasilan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim sangat bergantung pada kolaborasi lintas sektor. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga penelitian, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat lokal harus bekerja sama untuk mengatasi tantangan ini.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menginisiasi program kolaboratif untuk membangun ketahanan komunitas pesisir terhadap bencana alam. Program ini mencakup pelatihan mitigasi bencana, penyediaan infrastruktur tanggap darurat, dan pengembangan sistem peringatan dini.

Selain itu, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) telah memimpin koordinasi antarlembaga untuk mengatasi masalah perubahan iklim di wilayah pesisir.

Melalui pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, pemerintah berusaha untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya berfokus pada mitigasi jangka pendek, tetapi juga pada solusi jangka panjang yang berkelanjutan.

Perubahan iklim bukan lagi isu masa depan, melainkan realitas yang sudah mulai dirasakan saat ini. Bagi Indonesia, tantangan terbesar datang dari ancaman terhadap wilayah pesisir, yang menjadi rumah bagi jutaan orang serta pusat kegiatan ekonomi.

Tanpa tindakan yang cepat dan terkoordinasi, risiko tenggelamnya kota-kota pesisir, hilangnya mata pencaharian, dan kerugian ekonomi yang besar akan semakin nyata.

Melalui upaya kolektif, baik di tingkat nasional maupun lokal, Indonesia masih memiliki kesempatan untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan melindungi kelestarian alam serta kehidupan masyarakat pesisir. Namun, waktu untuk bertindak adalah sekarang—sebelum kerusakan menjadi permanen.

Komitmen kuat dari semua pemangku kepentingan, didukung oleh data ilmiah dan teknologi modern, akan menjadi kunci utama dalam menghadapi ancaman perubahan iklim ini.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Alfino Hatta